Siapa yang gak suka makanan warna-warni? Dari kue bolu pelangi, minuman boba ungu cerah, sampai mie instan dengan bumbu menggoda, semuanya tampak lebih menggugah selera karena warna yang menarik. Tapi di balik keindahan warna itu, sering muncul pertanyaan: apakah pewarna makanan berbahaya untuk tubuh?
Faktanya, tidak semua pewarna makanan itu jahat. Dalam dunia pangan, pewarna dibagi menjadi dua kelompok besar: alami dan sintetis. Pewarna alami berasal dari bahan alam seperti kunyit (kurkumin), daun pandan (klorofil), atau buah bit (antosianin). Sementara pewarna sintetis dibuat secara kimia di laboratorium, contohnya tartrazin (kuning), sunset yellow, dan brilliant blue. Pewarna sintetis ini sering disalahpahami sebagai “beracun”, padahal tidak semuanya berbahaya — selama digunakan sesuai batas yang diizinkan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah menetapkan daftar pewarna yang aman digunakan beserta batas maksimalnya. Artinya, pewarna yang lolos uji dan digunakan sesuai dosis aman bagi tubuh. Justru yang berbahaya adalah pewarna tekstil atau pewarna non-pangan seperti rhodamin B atau metanil yellow yang kadang disalahgunakan oleh produsen nakal. Zat ini tidak boleh ada di makanan apa pun karena bisa memicu gangguan hati dan ginjal jika dikonsumsi terus-menerus.
Menariknya, tren industri pangan sekarang mulai bergeser ke arah “clean label” — penggunaan bahan alami yang dianggap lebih ramah tubuh dan lingkungan. Pewarna dari spirulina, buah naga, atau paprika kini banyak dipilih oleh produsen makanan modern. Walau lebih mahal dan kadang kurang stabil terhadap panas, bahan-bahan ini dinilai lebih “aman” secara psikologis di mata konsumen.
Jadi, pewarna makanan sebenarnya bukan musuh. Yang penting adalah asal dan takarannya. Kalau pewarna yang dipakai sudah terdaftar di BPOM dan digunakan dengan benar, kamu bisa menikmati makanan warna-warni tanpa rasa takut. Jadi, lain kali lihat es sirup berwarna cerah di meja makan, jangan langsung curiga dulu — bisa jadi warnanya aman, hanya saja kita belum tahu ilmunya. 🌈
Oleh Nadia Hanifah
Referensi:
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM). (2020). Pedoman Bahan Tambahan Pangan: Pewarna dan Perisa. Jakarta: BPOM RI.
Winarno, F. G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
The Conversation Indonesia. (2023). Apakah pewarna makanan berbahaya bagi tubuh?
Food and Drug Administration (FDA). (2021). Color Additives Questions and Answers.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































