Dalam tradisi kebudayaan Sumatera Barat, seringkali kita mendengar orang sekitar mengadakan acara “Makan Bajamba”. Tradisi ini diperkirakan hadir semenjak abad ke-7 Masehi, bertepatan dengan masuknya Islam ke ranah Minangkabau sebagai simbol acara keagamaan dan juga dilaksanakan ketika upacara adat penting lainnya. Makan Bajamba juga sering disebut dengan makan barampak yang memiliki arti makan duduk secara bersama-sama di suatu ruangan dengan tetangga ataupun masyarakat sekitar dalam satu dulang atau satu talam atau satu tempat. Tradisi ini menjadi warisan leluhur yang sangat amat kaya dari Minangkabau itu sendiri karena menyiratkan nilai-nilai luhur kekerabatan dan kekeluargaan yang sangat tinggi dengan menjunjung etiket dan tata krama ketika acara berlangsung.
Biasanya saya mendapati acara makan bajamba ini ketika acara Maulid Nabi sebagai acara keagaaman dan acara Baralek sebagai acara penting dalam adat Minangkabau. Dengan adanya makan bajamba ini, saya teringat dengan pepatah Minangkabau yang berbunyi “Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang” dari pepatah tersebut memiliki arti bahwasanya bila kita bersama-sama baik itu dalam hal bergotong-royong, menyelesaikan permasalahan serta menjunjung tinggi nilai kekerabatan dan persaudaraan, maka permasalahan yang kita hadapi akan terasa lebih ringan. Hal tersebut sangat berkaitan erat dengan makan bajamba karena dalam makan bajamba, kebersamaan yang diperoleh ketika acara berlangsung dapat meningkatkan rasa kekeluargaan dan persaudaraan yang erat antar bermasyarakat karena mengharuskan untuk saling gotong-royong tatkala acara tengah berlangsung.
Jika kita mengaitkan makan bajamba dengan syariat Islam sendiri, makan bajamba diawali dengan pembacaan doa terkadang dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran sebagai pembukaan bersama-sama sebelum memulai acara makan. Selain itu tata-cara untuk duduk dalam makan bajamba juga diatur yakni perempuan basimpuah dan untuk pria baselo, mendahulukan orang yang lebih tua atau dihormati untuk makan terlebih dahulu, memulai makan dengan menggunakan tangan kanan seperti anjuran Nabi Muhammad S.A.W, dan hanya mengambil makanan yang ada dihadapan kita saja. Dalam konteks keagamaan sendiri, hal tersebut melatih kita untuk bersyukur kepada Allah S.W.T atas berkah dari makanan yang sudah tersedia, melatih diri untuk tidak rakus dan tamak ketika makan, serta menghormati sesama ketika makan apalagi orang yang lebih dituakan sesuai dengan syariat Islam ketika menjelang makan.
Saya ingat bahwasanya ketika saya dahulu kecil sebelum mengenal norma sosial dari masjid dan sekolah, saya mulai belajar dari makan bajamba yang hadir setiap acara keagaaman yang dirayakan pada lingkungan sekitar saya. Selama acara berlangsung, banyak sekali pembelajaran yang saya dapatkan entah dari segi bersosialisasi karena mendapatkan banyak teman atau melatih kesabaran saya agar tidak makan terburu-buru dan mengambil makanan yang jauh dari jangkauan saya. Saya juga belajar untuk mendahulukan orang lain terutama orang yang lebih tua dari kita sebelum memulai makan, pada saat makan pun terkadang diselingi bercengkrama dengan senda gurau yang mewarnai selama acara berlangsung tetapi tentunya dibersamai dengan bahasa yang baik kepada yang tua agar yang tua juga dapat membimbing yang muda ketika berinteraksi terlaksana.
Di tengah era modernisasi semakin berkembang pesat, didapati bahwasanya jarang sekali tradisi ini ditemui kecuali pada daerah-daerah tertentu yang masih kental dengan kebudayaan. Untuk daerah kota sendiri saya sangat jarang melihat tradisi ini hadir di tengah-tengah masyarakat Minangkabau sekarang. Hal ini terjadi dikarenakan pergeseran pola hidup kearah individualisme menggerus kebiasaan bersosial yang hadir sebagai kebudayaan terkhususnya daerah Minangkabau sendiri. Pengetahuan terkait makan bajamba pun sudah jarang dipraktikkan dan tidak banyak diwariskan pada generasi muda sekarang, hal tersebut menjadi salah satu pemicu memudarnya praktik makan bajamba sebagai simbolisme adat Minangkabau.
Makan bajamba sejatinya banyak mempelajari aspek-aspek dalam kehidupan, salah satunya prinsip kesetaraan duduk bersama setara dan tidak ada perbedaan. Bilamana tradisi ini hilang, menurut saya generasi muda tidak lagi merasakan kesolidaritasan, rasa kekeluargaan serta kekerabatan yang erat karena terbiasa dengan individualisme. Norma sosial pun semakin ditinggalkan karena tidak ada pengajaran terkait kebudayaan sopan-santun dalam menghormati orang tua, kesadaran akan berempati dan berbagi juga menjadi tantangan untuk generasi muda saat sekarang ini. Bisa dilihat banyak sekali generasi muda yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama baik itu secara sosialisasi ataupun dalam memecahkan permasalahan. Kebersamaan yang seharusnya hadir ketika acara makan bajamba hilang bak ditelan bumi apabila acara adat ini memudar, kehilangan pembangunan relasi dan rasa kekeluargaan membuat masyarakat rentan untuk mendapatkan konflik kecil yang seharusnya bisa dimusyawarahkan dengan momen kebersamaan tetapi tidak bisa teratasi dengan baik.
Untuk upaya menghadapi kepudaran tradisi ini, menurut saya pribadi harus ada upaya pelestarian yang benar-benar melibatkan banyak pihak seperti kolaborasi antara pemerintah, keluarga, maupun masyarakat sekitar guna mematik kembali semangat generasi muda kita saat ini. Hal tersebut dapat dimulai dari ranah keluarga dahulu di mana ayah memiliki peran untuk mengajak anak-anaknya dan keluarganya makan bersama dalam satu ruangan dan dulang yang sama. Dengan adanya pembelajaran perdana ini, mengajarkan pada generasi muda bahwasanya makan bajamba secara kecil-kecilan tadi dapat mengeratkan hubungan kekeluargaan dan solidaritas. Tak hanya dalam keluarga saja, instansi pemerintah terkhususnya pendidikan juga dapat berupaya menghidupkan kembali tradisi ini, mungkin bisa dengan memasukan ke dalam kurikulum kita terkait pembelajaran tentang fungsi makan bajamba serta praktik pelaksanaan sebagai upaya pencegahan tradisi ini menghilang. Dari saya pribadi, tradisi ini sangatlah bagus untuk terus kita kembangkan karena kita sebagai orang Minangkabau sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai kekerabatan dan kekeluargaan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































