Isu migrasi tidak lagi sekedar menjadi tantangan kemanusiaan bagi Eropa. Namun, telah berkembang menjadi sebuah instrument kekuasaan dan alat tawar strategis dalam hubungan internasional, khususnya antara Uni Eropa (UE) dan Turki. Dalam dinamika ini, pengungsi bukan hanya menjadi subjek perlindungan, tetapi objek politik yang diperdagangkan dalam perjanjian, ditahan di perbatasan, dan dikorbankan atas nama stabilitas geopolitik. Artikel ini mengulas bagaimana Turki menggunakan isu migrasi sebagai alat tawar politik dalam hubungannya dengan Uni Eropa, dinamika kepentingan dua pihak serta dampaknya terhadap perlindungan hak asasi pengungsi.
Turki dan Uni Eropa : Siapa yang Bergantung pada Siapa ?
Secara tradisional, Uni Eropa dipandang sebagai aktor dominan dalam hal ekonomi, politik dan hubungan regional. Namun kasus migrasi mengungkapkan adanya ketergantungan struktural Uni Eropa terhadap Turki. Perjanjian antara Uni Eropa dan Turki tahun 2016 atau yang dikenal dengan EU-Turkey Statement. Perjanjian bukan hanya soal dana yang berikan sebesar €3 milliar atau pengelolaan arus migran, melainkan sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab kemanusiaan dari Uni Eropa ke Turki. Dalam konteks tersebut, Turki menyadari posisinya sebagai zona peyangga migrasi sehingga secara terbuka menggunakan isu tersebut sebagai alat tawar dalam diplomatik. Presiden Erdogan juga beberapa kali mengancam “membuka gerbang ke Eropa” saat tuntutannya tidak dipenuhi, baik dalam hal kebijakan terhadap Suriah, sanksi politik maupun bantuan ekonomi. Hal ini menandakan adanya pergesaran kekuasaan simbolik dimana negara yang bukan anggota Uni Eropa memiliki kontrol terhadap kebijakan internal kawasan Eropa.
Sejarah Ketegangan dan Jalan Buntu Keanggotaan
Hubungan Uni Eropa dan Turki bukan hanya soal migrasi. Sejak tahun 1999, Turki secara resmi menjadi kandidat anggota Uni Eropa. Namun proses tersebut mengalami stagnasi karena beberapa faktor seperti, hak asasi manusia, kebebasan pers, serta kebijakan luar negeri Turki yang semakin otonom dan bertentangan dengan posisi Uni Eropa, terutama dalam hal kudeta, intervensi Turki terhadap Suriah dan bangsa Kurdi, konflik di Laut Mediterania Timur dan kedekatannya dengan Rusia. Perlambatan proses integrasi ini memperburuk ketegangan di antara kedua pihak, di mana Turki mulai mengalihkan fokusnya ke arah Eurasia dan dunia Islam, serta memanfaatkan peran sebagai aktor regional dalam isu energi, migrasi dan keamanan. Baru-baru ini, Turki juga menunjukkan ketertarikannya untuk bergabung dengan BRICS, sebagai upaya untuk memperluas jejaring diplomatik di luar kekuatan Barat. Di tengah buntunya jalan menuju integrasi, hal ini membuat migrasi menjadi satu-satunya saluran di mana Turki memiliki posisi tawar secara nyata.
Dilema Uni Eropa: Antara Nilai dan Kepentingan
Disatu sisi, Uni Eropa mengklaim sebagai sebuah institusi yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, hak asasi manusia, perlindungan pengungsi dan multilateralitas. Namun pada praktiknya, kebijakan migrasi Uni Eropa bertolak belakang dan memperlihatkan ambiguitas moral, seperti memberikan pengelolaan migrasi ke negara dengan catatan HAM yang diperdebatkan, memberlakukan pemulanngan paksa migran secara illegal di perbatasan Yunani dan Balkan serta gagal menyepakati sistem redistribusi pengungsi yang adil di antara negara anggota kawasan. Hal ini menunjukkan, Uni Eropa terjebak dalam dilema antara menjaga citra moral dan mengamankan batas territorial kawasan. Ketidakseimbangan politik internal antara negara-negara anggota juga turut memperburuk situasi imi. Beberapa negara seperi Jerman dan Swedia lebih terbuka dalam relokasi pengungsi, sementara negara-negara Visegrad (Hungaria, Polandia, Republik Ceko dan Slovakia) menolak skema solidaritas tersebut.
Konteks Global dan Potensi Krisis kemanusiaan terbaru
Konflik Gaza, Afghanistan dan Sudan telah menyebabkan gelombang baru peningkatan jumlah pengungsi yang kembali menjadikan Turki sebagai jalur transit utama. Hal tersebut menimbulkan beban domestik yang berat yang membuat Turki kembali menuntut Uni Eropa untuk memperbarui perjanjian migrasi dengan tuntutan yang lebih luas dari segi ekonomi, pertahanan hingga negosiasi politik. Di sisi lain, Uni Eropa masih belum menunjukkan kapasitas institutional dalam membangun kebijakan migrasi yang kolektif dan berkelanjutan. Perbedaan pandangan dan bangkitnya politik kanan di Eropa membuat kebijakan sulit untuk diterapkan, Ironisnya, strategi memindahkan tanggung jawab untuk mengendalikan arus migrasi juga diterapkan oleh Uni Eropa terhadap negara lain, seperti Libya dan Tunusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan kuat untuk mengalihkan tanggung jawab perlindungan pengungsi kepada negara mitra di luar kawasan.
Analisis Teoritis : Interdepensi Asimetris dan Sekurititasi
Persoalan migrasi jika dilihat dalam perspektif teori hubungan internasional, situasi ini mengambarkan interdepensi yang kompleks seperti yang dikemukan oleh Robert Keohane dan Joseph Nye, di mana aktor yang terlihat lebih kuat justru berada dalam posisi yang rentan karena ketergantungan terhadap pihak lain. Dalam konteks ini, Uni Eropa sebagai aktor yang lebih kuat justru mengalami kerentanan struktural akibat ketergantungan pada Turki dalam mengendalikan arus migrasi. Sementara dari perspektif teori sekuritasi (Copenhagen School), migrasi telah diubah menjadi isu keamanan non-tradisional. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan memindahkan tanggung jawab untuk mengendalikan arus migrasi, pembangunan pagar pembatas, penggunaan teknologi pengawasan yang sangat canggih hingga kerja sama dengan negara-negara non-anggota Uni Eropa seperti Turki, Libya dan Tunisia, alih-alih memperkuat sistem suaka yang berlandasakna hak asasi manusia.
Kesimpulan
Dalam kasus Uni Eropa dan Turki ini menunjukkan bahwa politik migrasi tidak netral dan sangar erat dengan dinamika kekuasaan, kepentingan dan negosiasi. Ketika pengungsi dijadikan sebagai alat tawar, maka bukan hanya nilai-nilai kemanusiaan yang dipertaruhkan, namun juga legitimiasi politik kawasan itu sendiri. Dengan demikian, Uni Eropa perlu untuk mengembangka kerangka kerja migrasi yang mandiri tanpa tekanan dari pihak eksternal dan Turki harus menunjukkan transparansi dan tanggung jawab dalam pengelolaan dana internasional dan perlindungan pengungsi