Festival Wedhang Nusantara bukan sekadar tentang minuman hangat. Di balik aroma rempah dan uap yang mengepul, wedhang menjadi simbol kebudayaan, ruang dialog, dan wadah pemberdayaan. Dalam talkshow yang saya ikuti dalam rangkaian Kemah Integrasi Pemuda pada 27 Oktober 2025, hadir tiga tokoh yang memantik banyak refleksi: M. Hadi Wawan Guntoro, Kepala Dinas Kepemudaan dan Olahraga (Dispora) Jawa Timur, Zainul Arifin, aktivis muda Jawa Timur; dan Kak Ghea, pecinta wedhang sekaligus Raki Jawa Timur.
Festival ini dibuka dengan prosesi yang indah dan penuh makna — penyeduhan wedhang bersama antara perwakilan pemuda dan Kepala Dispora Jawa Timur. Uap hangat yang mengepul dari cangkir terasa seperti simbol penyatuan energi antara generasi muda dan pemerintah dalam menjaga warisan budaya Nusantara.
Menurut laporan Kadispora, Dispora Jawa Timur telah mengkurasi berbagai jenis wedhang dari berbagai daerah di Nusantara. Langkah ini bukan hanya bentuk pelestarian, tetapi juga upaya memetakan keragaman rasa, rempah, dan filosofi di balik setiap wedhang. Dengan cara ini, budaya minum wedhang bisa dikenalkan lebih luas, bahkan menjadi bagian dari identitas kuliner dan ekonomi kreatif Jawa Timur.
Wedhang: budaya yang menemani cangkruk Nusantara
Kepala Dispora Jawa Timur, M. Hadi Wawan Guntoro, membuka talkshow dengan kalimat yang sederhana tapi sarat makna.
Menurutnya, “Wedhang menggambarkan budaya Nusantara, yang biasa menjadi teman cangkruk masyarakat.” Dalam secangkir wedhang tersimpan filosofi sosial: berkumpul, berbagi, dan berdialog.
Ia menegaskan bahwa pemberdayaan pemuda tidak bisa dilepaskan dari akar budayanya sendiri. Pemerintah, katanya, harus mampu memfasilitasi pengembangan dan peningkatan SDM pemuda secara terarah, terutama melalui kolaborasi pentahelix — sinergi antara pemerintah, akademisi, dunia usaha, komunitas, dan media.
Salah satu sektor yang paling potensial untuk digerakkan adalah industri kreatif, yang kini banyak diinisiasi oleh anak-anak muda Jawa Timur. Dari produk budaya, seni, hingga olahan kuliner lokal seperti wedhang, potensi ini bisa menjadi sumber ekonomi sekaligus alat diplomasi budaya.
Semangat Pemuda Jawa Timur: dari Kongres Pemuda hingga Hari Ini
Zainul Arifin, aktivis muda yang juga menjadi penggerak komunitas kepemudaan Jawa Timur, mengingatkan bahwa semangat pemuda hari ini seharusnya mewarisi bara perjuangan para pelopor Kongres Pemuda Kedua.
Ia menuturkan bahwa banyak tokoh penting dalam peristiwa Sumpah Pemuda lahir dari tanah Jawa Timur — di antaranya Sugondo Joyopuspito dan WR Supratman. Dua nama ini bukan hanya bagian dari sejarah nasional, tetapi juga representasi bahwa pemuda Jawa Timur sejak awal memiliki keberanian untuk berpikir besar dan bertindak lintas batas daerah.
Menurut Zainul, warisan semangat itu harus terus dihidupkan: membangun bangsa melalui kreativitas, inovasi, dan nalar kritis.
“Tanpa organisasi pemuda dan insan yang berpikir kritis, Jawa Timur tidak akan maju,” ujarnya.
“Pemuda memang sulit diatur. Tapi selama mereka belum bisa diatur, di situlah letak semangat bangsa.”
Baginya, kebebasan berpikir adalah nyawa dari gerakan pemuda. Ia menegaskan, ruang berekspresi harus tetap terbuka agar daya kritis dan ide-ide segar anak muda tidak dibungkam oleh birokrasi atau tekanan sosial.
“Apakah Jatim sudah memberikan ruang? Sudah. Tapi kita belum cukup,” katanya tegas, sekaligus menjadi ajakan agar pemuda terus mengisi ruang yang sudah ada dengan karya dan kontribusi nyata.
Wedhang sebagai Ruang Eksperimen dan Cinta Tradisi
Kak Ghea, pecinta wedhang dan Raki Jawa Timur, menambahkan warna berbeda dalam talkshow ini. Menurutnya, wedhang bukan sekadar minuman, melainkan medium untuk sesrawungan dan mengenal diri sendiri melalui rasa dan kebersamaan.
“Filosofi minum wedhang bukan hanya untuk menghangatkan tubuh, tapi untuk menghangatkan hubungan antar-manusia,” ujarnya.
Ia mendorong generasi muda untuk berani bereksperimen dan berinovasi dengan riset ilmiah berbasis tradisi. Wedhang, katanya, bisa dikembangkan dari bahan lokal dengan pendekatan sains tanpa kehilangan nilai filosofisnya.
“Wedhang bukan hanya untuk generasi tua. Anak muda juga bisa mencintainya. Mulailah dari diri sendiri — minum wedhang, ajak teman, dan bawa semangatnya ke komunitas,” katanya.
Bagi Kak Ghea, minum wedhang adalah cara sederhana untuk membumikan budaya. Setiap tegukan adalah bentuk penghormatan pada leluhur dan upaya memperpanjang usia tradisi di tengah modernitas.
Kolaborasi Terarah untuk Pemberdayaan Pemuda
Talkshow ini juga menegaskan pentingnya kolaborasi pentahelix yang konkret dan produktif.
Pemerintah menciptakan kebijakan dan fasilitas, akademisi menyumbang riset, pelaku usaha menggerakkan ekonomi, komunitas menjaga nilai, sementara media serta organisasi pemuda menghidupkan narasi budaya di ruang publik.
Dengan sinergi seperti ini, wedhang tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga komoditas bernilai tambah, membuka lapangan kerja, dan memperkuat identitas Jawa Timur sebagai pusat kreativitas dan kebudayaan Nusantara.
Menjadi Berlian, Di Mana Pun Berada
Menutup acara, M. Hadi Wawan Guntoro menyampaikan pesan reflektif yang menancap dalam ingatan:
“Jadilah versi terbaik dirimu sendiri. Apa yang kamu punya itulah kebanggaanmu. Gali dan bangun kompetensi, karena meskipun kamu berada di selokan, kalau kamu berlian, kamu tetap akan dicari orang karena nilaimu.”
Pesan ini terasa sangat relevan: setiap pemuda memiliki potensi yang tak ternilai, asal mau mengasah diri dan tidak kehilangan arah.
Zainul Arifin menambahkan dengan semangat,
“Jika Gajah Mada telah menggemparkan sumpah amukti palapa, maka Bu Khofifah akan menggemparkan gerbang baru dari Jawa Timur untuk Nusantara.”
Sementara Kak Ghea menutup dengan kalimat yang hangat sekaligus berani:
“Beri aku 10 ribu rempah, akan kuguncangkan dunia.”
Penutup: Dari Cangkruk ke Peradaban
Festival Wedhang Nusantara membuktikan bahwa tradisi sederhana bisa menjadi pintu menuju peradaban besar.
Wedhang, yang selama ini dianggap sekadar teman santai, ternyata menyimpan kekuatan sosial, ekonomi, dan kultural. Ia bisa menjadi medium untuk memperkuat identitas lokal sekaligus memperluas jejaring kolaborasi antar-generasi.
Dari cangkruk sambil meneguk wedhang, semangat persaudaraan dan kemerdekaan berpikir bisa tumbuh lagi, seperti bara yang diwariskan Sugondo, WR Supratman, dan para pemuda Sumpah Pemuda dulu.
Bedanya, kini perjuangan itu hadir dalam bentuk baru: menjaga rasa, membangun ruang, dan menghidupkan kembali tradisi Nusantara di tangan generasi muda Jawa Timur.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”






































































