Otak, yang merupakan organ terkompleks di dunia, menjadi pusat pengendali utama tubuh manusia. Mulai dari mengatur pikiran, ingatan, memori, emosi, gerakan, pernapasan, hingga akhirnya menjadi sumbangsih terpenting dari terbentuknya perilaku. Banyak dari kita yang mengira bahwa sebagian besar perilaku manusia hanya dipengaruhi oleh lingkungan, interaksi, dan sebatas proses kognitif. Tetapi, siapa yang menyangka jika kumpulan makhluk kecil yang tinggal di usus kita punya pengaruh yang tak kalah penting dari faktor pembentuk perilaku yang telah disebutkan.
Mengenal Mikrobiota Usus
Mikrobiota usus merujuk pada ekosistem yang terdiri dari triliunan lebih bakteri, virus, dan jamur yang tinggal dalam usus manusia, terutama usus besar. Dengan jumlahnya yang melebihi keberadaan sel dalam tubuh kita, peran yang dimilikinya pun menjadi tak kalah penting. Ia menjadi dalang dibalik lancarnya proses pencernaan, penyerapan zat gizi, hingga melatih perkembangan sistem kekebalan tubuh kita. Setiap individu memiliki struktur mikroorganisme yang unik, dan berbeda-beda. Namun, umumnya terdapat kumpulan phylum bakteri yang dominan seperti Bacteroidetes, Firmicutes, Actinobacteria, dan Proteobacteria.
Selama ini, mikrobiota usus hanya sekedar dianggap membantu pencernaan. Namun, peneliti menemukan bahwa makhluk kecil ini memiliki peran yang begitu besar hingga dapat membentuk emosi, menentukan mood, tingkat stres, hingga perilaku. Jadi, ia bukan hanya berurusan dengan makanan saja, tapi juga dengan pikiran manusia.
Bagaimana Cara Kerjanya?
Singkatnya, kehidupan bakteri di usus manusia diibaratkan seperti dua kerajaan yang selalu bertengkar. Mereka adalah bakteri baik dan bakteri jahat. Kerajaan ini terbentuk sejak manusia berada dalam rahim ibu. Melalui air ketuban dan jalur keluar yang dilewati sang bayi, banyak bakteri yang masuk dan ikut membangun kerajaannya di usus kita. Proporsi antara bakteri baik dan jahat ini sangat berperan penting dalam membangun keseimbangan tubuh.
Mikrobiota saluran pencernaan akan dikatakan seimbang bila bakteri baik lebih dominan dibanding bakteri jahat. Hal ini disebabkan karena populasi dari kedua kerajaan bakteri cenderung bersaing untuk mengeluarkan energi dan sumber daya terhadap individu. Semakin besar jumlah populasi dari suatu bakteri, semakin besar pula kekuatannya untuk memanipulasi individu yang dihinggapinya.
Sebagai contoh, kerajaan bakteri baik bisa menghasilkan hormon serotonin, salah satu hormon yang membuat kita bahagia hampir semuanya berasal dari usus. Artinya, kalau mereka bahagia, kita juga ikut bahagia. Sebaliknya, jika hanya sedikit bakteri baik, perasaan kita bisa ikut memburuk.
Lantas, bagaimana para bakteri ini memengaruhi pikiran kita? Di tengah banyaknya kumpulan saraf di tubuh manusia, terdapat satu saraf utama yang menjadi jalur komunikasi antara usus dan otak (gut-brain-axis): saraf vagus.
Mikrobiota usus aktif memberikan sinyal berupa rasa kenyang dan sensasi pasca makan sebagai respon terhadap asupan makan kita. Bakteri sendiri memiliki dua kemampuan utama dalam berkomunikasi, yaitu memproduksi dan mengeluarkan neurotransmitter seperti serotonin, serta mengeluarkan asam amino dan senyawa lain untuk membantu proses komunikasi dan perubahan dalam SSP (Sistem Saraf Pusat).
Lebih lanjut, peneliti menemukan bahwa sekitar 80% sinyal berasal dari usus ke otak, bukan malah sebaliknya. Itulah sebabnya istilah “you are what you eat” menjadi semakin relevan dan masuk akal.
Jadi, perlu diperhatikan bahwa mikrobiota usus sangat bergantung pada komposisi nutrisi makanan kita. Serat makanan, terutama karbohidrat memberikan keunggulan bagi kerajaan bakteri baik. Selain dari nutrisi makanan, mikrobiota usus, sensitif terhadap perubahan yang banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, termasuk stress (kualitas tidur, bahan kimia, dan pekerjaan yang sangat berat), pola makan, hingga pengobatan.
Studi pada Hewan dan Depresi
Salah satu temuan yang paling menarik berasal dari studi pada tikus GF (germ free), yakni tikus yang tidak memiliki microbiota sejak lahir. Tikus GF menunjukkan perilaku yang berbeda, yaitu lebih mudah depresi dan sulit bersosialisasi. Kemudian, saat mikrobiota dari tikus lain ditransplantasikan kepada tikus GF, terjadi peningkatan fungsi otak dan perilaku. Hal ini menunjukkan bahwa mikrobiota memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan otak dan penyesuaian perilaku.
Pada manusia sendiri, beberapa studi menunjukkan adanya pendekatan yang lebih mekanistik, meskipun penggunaan model tikus GF masih mendominasi. Orang dengan masalah kesehatan jiwa seperti kecemasan, depresi, Alzheimer, hingga autisme memiliki komposisi mikrobiota yang tidak seimbang sehingga memicu adanya kelainan dalam komunikasi dua arah usus-otak. Kurangnya produksi molekul antiperadangan, serta neurotransmitter terhadap gangguan kecemasan, dapat berpengaruh pada sistem pertahanan usus, jalur metabolisme, hingga penyesuaian imun tubuh.
Meski sudah banyak penelitian yang dilakukan, Sebagian besar hanya diujikan pada hewan sehingga tidak bisa langsung diterapkan pada manusia. Manusia memiliki mikrobiota usus yang berbeda-beda, sehingga cara mereka dalam merespon makanan hingga emosi juga bisa berbeda-beda.
Lantas, Mengapa Penting untuk Kita?
Semua informasi yang telah diperoleh ini menunjukan bahwa merawat mikrobiota usus bukan hanya soal pencernaan yang lancar, tetapi juga tentang kesehatan mental. Dengan pola hidup yang sehat, dimulai dari hal sederhana seperti rutin mengonsumsi makanan fermentasi (yogurt, tempe, dan kimchi), konsumsi serat, tidur yang cukup, dan olahraga yang teratur, dapat membantu menciptakan lingkungan dan dukungan lebih terhadap kerajaan bakteri baik di usus kita.
REFERENSI
Alcock, J., Maley, C. C., & Aktipis, C. A. (2014). Is eating behavior manipulated by the gastrointestinal microbiota? Evolutionary pressures and potential mechanisms
Atmaja, Budiman & Rafelia, Vania. (2022). Hubungan antara Psikobiotik dengan Gangguan Kecemasan. Journal Of The Indonesian Medical Association. 71. 286-295. https://doi.org/10.47830/jinma-vol.71.6-2021-238
Christa, T. A. (2024). Mikrobiota usus: Peran, kesehatan, dan implikasinya bagi tubuh. Universitas Airlangga. https://unair.ac.id/post_fetcher/fakultas-kesehatan-masyarakat-mikrobiota-usus-peran-kesehatan-dan-implikasinya-bagi-tubuh/
Fachry Naufal, Diaru Fauzan Farizy, & Winda TU. (2020). Psychobiotics: Role of Gut Microbiota in Mental Health. Medical Profession Journal of Lampung, 10(3), 545-550. https://doi.org/10.53089/medula.v10i3.133
Kim, G. H., & Shim, J. O. (2023). Gut microbiota affects brain development and behavior. Clinical and experimental pediatrics, 66(7), 274–280. https://doi.org/10.3345/cep.2021.01550
Suryawan, A. (2018). Komposisi mikrobiota dan perkembangan kognitif, perilaku dan karakter anak. Maternal, Infant and Young Children Nutrition & Health, July, 225-234.
Tooley K. L. (2020). Effects of the Human Gut Microbiota on Cognitive Performance, Brain Structure and Function: A Narrative Review. Nutrients, 12(10), 3009. https://doi.org/10.3390/nu12103009
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































