Di tengah budaya media sosial yang serba estetik, terkurasi, dan penuh filter, muncul tren baru yang tampak berlawanan: Wabi-Sabi. Berakar dari filosofi Jepang, Wabi-Sabi mengajarkan bahwa keindahan justru ada pada ketidaksempurnaan—goresan, kekacauan kecil, momen apa adanya. Menariknya, semakin banyak Milenial dan Gen Z yang kini mengunggah konten jujur seperti rumah berantakan, hari yang biasa saja, hingga emosi mentah tanpa polesan.
Fenomena ini memicu pertanyaan: kenapa generasi digital yang dikenal perfeksionis justru mulai merangkul estetika yang tidak sempurna?
Kelelahan Dari Budaya Sempurna
Selama bertahun-tahun, sosial media menjadi arena kompetisi visual: rumah harus rapi, kulit harus glowing, hidup harus terlihat seru. Tekanan menampilkan versi terbaik diri sendiri hampir setiap saat membuat banyak orang lelah secara emosional.
Wabi-Sabi hadir sebagai “napas segar”—sebuah pengingat bahwa hidup nyata tidak selalu cantik, dan itu tidak apa-apa.
Keindahan dalam Hal Sederhana
Filosofi Wabi-Sabi mengajak orang untuk melihat nilai dalam benda lama, momen tidak terduga, serta detail kecil yang sering terabaikan. Generasi muda mulai mengapresiasi foto cangkir retak, halaman buku usang, atau meja kerja yang berantakan karena semuanya menunjukkan proses, bukan hasil sempurna.
Alih-alih menutupi realita, mereka justru ingin menunjukkan keseharian apa adanya.
Konten “Jujur” sebagai Bentuk Perlawanan
Tren unggahan “unfiltered life” bukan sekadar gaya konten, tetapi bentuk perlawanan halus terhadap budaya pencitraan. Generasi muda ingin membuktikan bahwa kebahagiaan tidak harus terlihat sempurna.
Mereka memilih menunjukkan rumah yang penuh cucian daripada tampilan yang diatur, atau membagikan perasaan lelah tanpa takut terlihat “kurang ideal”.
Ini memberi efek yang lebih hangat dan manusiawi—konten terasa lebih dekat, lebih tulus, lebih nyata.
Ruang Aman untuk Merasa
Wabi-Sabi juga menjadi ruang aman bagi banyak orang untuk menerima diri sendiri. Ketidaksempurnaan yang dipamerkan bukan untuk drama, melainkan untuk saling mengingatkan bahwa semua orang berproses.
Bahwa hidup tidak harus selalu teratur.
Bahwa kecantikan bisa hadir dalam bentuk yang sederhana.
Bahwa tidak apa-apa jika hari ini tidak sempurna.
Kesimpulan
Pilihan Milenial dan Gen Z terhadap Wabi-Sabi menunjukkan pergeseran besar: dari mengejar kesempurnaan menuju merayakan keaslian.
Tren ini bukan hanya estetika, tetapi juga kebutuhan emosional untuk menerima realitas, melepaskan tekanan sosial, dan menghargai hal kecil yang sering terlupakan.
Pada akhirnya, Wabi-Sabi mengingatkan kita bahwa hidup yang tidak sempurna justru lebih indah—karena ia nyata, penuh cerita, dan apa adanya.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































