Popularitas seblak di kalangan remaja dan Gen Z terlihat seperti sebuah fenomena kuliner yang wajar makanan enak, pedas, murah, dan mudah dijumpai. Namun dari sudut pandang kritis, tren ini justru menyimpan persoalan yang patut diperhatikan. Fenomena tingginya konsumsi seblak bukan semata-mata didorong oleh selera pribadi, melainkan oleh FOMO (fear of missing out) yang semakin mengakar di kehidupan digital remaja. Karena itu, diperlukan sikap kontra terhadap pola konsumsi yang tidak berlandaskan kesadaran, tetapi pada tekanan sosial yang muncul dari media sosial.
Seblak bukanlah masalah ketika dinikmati sewajarnya. Masalah muncul ketika makanan ini berubah menjadi identitas sosial yang seolah wajib diikuti demi terlihat “update”. Dari sini, mulai terlihat bahwa keputusan makan tidak lagi didorong oleh kebutuhan tubuh, melainkan keinginan untuk mengikuti arus tren. Dengan demikian, fenomena ini perlu ditentang, karena memperlihatkan bagaimana tekanan digital dapat mengendalikan pilihan sehari-hari generasi muda.
Di TikTok, konten seblak muncul secara masif: dari level pedas ekstrem, topping yang aneh, hingga porsi yang tidak wajar. Semakin ekstrem, semakin viral. Dalam kondisi demikian, muncul pertanyaan penting: apakah remaja benar-benar menikmati makanan tersebut, atau hanya mengikuti pola konsumsi yang diproduksi oleh algoritma?
Sudut pandang kontra perlu ditegaskan karena tren ini telah memperlihatkan beberapa gejala yang merugikan. Salah satunya ialah bagaimana banyak remaja membeli seblak bukan karena rasa, tetapi karena takut terlihat “ketinggalan zaman”. Komentar warganet memperlihatkan hal ini secara jelas banyak yang justru mengaku tidak terlalu menyukai seblak, tetapi tetap membelinya agar dapat mengikuti tren yang sedang ramai di media sosial. Jika keputusan sesederhana memilih makanan saja sudah ditentukan oleh opini orang lain, bagaimana generasi ini dapat belajar mengambil keputusan yang mandiri?
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana tekanan sosial digital semakin mendesak remaja untuk berperilaku seragam. Ketika sesuatu sedang viral, maka tindakan mengikuti dianggap sebagai hal yang normal. Hal ini tentu layak dikritisi. Remaja perlu diajarkan bahwa tidak semua tren patut diikuti, dan viralitas bukan alasan untuk melakukan sesuatu. Sikap ini penting agar generasi muda tidak mudah terjebak dalam pola konsumsi impulsif.
Dari sudut pandang kesehatan, konsumsi seblak berlebihan dapat membawa risiko. Tingkat kepedasan tinggi, topping olahan, hingga penggunaan bumbu instan dapat berdampak buruk jika dikonsumsi terus-menerus. Namun, aspek kesehatan ini sering kali diabaikan karena tekanan sosial lebih kuat dibandingkan kesadaran diri. Apakah popularitas makanan dapat menjadi pembenaran untuk mengabaikan kesehatan? Dalam konteks ini, sikap kontra sangat diperlukan agar remaja dapat melihat bahwa tren tidak selalu sejalan dengan kepentingan kesejahteraan diri.
Tren seblak juga memperlihatkan bagaimana media sosial menciptakan standar keterlibatan sosial yang tidak realistis. Banyak remaja merasa bahwa tidak bergabung dalam tren berarti tidak relevan secara sosial. Pemikiran ini perlu dikritik, karena tidak semua tren bersifat positif atau berguna. Ketika makanan yang seharusnya dinikmati atas dasar kesukaan berubah menjadi simbol eksistensi, maka tren tersebut sudah melewati batas wajar. Sudut pandang kontra melihat bahwa tren seperti ini justru menciptakan tekanan psikologis tambahan kepada remaja.
Apakah setiap tren kuliner harus diikuti? Apakah ketidakikutsertaan berarti keterasingan sosial? Pertanyaan seperti ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi para remaja dan lingkungan sosialnya. Remaja perlu memahami bahwa tren hanyalah fenomena sementara. Mengikuti tren bukan kewajiban dan tidak menentukan nilai diri. Dengan demikian, kritik terhadap budaya FOMO ini sangat relevan.
Dalam lingkungan digital, FOMO bekerja dengan cara halus: menampilkan representasi ideal dari sesuatu sehingga orang merasa harus ikut terlibat. Pada fenomena seblak, hal ini tampak jelas. Video seseorang menikmati seblak dengan ekspresi berlebihan dapat menciptakan dorongan bagi penonton untuk mencoba, meski sebenarnya tidak tertarik. Konten seperti ini melahirkan ekspektasi bahwa semua orang harus ikut mencicipi. Dari sinilah sikap kontra menemukan landasan: keputusan makan tidak boleh didorong oleh rasa takut kehilangan relevansi.
Perlu disadari bahwa tidak semua tren memberikan manfaat jangka panjang. Sebagian tren hanya menghadirkan euforia sementara tetapi meninggalkan dampak negatif. Seblak, dalam konteks budaya FOMO, adalah salah satu contohnya. Tren ini telah memengaruhi pola konsumsi dan psikologi remaja. Tanpa kritik, fenomena ini dapat berkembang menjadi kebiasaan buruk yang bertahan lama.
Namun, sikap kontra bukan berarti memusuhi seblak sebagai makanan. Seblak tetap merupakan bagian dari kekayaan kuliner Indonesia. Yang ditolak adalah dorongan untuk mengonsumsinya hanya demi mengikuti tren. Remaja perlu membangun kemampuan untuk membedakan keputusan yang lahir dari keinginan pribadi dan keputusan yang dipaksakan oleh tekanan sosial.
Oleh karena itu, penting untuk menumbuhkan kesadaran digital di kalangan remaja. Mereka perlu memahami bagaimana algoritma bekerja, bagaimana tren terbentuk, dan bagaimana menghindari jebakan FOMO. Dengan demikian, mereka dapat membuat keputusan yang lebih matang. Kesadaran ini juga dapat membantu remaja untuk lebih bijak dalam menentukan apa yang mereka konsumsi.
Fenomena seblak yang digandrungi wanita muda dan Gen Z membuka diskusi panjang tentang hubungan antara makanan, identitas, dan media sosial. Dari sudut pandang kontra, fenomena ini memperlihatkan adanya dominasi tekanan sosial terhadap keputusan pribadi. Jika tren terus memengaruhi gaya hidup tanpa disaring oleh kesadaran diri, maka remaja akan kesulitan membentuk identitas yang autentik.
Sikap kontra melihat bahwa konsumsi yang didorong oleh FOMO bukanlah budaya yang sehat. Remaja harus menyadari bahwa tren tidak harus selalu diikuti. Jika tren kuliner seperti seblak hanya dikejar demi tampil relevan di media sosial, maka tren tersebut tidak memberikan manfaat nyata. Remaja perlu memahami bahwa keputusan terbaik adalah keputusan yang lahir dari preferensi pribadi, bukan tekanan sosial.
Pada akhirnya, fenomena ini mengingatkan bahwa viralitas tidak selalu melahirkan kebaikan. Remaja perlu diarahkan agar tidak menjadi korban budaya FOMO. Seblak dapat tetap dinikmati, tetapi harus berdasarkan kesadaran, bukan kewajiban sosial.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































