Lamongan — Kalau mau jujur, gaya kepemimpinan Pemkab Lamongan akhir-akhir ini mirip seperti anak kecil yang suka jajan tapi belum bisa ngatur uang jajan sendiri. Setiap kali butuh sesuatu, solusinya cuma satu: pinjam dulu, urusan bayar belakangan.
Setelah dulu berutang Rp250 miliar di masa Covid-19 dengan alasan pemulihan ekonomi, lalu menyusul pinjaman Rp100 miliar di tahun berikutnya untuk pembangunan infrastruktur, kini Lamongan kembali melirik angka Rp50 miliar lagi. Alasannya pun masih sama: percepatan pembangunan jalan.
Pertanyaannya sederhana, tapi menohok: kalau setiap percepatan butuh utang, kapan Lamongan bisa benar-benar berlari dengan kakinya sendiri?
Dalam teori ekonomi publik, pinjaman daerah itu sebenarnya boleh bahkan bisa jadi alat strategis. Tapi hanya kalau digunakan untuk menghasilkan produktivitas baru yang bisa balik modal. Misalnya, membangun jalan yang membuka kawasan industri, pasar, atau pusat logistik. Tapi kalau dipakai hanya untuk menambal yang bolong, maka itu bukan investasi, melainkan menunda masalah dengan bunga.
Lamongan kini punya beban utang yang tidak kecil. Totalnya, kalau dijumlah, sudah menembus angka hampir setengah triliun rupiah. Sementara, pendapatan asli daerah (PAD) tiap tahun tidak banyak berubah. Artinya, semakin besar utang, semakin kecil ruang gerak APBD untuk hal-hal yang benar-benar menyentuh rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi kecil.
Ironisnya, semua ini dibungkus dengan narasi manis: untuk pembangunan. Padahal, kalau rakyat diajak berpikir logis, pembangunan sejati bukan diukur dari berapa besar pinjaman yang diajukan, tapi seberapa mandiri daerah itu mengelola uangnya.
Kebiasaan utang untuk jalan cepat ini seperti gaya pembangunan era Jokowi di tingkat nasional — tampak gagah di atas kertas, tapi di baliknya tersembunyi beban cicilan jangka panjang. Bedanya, pemerintah pusat masih punya daya tawar dan aset besar, sementara Lamongan cuma punya PAD yang pas-pasan dan program rutin yang sering tak tuntas.
Mari kita bicara dalam bahasa sederhana:
Kalau gaji kita pas-pasan, tapi kita nekat nyicil mobil baru hanya demi terlihat sukses di depan tetangga, bukankah itu konyol? Nah, begitu juga Lamongan.
Pembangunan tidak harus megah, tapi harus masuk akal. Kalau utang jadi kebiasaan, maka setiap bupati berikutnya hanya akan jadi tukang bayar cicilan dari kesalahan masa lalu. Dan rakyat, seperti biasa, cuma bisa menonton sambil menambal jalan yang tetap rusak meski katanya sudah dipercepat.
Lamongan tak butuh pinjaman besar yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang berani hidup sesuai kemampuan, bukan gaya yang ingin seperti pusat tapi lupa realita daerah.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 













































 
 











 
 




