Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi Lampung memiliki peran penting sebagai pusat perdagangan, jasa, dan transit. Aktivitas pedagang kaki lima (PKL) maupun pedagang pasar tradisional menjadi denyut nadi ekonomi masyarakat. Namun, keberadaan mereka sering memunculkan wajah kota yang semrawut jika tidak dikelola dengan baik. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam mengatur tata kelola pedagang agar sejalan dengan keindahan kota, kenyamanan publik, serta keberlangsungan ekonomi rakyat kecil.
Berdasarkan data Dinas Perdagangan Kota Bandar Lampung tahun 2023, tercatat lebih dari 7.500 pedagang kaki lima tersebar di berbagai titik, khususnya di pusat keramaian seperti Pasar Tugu, Jalan Kartini, dan Terminal Rajabasa. Banyak di antaranya menempati trotoar dan badan jalan sehingga mengganggu lalu lintas serta kebersihan. Sementara itu, survei LSM setempat mencatat bahwa 65% PKL mengaku memilih berdagang di lokasi tersebut karena faktor strategis dan keterbatasan lapak resmi. Mereka berkontribusi besar terhadap perputaran ekonomi harian, meski sering dianggap sebagai penyumbang kesemrawutan lalu lintas dan masalah kebersihan. Menurut data BPS, sektor informal (termasuk PKL) menjadi salah satu penopang utama ekonomi perkotaan di Indonesia.
Masalah utama yang muncul adalah benturan antara kebutuhan ekonomi pedagang dengan kepentingan estetika kota dan kenyamanan publik. Penertiban yang dilakukan pemerintah sering menimbulkan konflik sosial karena dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Selain itu, minimnya fasilitas tempat usaha yang layak membuat pedagang kembali ke jalan setelah penertiban.

Menurut teori Public Policy Implementation oleh George C. Edwards III, keberhasilan kebijakan bergantung pada komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Dalam konteks ini, tata kelola PKL di Bandar Lampung belum sepenuhnya memenuhi empat aspek tersebut. Kurangnya komunikasi antara pemerintah dan pedagang menyebabkan kebijakan sering tidak efektif. tata kelola kota yang baik menuntut adanya partisipasi, transparansi, dan keadilan. Jika pedagang tidak diberi ruang yang layak, mereka akan kembali ke ruang publik. Jika aparat hanya represif, masalah sosial makin besar. Artinya, solusi harus melibatkan kedua belah pihak.
Teori penyelesaian dalam menghadapi penolakan relokasi PKL di Bandar Lampung, solusi terbaik adalah menggabungkan kolaborasi dengan stakeholder dan prinsip keadilan sosial. Relokasi PKL harus dilakukan secara hati-hati dan dengan memperhatikan kesejahteraan pedagang, agar kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan pihak pemerintah dan masyarakat kota, tetapi juga memberi keuntungan ekonomi yang berkelanjutan bagi para pedagang kaki lima. Pendekatan yang inklusif dan partisipatif adalah kunci untuk menciptakan solusi yang adil dan efektif bagi semua pihak yang terlibat.
Beberapa akademis lokal menilai bahwa akar masalah dari tata Kelola pedagangan di wajah kota bandar lampung saat ini , solusi yang paling tepat Menurut Dosen Bapak Dr. Abdul Khoar.M.Si. Hukum Tata Negara UIN RADEN INTAN LAMPUNG, adalah penegakan aturan yang adil dan Hindari diskriminasi atau “backing” yang membuat sebagian pedagang kebal aturan. Namun, banyak pedagang di ruang publik yang menempati trotoar, taman kota, hingga jalur wisata. Hal ini memang membantu mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi di sisi lain menimbulkan persoalan baru: kesemrawutan, terganggunya lalu lintas, hingga konflik dengan aparat. Masalah Utamanya yaitu Pedagang cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dengan berjualan di ruang publik tanpa memperhatikan estetika kota. Banyak ornamen kota, taman, hingga jalur pejalan kaki tertutup oleh lapak pedagang sehingga mengurangi fungsi ruang publik. Ada indikasi bahwa sebagian pedagang mendapat “backing” politik atau aparat, sehingga penertiban sulit dilakukan. dan Jika pedagang tidak diberi ruang yang layak, mereka akan kembali ke ruang publik. dan Jika aparat hanya represif, masalah sosial makin besar. Artinya, solusi harus melibatkan kedua belah pihak.
Solusi dan Rekomendasinya yaitu dengan zonasi Pedagang Pemerintah menyiapkan kawasan khusus PKL dengan fasilitas memadai (air, sanitasi, keamanan).Dialog Partisipatif Libatkan perwakilan pedagang dalam perumusan kebijakan agar mereka merasa memiliki aturan tersebut dan Pendampingan Ekonomi Berikan pelatihan usaha, bantuan modal, serta dukungan digitalisasi agar pedagang bisa berkembang tanpa harus bergantung pada ruang publik yang terlarang dan melakukan dukasi Publik Membangun kesadaran bersama bahwa menjaga wajah kota adalah tanggung jawab semua masyarakat.
Kota Surakarta di bawah kepemimpinan Joko Widodo pernah berhasil menata ribuan PKL di Banjarsari dengan pendekatan musyawarah dan pemberian kompensasi yang adil. Sementara di Yogyakarta, kawasan Malioboro menjadi contoh penataan PKL yang harmonis antara kepentingan ekonomi dan estetika kota. Hal ini dapat menjadi referensi bagi Bandar Lampung.
Tata kelola pedagang di Bandar Lampung adalah tantangan besar yang memerlukan pendekatan bijak dan berkelanjutan. Pedagang adalah bagian dari wajah kota sekaligus motor ekonomi rakyat. Pemerintah harus mengutamakan dialog, menyediakan ruang usaha yang layak, serta mengedepankan solusi kolaboratif. Dengan demikian, Bandar Lampung dapat tampil sebagai kota yang tertata indah namun tetap ramah bagi pelaku ekonomi kecil.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 













































 
 











 
 




