Bullying atau perundungan telah menjadi salah satu tantangan serius dalam dunia pendidikan yang memerlukan perhatian khusus dari seluruh stakeholder sekolah, terutama konselor. Sebagai garda terdepan dalam layanan bimbingan dan konseling, konselor memiliki peran krusial dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan bebas dari perundungan. Bullying bukan sekadar konflik biasa antar siswa, melainkan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan, tindakan berulang, dan niat untuk menyakiti baik secara fisik, verbal, maupun psikologis. Di era digital saat ini, cyberbullying menambah dimensi baru yang membuat perundungan dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, bahkan di luar lingkungan sekolah.
Dampak bullying terhadap korban sangat signifikan dan tidak boleh diabaikan. Korban perundungan dapat mengalami penurunan prestasi akademik yang drastis karena kesulitan berkonsentrasi dan kehilangan motivasi belajar. Lebih dari itu, dampak psikologis berupa gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, hingga trauma jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka di masa depan. Pelaku bullying sendiri juga memerlukan perhatian khusus karena perilaku ini sering kali merupakan manifestasi dari masalah emosional atau lingkungan yang tidak sehat. Tanpa intervensi yang tepat, pelaku dapat terus mengulangi pola perilaku destruktif ini hingga dewasa.
Konselor sekolah memiliki tanggung jawab utama dalam upaya pencegahan bullying melalui berbagai program preventif. Melalui program bimbingan klasikal, konselor dapat memberikan edukasi tentang empati, toleransi, dan keterampilan sosial yang sehat kepada seluruh siswa. Kegiatan preventif ini mencakup pengembangan program anti-bullying yang sistematis, seperti kampanye kesadaran, pelatihan peer counseling, dan pembentukan budaya sekolah yang inklusif. Konselor juga berperan dalam melatih siswa untuk menjadi upstander, bukan sekadar bystander. Upstander adalah individu yang berani membela korban bullying dan melaporkan kejadian perundungan kepada pihak yang berwenang. Dengan memberdayakan siswa untuk aktif mencegah bullying, konselor menciptakan sistem pertahanan yang kuat di lingkungan sekolah yang melibatkan seluruh komunitas.
Ketika kasus bullying terjadi, konselor harus mampu melakukan assessment komprehensif terhadap situasi yang melibatkan wawancara dengan korban, pelaku, saksi, dan pihak terkait lainnya untuk memahami akar permasalahan dan dinamika yang terjadi. Pendekatan yang digunakan harus bersifat restorative justice, yaitu fokus pada pemulihan hubungan dan pemahaman dampak perilaku, bukan sekadar memberikan hukuman. Korban bullying memerlukan pendampingan khusus untuk memulihkan kepercayaan diri dan mengatasi trauma yang dialaminya. Konselor perlu memberikan safe space di mana korban merasa aman untuk mengekspresikan perasaannya tanpa takut dihakimi. Teknik konseling seperti cognitive behavioral therapy dapat membantu korban mengubah pola pikir negatif dan membangun resiliensi untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.
Tidak kalah penting, pelaku bullying juga memerlukan intervensi konseling yang serius dan berkelanjutan. Konselor perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong perilaku perundungan, seperti masalah keluarga, kebutuhan akan kekuasaan, atau bahkan pengalaman menjadi korban di masa lalu. Dengan pendekatan yang tepat dan penuh empati, pelaku dapat belajar mengelola emosi, mengembangkan empati terhadap orang lain, dan memahami konsekuensi dari tindakannya. Proses ini memerlukan kesabaran dan konsistensi karena perubahan perilaku tidak terjadi secara instan.
Konselor tidak dapat bekerja sendiri dalam menangani bullying dan memerlukan kolaborasi dengan berbagai stakeholder. Kerjasama dengan guru sangat penting karena mereka menghabiskan waktu paling banyak dengan siswa di kelas dan dapat mengidentifikasi tanda-tanda awal bullying. Konselor dapat memberikan pelatihan kepada guru tentang identifikasi dini perilaku bullying dan strategi pengelolaan kelas yang mencegah terjadinya perundungan. Kolaborasi dengan orang tua juga krusial untuk menciptakan pendekatan yang holistik. Konselor perlu memfasilitasi komunikasi antara sekolah dan keluarga, serta memberikan edukasi kepada orang tua tentang tanda-tanda bullying dan cara mendampingi anak dengan tepat. Dukungan manajemen sekolah dalam menyediakan kebijakan dan sumber daya yang memadai juga menjadi faktor penentu keberhasilan program anti-bullying.
Salah satu kendala utama dalam penanganan bullying adalah banyak kasus yang tidak terlaporkan karena korban takut akan pembalasan atau stigma dari lingkungan sosialnya. Konselor perlu membangun sistem pelaporan yang mudah diakses, aman, dan terpercaya untuk mengatasi masalah ini. Sistem pelaporan bisa berupa kotak pengaduan, aplikasi pelaporan digital, atau jam konsultasi khusus yang menjamin kerahasiaan identitas pelapor. Konselor juga harus memastikan bahwa setiap laporan ditindaklanjuti dengan serius dan transparan agar kepercayaan siswa terhadap sistem pelaporan tetap terjaga. Respons yang cepat dan tindakan nyata dari sekolah akan mendorong lebih banyak siswa untuk berani melaporkan kasus bullying yang mereka alami atau saksikan.
Fenomena bullying terus berkembang seiring dengan perubahan sosial dan teknologi, sehingga konselor perlu terus meningkatkan kompetensi melalui pelatihan, workshop, dan update pengetahuan tentang tren bullying terkini, terutama cyberbullying. Pemahaman tentang dinamika media sosial, game online, dan platform digital lainnya menjadi penting agar konselor dapat memberikan layanan yang relevan dengan kehidupan siswa di era digital. Konselor yang kompeten tidak hanya mengandalkan teori, tetapi juga mengembangkan keterampilan praktis seperti mediasi konflik, trauma-informed counseling, dan crisis intervention. Sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan dalam bidang-bidang ini akan meningkatkan efektivitas layanan konseling dan memastikan bahwa konselor selalu siap menghadapi tantangan baru dalam penanganan kasus bullying.
Bullying adalah masalah kompleks yang memerlukan penanganan profesional dan berkelanjutan dari semua pihak di lingkungan sekolah. Konselor sekolah berada di garis depan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan optimal setiap siswa. Dengan menjalankan peran preventif, kuratif, dan developmental secara optimal, konselor dapat menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif bagi seluruh komunitas sekolah. Keberhasilan program anti-bullying tidak hanya diukur dari berkurangnya kasus perundungan, tetapi juga dari terciptanya budaya sekolah yang menghargai perbedaan, menghormati hak setiap individu, dan membangun karakter siswa yang berintegritas.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































