Di tengah gencarnya digitalisasi layanan agraria dan janji transparansi oleh lembaga pertanahan, praktik maladministrasi justru masih menjadi bayang-bayang gelap dalam sistem pertanahan Indonesia. Dokumen hilang selama proses sertifikasi, pungutan liar, dan konflik klaim tanah akibat amputasi administrasi, menunjukkan problem agraria di negeri ini bukan tentang kepemilikan lahan semata, melainkan pemasangan dan kegagalan sistemik di dalam hukum dan pengelolaan birokrasi agraria. Celah-celah hukum yang tidak tertutup rapat memberi ruang bagi penyimpangan, terutama masyarakat kecil sebagai pihak yang paling dirugikan oleh ketimpangan kekuasaan administratif.
Maladministrasi makin menjadi keresahan yang kerap hinggap di benak masyarakat hingga kini, terlebih kala banyak kasus-kasus baru bermunculan terkait keamanan aset yang dimiliki. Aset memang menjadi hal krusial dalam kehidupan masyarakat, terutama aset tanah. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah selalu menjadi persoalan besar, bahkan diperebutkan dalam hal waris-pewaris dari masa ke masa, menunjukkan bahwa aset tanah mempunyai potensi yang besar untuk sebuah keuntungan material. Potensi itulah yang dimanfaatkan oleh mafia tanah sebagai tiket untuk mendapatkan keuntungan besar-besaran melalui cara yang paling merugikan masyarakat.
Maladministrasi mencakup tindakan yang melanggar hukum, melebihi batas, kelalaian, dan pengabaian tanggung jawab hukum dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh pegawai dan pejabat negara. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan kerugian bagi masyarakat, baik secara material maupun immaterial, termasuk dalam bentuk ketidakberesan prosedural, penundaan yang berkepanjangan, serta perlakuan yang diskriminatif.
Pada Oktober 2025, masyarakat di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) dihebohkan dengan dugaan tindakan mafia tanah. Tindakan mafia tanah ini terbongkar saat tanah milik Mbaumuku, Kabupaten Manggarai, Muchtar Djafar Adam, tiba-tiba tercatat pengalihan hak milik atas tanahnya di buku tanah pada Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Manggarai Barat. Tanah yang diakui Djafar tidak pernah dijual itu kini telah beralih menjadi atas nama pihak lain tanpa adanya transaksi yang sah.
Akarnya adalah masalah agraria Indonesia terletak pada sistem pengawasan yang lemah dan integritas administrasi tanah yang kurang memadai. Maladministrasi dan pemalsuan dokumen juga menjadi pendorong utama mafia tanah di mana Kementerian Agraria dan Perencanaan Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mencuri alih hak atas tanah secara ilegal. Akibatnya, negara juga tidak dapat memenuhi janjinya akan penegakan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemilik tanah sah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Agraria (UUPA) di mana Negara menegakan UUPA. UUPA sendiri mengakui hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Artinya, penggunaan semua hak atas tanah harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk memperkaya sekelompok orang melalui praktek-praktek manipulatif administratif yang akan merugikan masyarakat.
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, pihak yang tidak bertanggungjawab justru menggeser fungsi hukum agraria sebagai perlindungan hak rakyat menjadi penguat akan ketidakadilan dan ketidaksetaraan sosial.
Maladministrasi agraria berdampak pada aspek sosial dan politik yang lebih luas daripada hanya kerugian individu. Masyarakat kecil, keluarga di pinggiran kota kerap kali menjadi korban penyelewengan ini: sulitnya akses mengenai pertanahan menjadi alasan sekaligus kesempatan bagi mafia tanah untuk merebut lahan yang bukan haknya.
Mereka yang lebih paham dan menguasai soal hukum agraria malah menggunakan hal tersebut sebagai kunci untuk merebut dan mengalihkan asset milik masyarakat kecil. Apalagi, kurangnya akses informasi dan pemahaman digital untuk mengurus administrasi tanah makin membuat masyarakat merasa tanah adalah suatu aset mewah dan hanya dapat untuk dijangkau kalangan tertentu atau atas saja. Padahal, tanah bukanlah hanya sekadar lahan, melainkan tempat untuk berteduh dan berlindung yang juga merupakan kebutuhan primer. Jika kebutuhan tingkat pertama saja gagal terpenuhi dan dapat hilang secara tiba-tiba walau sudah bersertifikat legal, maka apa arti sertifikat itu jika bisa hilang dalam semalam?
Kasus di Labuan Bajo yang dialami Djafar, di mana ia kehilangan tanah karena sertifikat tiba-tiba dialihnamakan tanpa sepengetahuan pemilik sah, bukan hanya tentang seberapa besar kerugian yang diakibatkan, namun juga tanda akan pertahanan agraria yang bercelah dan harus diperbaiki sesegera mungkin. Didukung oleh pejabat daerah dan pegawai pertahanan yang juga harus meningkatkan integritasnya dalam bekerja untuk melayani masyarakat dan memperbaiki sistem yang ada. Dengan demikian negara dapat memenuhi hak-hak masyarakat yang tertinggal maupun hak-hak yang telah berhasil dimanipulasi dan dirampas oleh pihak-pihak yang menguasai pertanahan di Indonesia atau mafia tanah.
Untuk mengakhiri rantai panjang maladministrasi agraria, diperlukan reformasi yang melampaui perubahan kosmetik belaka dan menyentuh akar sistem. Digitalisasi sistem pelayanan pertanahan harus memiliki dimensi transparansi publik dan verifikasi biometrik. Dengan demikian, setiap tahapan pendaftaran tanah dan pengalihan hak, dapat ditelusuri secara akurat, dan mengurangi risiko pemalsuan dokumen.
Di sisi lain, penting juga bagi pemerintah untuk memberikan edukasi mengenai hak-hak agraria dan tindakan hukum yang harus diambil ketika hak-hak tersebut dilanggar. Jika masyarakat tidak mengetahui hukumnya, celah-celah yang memungkinkan penyalahgunaan akan tetap ada dan berlanjut. Pada akhirnya, Undang-Undang Agraria Dasar Tahun 1960 mewajibkan negara untuk menjaga fungsi sosial tanah selain mengawasi kepemilikan tanah. Dengan demikian, keadilan agraria hanya dapat dicapai jika negara melakukan kedua peran ini.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 

























































 
 




