Di antara deru mesin dan klakson yang saling bersahutan, tampak pemandangan yang seharusnya tidak lagi terjadi di kota besar: anak-anak kecil, dengan pakaian lusuh dan wajah yang letih, berdiri di tepi jalan sambil membawa wadah plastik kecil. Mereka mengetuk kaca mobil satu per satu, berharap ada tangan dermawan yang menjulurkan beberapa lembar uang. Fenomena ini bukan hal baru, namun di baliknya tersembunyi kisah pilu tentang eksploitasi anak oleh orang tua mereka sendiri.
Fenomena ini terjadi di kawasan Margonda, Depok, sebuah daerah yang dikenal sebagai pusat aktivitas mahasiswa dan bisnis. Namun, di tengah kemajuan kota dan gemerlap lampu jalan, nasib sebagian anak justru tenggelam dalam bayang-bayang eksploitasi. Berdasarkan hasil observasi dan keterangan beberapa warga sekitar, banyak dari anak-anak itu berasal dari keluarga ekonomi lemah yang tinggal di wilayah pinggiran Depok. Mereka tidak bersekolah, dan setiap hari diturunkan ke jalan sejak pagi hingga malam untuk mengemis atau menjajakan tisu demi mendapatkan uang.

Menurut penuturan salah satu pedagang kaki lima bernama Bara (42), sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian anak tersebut “dipekerjakan” oleh orang tua mereka sendiri. “Saya sering lihat, jam 10 malam masih ada anak kecil yang keliling bawa tisu untuk dijual. Kadang ibunya duduk nggak jauh, ngawasin dari kejauhan. Kasihan banget,” ujarnya. Bara mengaku, beberapa kali ia mencoba menegur, namun orang tua anak itu justru bersikap defensif dan menuduhnya ikut campur urusan keluarga.
Faktor ekonomi sering kali menjadi alasan utama. Pada sebuah akun sosial media terdapat sebuah video wawancara dengan petugas Dinas Sosial Kota Depok, dijelaskan bahwa kondisi ekonomi keluarga miskin mendorong orang tua untuk menjadikan anak sebagai sumber penghasilan tambahan. “Banyak dari mereka tidak memahami bahwa hal itu termasuk dalam kategori eksploitasi anak. Mereka beranggapan, selama anaknya membantu mencari uang, itu bukan salah,”. Namun, alasan ekonomi tidak bisa dijadikan pembenaran. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi maupun seksual. Realitas di Margonda menunjukkan bahwa masih banyak anak yang kehilangan hak dasar mereka untuk bermain, belajar, dan beristirahat dengan aman. Mereka justru dihadapkan pada kerasnya jalanan dan risiko kecelakaan lalu lintas setiap hari.

Pemerintah kota Depok sebenarnya telah melakukan sejumlah upaya, seperti razia dan penertiban anak jalanan. Namun, menurut pantauan lapangan, kegiatan semacam itu hanya bersifat sementara. Setelah beberapa minggu, anak-anak tersebut kembali muncul di lokasi yang sama. “Penertiban tanpa solusi ekonomi bagi keluarga hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya,” ujar Rahma.
Para pemerhati anak dan aktivis sosial menilai bahwa solusi yang paling efektif adalah pemberdayaan keluarga. Orang tua yang menggantungkan hidup pada eksploitasi anak harus dibimbing dan diberi akses pada lapangan kerja atau usaha mikro. Selain itu, anak-anak yang telah terlanjur hidup di jalan perlu mendapatkan pendampingan psikologis dan pendidikan nonformal agar masa depan mereka tidak terputus di tengah jalan.
Fenomena eksploitasi anak ini, bukan sekadar potret kemiskinan, melainkan cermin kegagalan bersama dalam menjaga hak anak. Di balik setiap recehan yang terkumpul di tangan mereka, ada air mata yang tak terlihat, dan masa kecil yang hilang perlahan. Sementara orang dewasa sibuk dengan urusan dunia, anak-anak itu terus menunggu hari ketika mereka tak lagi harus mengemis untuk sekadar diakui sebagai manusia yang pantas mendapat kasih dan masa depan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 


























































 
 




