Kadang saya suka berhenti sejenak dan berpikir: seperti apa wajah Indonesia dua puluh tahun dari sekarang? Tahun 2045 sering digadang-gadang sebagai tonggak sejarah, tahun di mana negeri ini genap berusia seratus tahun. Kata orang, itu akan jadi masa keemasan kita, Indonesia Emas. Tapi jujur saja, kadang saya ragu. Emas itu berkilau, tapi apa kita benar-benar sedang menempanya, atau cuma sibuk membayangkan cahayanya?
Kita sering mendengar pidato, spanduk, dan rencana besar tentang 2045. Visi ini indah: ekonomi kuat, rakyat sejahtera, pendidikan maju, dan bangsa yang disegani dunia. Tapi di balik semua optimisme itu, realitas di sekitar saya sering berkata lain. Masih banyak anak yang harus menempuh jalan tanah untuk sampai ke sekolah. Masih banyak petani yang bekerja keras tanpa kepastian harga panen. Masih banyak orang muda yang cerdas tapi kehilangan arah karena sulit mendapat pekerjaan. Lalu saya bertanya-tanya, apakah mimpi besar itu benar-benar menyentuh mereka?
Salah satu harapan terbesar kita menuju 2045 adalah bonus demografi, saat jumlah penduduk muda produktif jauh lebih besar dibandingkan penduduk usia tua. Katanya ini adalah peluang emas. Tapi peluang, kalau tidak diolah dengan baik, bisa berubah jadi bencana. Apa artinya punya banyak anak muda kalau banyak dari mereka justru menganggur atau bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya? Saya melihat sendiri teman-teman yang berpendidikan tinggi, tapi harus banting setir karena lapangan kerja tak sesuai harapan. Di sisi lain, dunia kerja juga berubah cepat. Teknologi, kecerdasan buatan, dan otomasi perlahan menggantikan banyak peran manusia. Kalau pendidikan kita masih tertinggal, kita bisa kehilangan arah bahkan sebelum mencapai 2045.
Pendidikan seharusnya jadi fondasi dari semua cita-cita itu. Tapi kenyataannya, sistem kita masih terjebak pada angka, nilai, dan ujian. Kita lebih sering mendidik untuk menghafal, bukan memahami. Banyak siswa pandai menjawab soal, tapi kesulitan berpikir kritis atau memecahkan masalah nyata. Sementara itu, di pelosok negeri ada sekolah yang kekurangan guru dan fasilitas. Lalu di kota besar, anak-anak dibebani ambisi orang tua dan tekanan sosial. Dua sisi yang berbeda, tapi sama-sama menyisakan kelelahan.
Teknologi memang membawa kemudahan, tapi juga menciptakan jarak. Generasi muda tumbuh di dunia yang serba cepat, tapi sering kehilangan makna. Kita mudah kagum pada yang viral, tapi sulit fokus pada hal yang benar-benar penting. Saya khawatir, di tengah semangat mengejar kemajuan digital, kita lupa membangun karakter. Padahal bangsa besar bukan hanya soal kecerdasan intelektual, tapi juga soal hati, tentang bagaimana kita saling menghormati, menolong, dan menjaga kejujuran.
Dan di sinilah letak kecemasan saya yang lain, korupsi. Ia seperti penyakit lama yang tidak pernah benar-benar sembuh. Setiap kali muncul kasus baru, rasanya seperti menonton film lama dengan judul baru. Tokohnya berganti, tapi ceritanya sama: kekuasaan, uang, dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Jika generasi sekarang tumbuh dengan contoh seperti ini, bagaimana mereka bisa percaya pada kata “emas” di masa depan?
Namun, saya juga tak mau sepenuhnya pesimis. Di tengah bayang-bayang itu, saya melihat banyak hal yang membuat hati hangat. Anak-anak muda mulai berani bergerak tanpa menunggu pemerintah. Ada yang membangun komunitas belajar di desa, ada yang menciptakan start-up yang membantu petani, ada pula yang menulis dan berbicara lantang tentang keadilan sosial. Mereka mungkin tidak punya panggung besar, tapi kerja kecil mereka nyata. Dari sana saya belajar, harapan itu masih ada, asal kita tidak menyerah.
Barangkali, Indonesia Emas bukan soal gedung tinggi, angka pertumbuhan ekonomi, atau prestasi di laporan tahunan. Mungkin maknanya lebih sederhana: tentang manusia Indonesia yang jujur, peduli, dan punya empati. Tentang guru yang tetap semangat mengajar meski gajinya kecil. Tentang dokter yang mau turun ke pelosok. Tentang anak muda yang memilih pulang dan membangun kampung halamannya. Itulah emas yang sebenarnya, bukan yang berkilau di mata dunia, tapi yang menguatkan dari dalam.
Tahun 2045 masih di depan. Waktunya belum terlambat, tapi juga tidak banyak. Semua bergantung pada apa yang kita lakukan sekarang. Kalau kita masih sibuk saling menyalahkan, masih korup, masih mengabaikan pendidikan dan keadilan, maka mimpi itu akan pudar. Tapi kalau kita mau jujur menatap masalah, mulai berbenah, dan berjalan bersama, mungkin kita bisa sampai di sana dengan langkah yang mantap.
Saya percaya, masa depan tidak tercipta oleh slogan, tapi oleh kesadaran. Indonesia Emas hanya akan lahir dari orang-orang yang mau bekerja dengan hati, dari pemimpin yang mau mendengar, dan dari rakyat yang mau belajar. Mungkin sekarang kita masih di persimpangan antara mimpi dan cemas. Tapi selama masih ada yang peduli, masih ada yang berjuang diam-diam tanpa pamrih, saya percaya: cahaya itu masih menyala, meski kecil. Karena pada akhirnya, emas bukan soal tahun 2045. Emas adalah kita, jika kita mau menempanya bersama.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 


























































 
 




