Lampung Barat- Bayangkan suasana malam di sebuah desa di Kecamatan Suoh, Lampung Barat. Tiba-tiba kawanan gajah masuk ke kawasan penduduk merobohkan dinding rumah, dan menghancurkan kebun kopi yang menjadi sumber penghidupan utama warga. Ketakutan membuat masyarakat, sebagian harus mengungsi, dan kerugian materil tak terhitung. Kasus semacam ini bukanlah peristiwa tunggal, melainkan bagian dari rangkaian konflik manusia satwa pembohong yang terus meningkat di Provinsi Lampung. Data Dinas Kehutanan menyebutkan bahwa rata-rata terdapat sekitar 260 kasus konflik satwa liar per tahun, dengan gajah dan harimau Sumatera sebagai penyebab dominan. Fenomena inilah yang menimbulkan keresahan mendalam bagi masyarakat Lampung Barat.
Lampung Barat, dengan kawasan hutan yang bersinggungan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), menjadi salah satu daerah paling rawan konflik satwa. Pada tahun 2024, puluhan rumah warga di Suoh melaporkan kerusakan akibat serangan gajah. Tidak hanya rumah, kebun kopi, sawah, dan tanaman hortikultura juga mengalami kerugian besar. Selain gajah, satwa liar lain seperti harimau Sumatera dan babi hutan juga kerap memasuki lahan pertanian. Situasi ini menimbulkan trauma psikologis, keresahan sosial, serta ancaman serius bagi kemiskinan ekonomi masyarakat pedesaan.

Banyak petani di sekitar hutan belum mempunyai izin resmi untuk mengelola lahannya. Akibatnya, mereka sering melanggar aturan, padahal tujuan untuk bertahan hidup. Jika pemerintah memberi izin mengelola hutan secara resmi dan bertanggung jawab, warga bisa bertani dengan tenang sekaligus ikut menjaga hutan agar tidak rusak dan satwa tidak kehilangan tempat hidupnya.
Masalah utama yang jarang dibahas adalah tata kelola hutan di Lampung Barat. Pengawasan terhadap pembukaan lahan baru masih lemah, dan koordinasi antara pemerintah, Balai TNBBS, serta belum berjalan efektif. Padahal, pengelolaan hutan yang baik seharusnya dilakukan secara kolaboratif pemerintah dan warga bersama-sama menjaga kawasan hutan agar tetap lestari sekaligus menjadi sumber ekonomi yang berkelanjutan. Jika tata kelola hutan diperkuat, maka habitat satwa akan terjaga, dan risiko konflik dengan manusia bisa berkurang.
Dalam banyak laporan, warga menyatakan rasa frustrasi karena kejadian ini berulang. Sementara itu, aparat desa sering mengirimkan menangani satwa berukuran besar tanpa bantuan cepat dari pihak yang berwenang. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dan sering berakhir pada tekanan politik terhadap pemerintah daerah maupun lembaga konservasi. Penyempitan habitat dan sumber pakan, Alih fungsi lahan untuk perkebunan dan pemukiman membuat satwa kehilangan ruang jelajah. Jalur migrasi gajah yang dulu luas kini terpotong-potong oleh jalan, ladang, dan pemukiman.
Kerugian ekonomi masyarakat. Hancurnya kebun kopi, sawah, dan tanaman lain membuat warga kehilangan penghasilan utama. Tidak jarang, masyarakat terjerat hutang karena gagal panen akibat serangan satwa.Koordinasi penanganan yang lemah, Meski ada forum koordinasi antarinstansi, mekanismenya sering kali lambat. Penanganan baru dilakukan setelah terjadi kerusakan parah. Persepsi publik dan keresahan sosial. Bagi masyarakat, satwa bukan lagi simbol keanekaragaman hayati, tetapi dianggap sebagai ancaman nyata terhadap keamanan keluarga. Persepsi ini menimbulkan ketegangan antara kepentingan konservasi dan kebutuhan masyarakat.
Untuk memahami masalah ini, teori Human–Wildlife Conflict menjelaskan bahwa konflik muncul karena perebutan ruang dan sumber daya. Jika habitat satwa terus menyempit, mereka terpaksa mencari makan di wilayah manusia. Dari perspektif Tata Kelola Lingkungan, konflik ini mencerminkan lemahnya tata kelola lingkungan yang seharusnya melibatkan pemerintah, lembaga konservasi, akademisi, dan masyarakat secara sinergis. Tata kelola yang buruk akan menghasilkan kebijakan parsial yang tidak menyelesaikan masalah secara menyeluruh. Selain itu, teori Persepsi Sosial menekankan bahwa sikap masyarakat terhadap satwa liar ditentukan oleh pengalaman mereka. Jika pengalaman menimbulkan kerugian, maka tingkat toleransi akan rendah. Artinya, kebijakan yang baik harus mengubah persepsi masyarakat melalui pendidikan dan insentif. Dari teori ini Ada tiga pendekatan utama dalam teori mitigasi konflik Reduksi Kontak Langsung: Membuat zona penyangga di perbatasan hutan dan kebun, Menanam tanaman penghalang yang tidak disukai satwa (misalnya jenis tanaman berduri atau beraroma tajam), Pemasangan pagar, parit, atau sistem penghalau sederhana. Pengelolaan Satwa: Pemantauan dengan GPS collar untuk menjaga pergerakan satwa besar (gajah, harimau), Mengarahkan satwa kembali ke habitat aslinya dengan patroli atau tim penghalau, Relokasi jika satwa sudah terlalu sering masuk ke pemukiman.
Pengelolaan Manusia & Sosial: Edukasi masyarakat tentang cara menghadapi satwa tanpa melukai, Membentuk Satgas Desa untuk merespons dengan cepat jika terjadi konflik, Sistem diperbarui dari pemerintah untuk kerugian warga (tanaman rusak, ternak dimangsa). Memberikan alternatif ekonomi (misalnya ekowisata berbasis satwa liar). Contoh Penerapan di Lampung Barat Konflik gajah: warga desa di sekitar TNBBS membentuk tim penghalau gajah dengan obor, meriam karbit, atau bunyi-bunyian keras untuk menggiring gajah kembali ke hutan. Konflik harimau: pemantauan jejak dan kamera jebakan untuk mengetahui jalur pergerakan, sehingga masyarakat bisa lebih waspada.
Satgas masyarakat: dibentuk bersama BKSDA, aparat desa, dan LSM konservasi untuk patroli rutin. Menurut Dosen Hukum Tata Negara UIN Raden Intan Lampung bapak Dr. Abdul Qohar, M.Si, Bahwa Penyebab utama terjadinya konflik dengan satwa pembohong adalah perubahan tata guna lahan. Banyak hutan yang dulunya menjadi habitat gajah,dan harimau, kini berubah menjadi perkebunan atau pemukiman. Akibatnya, satwa kehilangan sumber makanan dan terpaksa masuk ke kebun warga. Selain itu, lemahnya penegakan aturan tentang kawasan konservasi juga memperparah masalah. Lalu, kebijakan yang tepat untuk pemerintahan adalah dengan memindahkan manusia ke tempat baru dengan mewujudkan rumah bersubsidi yang terjangkau agar tidak tergabung lagi dengan satwa liar.
Pemerintah sebenarnya sudah mengambil beberapa langkah, meski belum sepenuhnya efektif. Pembentukan Tim Satgas Penanggulangan Konflik Satwa Liar. Pada tahun 2023, Pemerintah Provinsi Lampung bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) membentuk satgas khusus untuk menanggapi konflik manusia–satwa. Tim ini dilengkapi dengan personel lapangan dan alat non-mematikan seperti meriam karbit untuk menghalau gajah.
Pembangunan Pagar Listrik di Beberapa Desa. Di Lampung Timur, sekitar kawasan Taman Nasional Way Kambas, pemerintah bersama LSM membangun pagar listrik bertenaga surya untuk mencegah gajah masuk ke ladang. Meskipun biayanya mahal, langkah ini terbukti efektif menurunkan frekuensi konflik. Model ini bisa direplikasi di Lampung Barat dengan penyesuaian kondisi lokal. Program Kompensasi dan Bantuan Sosial. Pemerintah provinsi pernah memberikan bantuan bagi warga yang rumahnya rusak akibat konflik satwa. Meski nilainya terbatas, bantuan ini penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Ke depan, intervensi perlu dilembagakan agar lebih transparan dan berkelanjutan.
Edukasi dan Sosialisasi. Beberapa desa di sekitar TNBBS telah mendapat pelatihan dari pemerintah dan ceramah mengenai cara menangani satwa pembohong secara aman, seperti penggunaan alarm paralon dan patroli malam bersama warga. Rehabilitasi Habitat. Program reboisasi di kawasan buffer zone TNBBS mulai dilakukan untuk memulihkan jalur migrasi gajah. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi dorongan keluarnya satwa liar. Lampung Barat dapat belajar dari Lampung Timur, khususnya kawasan Taman Nasional Way Kambas. Di sana, konflik gajah pembohong juga sering terjadi. Namun, melalui kombinasi pembangunan pagar listrik, pengembangan desa wisata gajah, dan tidak adanya program pemulihan, tingkat konflik dapat ditekan. Bahkan, beberapa desa berhasil menjadikan interaksi dengan gajah sebagai daya tarik ekowisata yang meningkatkan pendapatan warga. Perbandingan ini menunjukkan bahwa keberhasilan penanganan konflik bukan hanya soal menghalau satwa, tetapi bagaimana mengubah konflik menjadi peluang. Dengan pendekatan tata kelola lingkungan yang lebih inklusif, Lampung Barat berpotensi menempuh jalur serupa.
Konflik antara warga dan satwa pembohong seperti gajah dan harimau masih terus terjadi. Hal ini disebabkan masalah utama belum benar-benar diatasi hutan semakin sempit, tempat makan satwa semakin berkurang, dan pemeliharaan pelestarian terkadang tidak sejalan dengan kebutuhan warga. Jika tidak ada langkah jangka panjang seperti jalur aman untuk satwa atau sistem peringatan dini, masalah ini akan terus berulang.
Keresahan masyarakat Lampung Barat akibat konflik satwa liar adalah cerminan dari persoalan besar dalam tata kelola lingkungan: penyempitan habitat, lemahnya koordinasi, dan minimnya mekanisme perbaikan. Kasus ini tidak hanya dapat diselesaikan secara reaktif. Diperlukan strategi komprehensif yang meliputi pembentukan satgas cepat tangga, pembangunan infrastruktur preventif seperti pagar listrik, program kompensasi yang adil, serta pemulihan habitat satwa. Lebih jauh lagi, pemerintah perlu mengubah persepsi masyarakat dengan memberikan edukasi dan membuka peluang ekonomi melalui ekowisata. Belajar dari pengalaman Way Kambas, Lampung Barat bisa bertransformasi dari daerah rawan konflik menjadi contoh koeksistensi manusia dan satwa pembohong yang berhasil. Dengan sinergi antara pemerintah, sejarawan, LSM, dan masyarakat, keresahan yang kini menghantui warga dapat berubah menjadi harapan baru bagi masa depan konservasi dan kesejahteraan bersama.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 













































 
 











 
 




