Di tengah pesatnya perkembangan zaman, teknologi telah bertransformasi menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kita. Ia memudahkan komunikasi, hiburan, hingga pekerjaan. Namun, di balik kenyamanan satu sentuhan layar, ada harga mahal yang harus dibayar : memudarnya etika dan nilai sosial. Indikator paling nyata adalah rapuhnya persatuan kita. Perpecahan sosial kini sering terjadi hanya karena perbedaan pandangan di media sosial yang memicu konflik horizontal. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan cerminan konsep kekuasaan di mana algoritma platform digital memiliki kendali untuk menyetir opini publik, sering kali dengan mempromosikan konten yang memecah belah demi terkenal atau viral.
Di satu sisi, teknologi memang membawa revolusi efisiensi. Aktivitas bertukar kabar, belanja, dan bekerja kini serba praktis tanpa hambatan jarak. Namun, efisiensi ini membawa dampak sosiologis serius: hubungan antarmanusia menjadi dangkal. Komunikasi digital kerap gagal menyampaikan emosi dan empati secara utuh. Emoji dan teks tidak mampu menggantikan intonasi suara atau kontak mata. Akibatnya, sensitivitas sosial tumpul. Kita tampak “terhubung” (connected) secara teknologi, tetapi tidak sungguh-sungguh “berrelasi” (related) secara manusiawi. Norma kesopanan yang biasanya teruji lewat interaksi langsung pun perlahan luntur.
Selain itu, teknologi memunculkan “budaya serba cepat” yang menggerus kesabaran dan kemampuan berpikir kritis (critical thinking). Masyarakat modern cenderung menyukai judul berita sensasional (clickbait) dibandingkan literasi mendalam. Sebagai studi kasus nyata, kita bisa melihat fenomena penggunaan “Buzzer” politik dalam Pemilu. Di sini, teknologi menjadi alat kekuasaan untuk memanipulasi kebenaran. Ketidakmampuan masyarakat memverifikasi informasi dimanfaatkan oleh aktor politik untuk menyebarkan hoaks yang memicu kebencian massal, membuktikan bahwa siapa yang menguasai algoritma, dialah yang menguasai pola pikir massa.
Dampak lainnya terlihat pada perubahan stratifikasi sosial. Di era digital, “modal sosial” diukur secara dangkal dari jumlah pengikut (followers) dan tanda suka (likes), bukan kontribusi nyata. Hal ini menciptakan relasi kuasa simbolik baru; seseorang dianggap “berkuasa” atau “benar” hanya karena viral. Akibatnya, nilai kejujuran dan keaslian (authenticity) digantikan oleh budaya pencitraan. Banyak orang, terutama generasi muda, tertekan untuk selalu tampak sempurna demi validasi algoritma, yang berujung pada krisis kesehatan mental dan kesepian di tengah keramaian maya.
Tantangan terbesar kita saat ini adalah menyeimbangkan kecanggihan teknologi dengan nilai kemanusiaan. Efisiensi tidak boleh membunuh empati. Teknologi hanyalah alat, dan kita harus merebut kembali kedaulatan diri agar tidak didikte oleh mesin. Masyarakat perlu sadar untuk melatih daya kritis dan menyempatkan interaksi tatap muka. Jangan sampai alat yang dirancang untuk mendekatkan jarak, justru menjauhkan kita dari esensi kemanusiaan itu sendiri.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”



































































