Ada sebuah kekuasaan yang paling halus dan bersembunyi di sekitar kita. Kekuasaan itu tidak tidak datang dari pejabat, atasan, atau orang yang punya kekuasaan lain, tapi berasal dari kata-kata yang kita ucapkan setiap hari, sperti “sudah bagus kok” atau “Ngga apa-apa, yang penting kamu sudah berusaha.” Kata-kata tersebut keluar karena kita sekarang ini hidup di zaman dan budaya yang sangat takut menyakiti hati dan dianggap tidak mendukung, yang akhirnya kita menjadikan kita mengeluarkan pujian untuk hal yang ‘biasa saja’ sebuah kebiasaan yang tanpa disadari dapat menjadi senjata penghambat kemajuan, baik pada tingkat individu maupun masyarakat.
Memang manusia itu makhluk sosial yang sangat membutuhkan pengakuan dan validasi, itu adalah hal yang wajar. Tapi ketika validasi dan pujian ini diberikan dengan cuma-cuma dan tanpa mempertimbangkan kualitas, yang terjadi adalah penyimpangan makna pujian atas sebuah pencapaian. Misalnya seorang mahasiswa membuat presentasi dengan slide yang berantakan dan materi yang bisa dibilang dangkal, tapi teman-teman sekelompoknya malah berkata, “Sudah cukup ko, yang penting berani tampil.” Nah ini contoh dari sebuah karya seni yang dibuat asal-asalan tapi dipuji “bagus” karena pelakunya adalah teman atau saudara. Dalam niat untuk menghargai proses dan mejaga keharmonisan hubungan, yang tanpa sadar meracuni standar kualitas. Ini adalah bentuk kekuasaan simbolik yang tersembunyi, di mana kekuasaan tersebut membuat orang merasa nyaman berada dalam kondisi rata-rata yang jauh dari keunggulan dan tidak akan berkembang.
Lalu, di mana sih letak sebenarnya kekuasaan dalam hal ini? Kekuasaan sebenarnya tidak selalu tentang perintah atau paksaan. Dalam hal ini, kekuasaan ada di tangan setiap orang yang menjadi bagian dari sebuah masyarakat untuk menormalisasikan sebuah standar. Ketika kita bertindak untuk memberi pujian kosong pada sebuah karya yang biasa saja hanya karna tidak ingin menyakiti seseorang, kita sedang menggunakan kekuasaan kita untuk memilih jalan damai yang ternyata merugikan perkembangan teman atau saudara kita sendiri. Kekuasaan ini justru sebuah penindasan dalam bentuk dukungan dan apresiasi. Padahal dibalik itu terdapat tindakan yang meenyebabkan akan ketiadaan kritik yang membangun. Hal ini menciptakan pemikiran bahwa menjadi ‘cukup’ adalah sebuah pencapaian yang dapat dirayakan, dan bahwa menjaga perasaan orang lain lebih penting daripada mendorongnya untuk mencapai potensi terbaiknya.
Dampaknya pada manusia pastinya sangat mengkhawatirkan. Tanpa kita sadari hal tersebut juga dapat melahirkan generasi yang rapuh secara mental dan pikiran. Orang-orang yang terbiasa mendengar pujian kosong tersebut bisa jadi akan sangat kaget (culture shock) ketika suatu hari mendapatkan kritik tajam dan tuntutan kualitas yang tinggi di dunia luar seperti pekerjaan. Mereka menjadi sangat sensitif terhadap kritik dan tidak melihatnya sebagai tangga yang dapat membantunya untuk menaiki tingkat kualitas diri, tapi malah melihat kritik sebagai serangan pribadi yang harus dihindari. Orang-orang yang lahir dengan mental “yang penting sudah berusaha” tanpa disertai keinginan untuk menghasilkan yang terbaik, lama-kelamaan akan menghilangkan bibit unggul yang berinovasi. Pada akhirnya menjadi bibit yang lahir adalah pribadi yang puas berada di zona nyaman, takut untuk mengambil risiko, dan kehilangan daya saing.
Jika dampak buruk pada tingkat individu ini semakin jelas, maka bagaimana jika meluas pada tingkat masyarakat? Jika banyak individu yang puas dengan ‘cukup’, maka yang terbentuk adalah masyarakat yang sulit berinovasi, tidak ada kemajuan, dan lambat dalam merespon perubahan. Jika dilihat pada tingkat yang lebih luas, masyarakat seperti ini akan sulit memunculkan ide-ide baru dalam berbagai bidang, baik ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun ekonomi. Yang akhirnya menjadikan kita bangsa yang hanya bisa mengikuti tren dan mengikuti inovasi dari luar, karena tidak mampu menciptakannya sendiri. Standar ‘biasa saja’ yang kita pelihara dan lestarikan ini secara tidak sadar memupuk bom waktu untuk ketertinggalan di masa depan. Karena dalam persaingan global yang semakin ketat ini, masyarakat yang berkualitas rendah akan mudah tersingkir dan hanya menjadi penonton dalama permainan dunia.
Jadi, apakah kita harus menjadi selalu kejam dan mengkritik seseorang tanpa rasa empati sedikitpun? Tentu saja tidak. Saya jelaskan, poinnya itu buka pada menghilangkan dukungannya, tetapi pada mengubah bentuk dukungan itu, dari yang kosong menjadi dukungan yang membangun. Kita harus berani untuk pindah dari budaya memberikan pujian kosong menjadi budaya yang memberikan apresiasi jujur dan membangun. Daripada berkata “Keren, deh” pada poster yang biasa saja, lebih baik kita mengatakan “Warnanya sudah bagus, tapi coba font judulnya diganti agar lebih mudah dibaca.”
Perubahan pola pikir dan komunikasi ini mungkin terlihat sederhana, sangat sederhana, tapi dampaknya sangat besar. Dengan kita memberi feedback yang spesifik dan juga unsur perbaikan, kita tidak hanya menunjukkan bahwa kita peduli, tetapi juga membantu orang tersebut untuk melihat celah perbaikan yang mungkin tidak mereka lihat sebelumnya. Ini adalah bentuk kekuasaan yang positif, di mana kita menggunakan pengaruh kita untuk meningkatkan standar bersama, bukan untuk menurunkannya.
Pada akhirnya, kita harus bersama-sama menjadi individu dan masyarakat yang mengambil alih kendali atas standar kualitas yang kita anut. Kita perlu menyadari bahwa setiap kata pujian dan kritik yang kita keluarkan itu memliki kekuatan yang akan membentuk lingkungan sekitar. Dengan memilih untuk jujur dan mendukung perkembangan orang lain, justru kita memperkuat hubungan, bukan merusaknya, dan hal itu dapat membangun dasar yang kokoh untuk kemajuan bersama. Dengan cara ini juga kita dapat membentuk manusia yang tidak hanya kuat menghadapi tantangan, tapi juga memegang teguh kualitas yang baik. Akhirnya manusia-manusia unggul ini akan membentuk masyarakat yang terus maju, aktif, dan mampu bersaing — masyarakat yang tidak lagi melihat ‘cukup’ sebagai tujuan akhir, tapi hanya sebagai titik awal untuk melangkah lebih maju dan menciptakan karya yang lebih bermakna.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 


























































 
 




