Sosis, nugget, keripik kemasan, minuman manis, dan makanan cepat saji, siapa yang tidak tergiur dengan makanan-makanan yang menambah nafsu makan tersebut. Sering kali, tanpa sadar kita telah menghabiskan satu bungkus keripik kemasan atau bahkan meminum dua botol minuman manis. Tanpa disadari, makanan dan minuman tadi termasuk dalam kategori Ultra-Processed Food (UPF). UPF merupakan produk makanan industri yang melalui tahap pemrosesan rumit dan mengandung bahan tambahan seperti pemanis, pengawet, dan penguat rasa.
Di era globalisasi saat ini, konsumsi UPF menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Terjadi pergeseran signifikan dari konsumsi bahan makanan segar dengan pemrosesan rendah menuju produk pangan industri dengan tingkat pemrosesan yang tinggi. Penjualan UPF secara global juga menunjukkan lonjakan yang cukup tinggi, yaitu sekitar 60% antara tahun 2007 dan 2022. Perubahan signifikan ini dipicu oleh kemajuan teknologi pangan, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup masyarakat yang mengutamakan kepraktisan. Jika UPF di konsumsi secara terus menerus maka akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti obesitas. Namun, tidak hanya itu saja, konsumsi UPF juga dapat memengerahui sistem reward otak, mengubah sensitivitas dopamin, dan pola makan yang impulsif.
Ultra-Processed food juga bisa disebut hyper-palatable foods, yaitu makanan dengan kombinasi bahan, seperti lemak, gula, dan garam yang direkayasa, sehingga mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur nafsu makan dan rasa kenyang. Konsep ini berkaitan dengan temuan dalam neurosains yang menunjukkan bahwa intensitas sensasi makanan berbanding lurus dengan respons dopamin di otak. Ketika suatu makanan memicu dopamin tinggi dan cepat, makanan tersebut menjadi stimulus yang memperkuat perilaku makanan berulang.

Apa itu Sistem Reward Otak?
Sistem reward otak merupakan jaringan struktur di otak yang memicu rasa senang dan mengulang perilaku yang dianggap menguntungkan. Terdapat tiga komponen utama, yaitu:
1. 1. Area Tegmental Ventral (VTA).
2. 2. Nukleus akumbens (NAc)
3. 3. Korteks prefrontal (PFC).
VTA merupakan jalur pelepasan dopamin, NAc area yang memproses dopamin, dan terakhir PFC atau bagian otak yang menerima sinyal untuk pengambilan keputusan.
Sistem reward bekerja sebagai “pusat penguat perilaku” tubuh. Ketika melakukan hal yang menyenangkan (misalnya memakan makanan favorit), area Tegmental Ventral (VTA) akan melepaskan dopamin ke nukleus akumbens (NAc) dan menciptakan rasa puas. Selanjutnya, korteks prefrontal akan menilai apakah perilaku tersebut layak diulangi atau tidak. Dalam kondisi normal, sistem reward ini membantu untuk memahami kapan kita lapar, kenyang, dan memilih suatu makanan bergizi atau tidak, karena tubuh memberi sinyal yang jelas.
Namun, mekanisme ini akan menjadi bias ketika berhadapan dengan konsumsi UPF. Rasa gurih, manis, tekstur renyah, hingga aroma sintetis pada UPF merupakan rangsangan sensorik yang kuat. Jadi, ketika seseorang mengonsumsi UPF maka akan langsung mengaktifkan jalur reward (VTA) dan melepaskan dopamin ke nukleus akumbens (NAc), kemudian menghasilkan sensasi puas dan memotivasi untuk mengulang perilaku makan tersebut. Semakin cepat pelepasan dopamin, semakin kuat pula dorongan otak untuk mencari stimulus tersebut.
Dampak Konsumsi Ultra-Processed Food
Produk UPF dengan kandungan gula, lemak, dan penguat rasa yang tinggi bekerja dengan cepat, seperti tombol yang menyalakan sistem reward hanya dalam hitungan detik. Respons cepat inilah yang membuat tubuh seakan merasa selalu butuh makanan meskipun tidak lapar. Pada akhirnya, makan bukan lagi kebutuhan fisiologis, melainkan bagaimana otak mengejar sensasi menyenangkan yang berasal dari makanan tersebut.
Dampak lain dari aktivasi dopamin berlebih adalah menurunnya kontrol diri. Korteks prefrontal (PFC) akan menjadi kurang efektif dalam pengambilan keputusan dan pengendalian impuls ketika dopamin bekerja terlalu dominan. Inilah penyebab mengapa seseorang bisa terus makan walaupun sudah kenyang atau menghabiskan makanan tanpa sadar. Pada remaja, PFC belum matang sempurna dan akan menyebabkan efek yang lebih kuat, sehingga remaja lebih rentang terhadap perilaku impulsif.
Selain mengganggu kontrol diri, UPF juga membentuk pola craving berbasis isyarat (cue-trigerred cravings). Bentuk kemasan, aroma, iklan, bahkan sekadar melihat seseorang makan dapat memicu keinginan tanpa adanya rasa lapar. Amygdala dan hippocampus merekam atau menyimpan pengalaman menyenangkan terkait UPF sehingga rangsangan visual dan auditif dapat langsung mengaktifkan craving. Hal ini merupakan penyebab mengapa seseorang bisa tiba-tiba merasa lapar setelah melihat iklannya, meskipun sebelumnya tidak merasa lapar.
Jika pola konsumsi ini berlangsung terus-menerus maka akan menyebabkan efek jangka panjang. Otak membutuhkan stimulus yang lebih kuat untuk merasakan kepuasan yang sama karena kurang sensitif terhadap dopamin. Pola ini mirip dengan mekanisme toleransi pada kecanduan zat: semakin sering dikonsumsi, semakin sulit berhenti. Akibatnya, seseorang akan makan lebih banyak untuk mencapai rasa puas. Tidak hanya itu saja, pola konsumsi ini juga mengakibatkan meningkatnya risiko obesitas, diabetes, hingga tekanan darah tinggi.
Kesimpulan
Meskipun demikian, UPF tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Di era modern ini, UPF merupakan makanan dengan harga terjangkau, mudah diperoleh, dan praktis. Namun, fakta neurosains tetap menunjukkan bahwa makanan kategori UPF memanfaatkan mekanisme biologis manusia untuk meningkatkan konsumsi.
Maka dari itu, yang seharusnya dilakukan bukanlah berhenti total mengonsumsi UPF, tetapi memahami bagaimana makanan tersebut memengaruhi sistem otak dengan cara yang lebih kompleks dari sekadar “enak” atau “tidak sehat”. Kuncinya ada pada kesadaran dan pengendalian diri. Mulailah dengan membatasi porsi konsumsi ultra-processed food dengan makanan segar dan alami, seperti buah dan sayuran, supaya respons dopamin kembali normal dan tubuh lebih seimbang.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”




































































