Plastik telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan modern mengingat sifatnya yang ekonomis, ringan, dan multifungsi. Namun, efisiensi biaya dalam proses pembuatannya justru kontras dengan konsekuensi ekologis yang dihasilkan. Di Indonesia, persoalan sampah plastik bukan sekadar soal siapa yang membuang, melainkan bagaimana keseluruhan sistem produksi, distribusi, dan pengelolaan limbah dirancang. Jadi, tanggung jawab utama berada di mana? industri atau masyarakat? Pandangan saya adalah bahwa kedua pihak memiliki tanggung jawab masing-masing, namun industri dan negara memiliki peran penting yang harus diprioritaskan karena skala, pengaruh desain produk, dan kapasitas finansial untuk mengubah sistem.
Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton per tahun. Sebanyak 3,2 juta ton diantaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Selain itu, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 miliar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.
Berikut alasan mengapa industri harus memimpin perubahan:
1. Rancangan produk dan pemilihan material merupakan domain industri.
Sebagian besar kemasan seperti sachet multilayer dirancang agar tidak mudah didaur ulang. Ketika produsen mengutamakan material berbiaya murah yang sulit diolah kembali, dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh ekosistem, termasuk konsumen dan lingkungan hidup. Modifikasi desain kemasan, pengurangan jumlah lapisan material, serta pengalihan ke bahan yang lebih ramah daur ulang berpotensi menurunkan volume limbah plastik secara signifikan.
2. Kapasitas skala usaha dan kekuatan finansial dalam penerapan EPR.
Prinsip Extended Producer Responsibility (EPR), yang menempatkan tanggung jawab produsen hingga tahap pasca-konsumsi, telah diintegrasikan ke dalam berbagai panduan kebijakan dan kajian di Indonesia. Penerapan EPR yang efektif memerlukan dukungan pendanaan memadai, pengorganisasian jaringan distribusi, serta standardisasi kemasan merupakan hal yang lebih feasible jika diarahkan pada industri besar.
3. Dampak terhadap pola konsumsi masyarakat.
Promosi, penetapan harga, serta mekanisme penyaluran produk membentuk kebiasaan konsumsi tertentu dalam masyarakat. Perubahan strategi di tingkat industri seperti pembatasan produksi sachet, insentif untuk sistem isi ulang, atau subsidi bagi produk dengan kemasan ramah lingkungan memiliki potensi mengubah perilaku konsumen secara lebih cepat dibandingkan mengandalkan kampanye edukasi publik semata.
Berdasarkan literatur Rahayu et al. (2024), masyarakat juga memiliki peran dalam pengelolaan sampah. Peran masyarakat dalam pengelolaan limbah plastik mencakup praktik pembuangan yang bertanggung jawab, pemilahan sampah dari sumbernya, serta preferensi terhadap produk berkelanjutan. Namun, kontribusi individual ini terkendala oleh minimnya kebiasaan memilah dan keterbatasan infrastruktur pendukung. Meski demikian, transformasi perilaku kolektif dapat memperkuat efektivitas kebijakan partisipasi masyarakat yang masif, misalnya, meningkatkan efisiensi program EPR dan menekan biaya operasional. Riset lapangan juga menunjukkan peran penting sektor informal, khususnya pemulung, dalam rantai sirkularitas plastik lokal.
Masyarakat wajib bertindak, tetapi industri dan pemerintah memiliki tanggung jawab struktural yang lebih besar. Karena perubahan sistemik seperti desain kemasan, model bisnis, serta pendanaan untuk pengelolaan pasca-konsumsi hanya dapat dilakukan pada tingkat produksi dan regulasi. Tanpa kebijakan kuat dan kepatuhan industri, usaha kolektif masyarakat akan terhambat oleh arus besar plastik sekali pakai yang terus diproduksi.
Dalam diskursus mengenai limbah plastik, tudingan “hanya masyarakat” atau “hanya industri” terlalu menyederhanakan masalah. Secara faktual, industri dan pemerintah memiliki otoritas atas aspek perancangan produk, proses produksi, serta alokasi anggaran faktor penting yang menentukan apakah sampah akan dikelola dengan baik atau justru mencemari sungai dan lautan. Masyarakat berperan sebagai mitra aktif yang perilakunya memerlukan dukungan melalui regulasi memadai dan ketersediaan infrastruktur. Apabila target penurunan aliran plastik ke ekosistem ingin tercapai, sektor industri harus mengambil peran pelopor dalam transformasi ini, dengan catatan harus diimbangi oleh keterlibatan masyarakat dan fungsi pengawasan pemerintah. Tanpa kepemimpinan dari industri dan regulasi yang tegas, usaha-usaha individual hanya akan menjadi upaya sia-sia yang tidak sebanding dengan skala permasalahan.
RFERENSI
European Union. 2025. Plastic policies in Indonesia. SWITCH-Asia
Rahayu, Y. S., Nuraeni, S., Kaustara, N. R., Maulana, N. A., dan Nuryadi, D. P. 2024. Pengelolaan Sampah Plastik dalam Skala Kecil: Peran Masyarakat dalam Mengurangi Dampak Lingkungan. Humanus: Jurnal Sosiohumaniora Nusantara. Vol. 1(2): 187-197.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”





































































