Di era digital, dunia kerja menghadapi pilihan yang semakin jelas apakah akan beradaptasi dengan perubahan atau justru tersingkir. Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengubah cara bekerja secara mendasar. Pekerjaan yang dulunya manual kini hampir seluruhnya bergantung pada sistem digital dan otomatisasi. Kehadiran kecerdasan buatan, big data, dan berbagai inovasi baru memang membuka banyak peluang, tetapi juga membawa ancaman bagi mereka yang tidak siap beradaptasi. Situasi ini menuntut pekerja dan organisasi untuk tidak hanya melek teknologi, tetapi juga mampu menyesuaikan diri dengan cepat.
Keterampilan yang dahulu dianggap penting kini bisa cepat kehilangan nilai, sementara keterampilan baru terus bermunculan. Kondisi ini membuat banyak pekerja berada di posisi sulit karena mereka harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi atau menghadapi risiko tertinggal dari kompetisi. Dengan kata lain, perubahan ini tidak sekadar menggeser pola kerja, tetapi menuntut keputusan tegas antara berkembang atau punah.
Teknologi digital kini telah merubah hampir semua aspek kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Perubahan yang terjadi tidak hanya mengubah cara kita berinteraksi, tetapi juga cara perusahaan beroperasi dan pekerja menjalankan tugasnya. Digitalisasi membawa efisiensi sekaligus tantangan baru yang membuat banyak pekerjaan berisiko tergantikan. Kondisi ini menegaskan bahwa tenaga kerja Indonesia harus segera menentukan sikap, apakah siap beradaptasi atau justru tertinggal.
Perusahaan yang masih tidak ingin transformasi, mereka berisiko kehilangan daya saing dan tersaingi oleh kompetitor yang lebih inovatif. Dalam lima tahun terakhir ribuan pekerja kehilangan pekerjaan bukan karena krisis ekonomi, tetapi akibat otomatisasi dan digitalisasi yang meluas. Realitas ini memberi peringatan serius bahwa adaptasi tidak boleh ditunda, karena yang tidak berubah pasti akan tertinggal.
Bagi karyawan, kondisi ini menimbulkan kecemasan yang nyata. Mereka harus mampu mengikuti kecepatan perkembangan teknologi. Jika tidak, mereka akan digantikan oleh mesin atau sistem otomatis. Perasaan tidak aman ini menambah tekanan psikologis, membuat banyak pekerja khawatir tentang kelangsungan karier dan masa depan mereka.
Dalam situasi seperti ini, peran manajemen sumber daya manusia menjadi sangat penting. Transformasi digital tidak bisa hanya berfokus pada penerapan teknologi, melainkan juga harus menyiapkan sumber daya manusianya. Jika perusahaan mengabaikan hal ini, dampaknya berupa engagement melemah, produktivitas menurun, dan turnover meningkat. Sebaliknya, organisasi yang serius mempersiapkan karyawan melalui pelatihan akan lebih mampu menjaga stabilitas dan menjaga loyalitas pekerjanya.
Di sinilah upskilling dan reskilling muncul sebagai strategi utama. Keduanya tidak bisa lagi dipandang sebagai pelatihan rutin, melainkan investasi strategis yang menentukan masa depan pekerja dan perusahaan. Dengan keterampilan baru, karyawan dapat terus relevan di tengah perubahan teknologi, sekaligus memberi kontribusi yang lebih besar bagi organisasi. Pada saat yang sama, perusahaan juga mendapat keuntungan karena memiliki tenaga kerja yang lebih siap menghadapi tantangan baru.
Data dari World Economic Forum (2023) mengungkapkan bahwa 50% pekerja di dunia harus meningkatkan atau mengubah keterampilan mereka pada 2025 untuk menghindari risiko kehilangan pekerjaan. Sementara itu, survei PwC Indonesia (2022) menambahkan bahwa 73% eksekutif menilai kesenjangan keterampilan digital sebagai hambatan utama pertumbuhan bisnis sekaligus ancaman terbesar bagi karier karyawan. Angka-angka ini menegaskan bahwa transformasi bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan yang harus segera dijalankan.
Employee engagement menjadi faktor yang sangat menentukan. Engagement tidak hanya soal kepuasan kerja, melainkan keterikatan emosional yang membuat karyawan mau berjuang menghadapi perubahan. Karyawan yang memiliki engagement tinggi biasanya lebih proaktif, inovatif, dan loyal karena merasa masa depan mereka diperhatikan. Sebaliknya, engagement yang rendah membuat karyawan cenderung menolak perubahan, mudah menyerah, dan akhirnya tersingkir dari persaingan.
Upskilling dan reskilling penting karena pelatihan berfungsi sebagai penyelamat agar karyawan tetap memiliki penghasilan. Keterampilan baru memberikan jaminan keberlangsungan pekerjaan di tengah ancaman otomatisasi. Pelatihan bersama menciptakan solidaritas dan dukungan di antara pekerja sehingga memungkinkan karyawan tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menjadi pemimpin dalam transformasi.
Agar benar-benar efektif, program upskilling dan reskilling perlu dirancang secara menyeluruh. Perusahaan harus mengidentifikasi posisi yang paling rentan terdampak, kemudian menyiapkan jalur pelatihan yang jelas. Misalnya, staf administrasi yang pekerjaannya berpotensi digantikan AI bisa dilatih ulang menjadi analis data. Dengan langkah ini, perusahaan bukan hanya menanggapi perubahan, tetapi juga mampu menghadapi tantangan besar yang akan datang.
Selain menyediakan jalur pelatihan, perusahaan perlu menumbuhkan budaya belajar berkelanjutan. Belajar tidak bisa lagi dianggap pilihan tambahan, melainkan kebutuhan untuk bertahan. Perusahaan dapat menerapkan program emergency reskilling, di mana karyawan diberi pilihan untuk mengikuti pelatihan keterampilan atau menghadapi risiko kehilangan pekerjaan.
Manfaat dari strategi ini bersifat mendasar, bagi pekerja keberhasilan mengikuti transformasi berarti peluang untuk tetap memiliki masa depan yang terjamin. Bagi organisasi, kesuksesan program pelatihan berarti memiliki tenaga kerja yang lebih siap menghadapi tantangan di masa depan. Jika dijalankan dengan konsisten, engagement akan meningkat, loyalitas akan menguat, dan hubungan antara karyawan dan perusahaan menjadi lebih erat.
Sebaliknya, kegagalan menyiapkan transformasi dapat membawa konsekuensi yang serius. Pekerja yang tidak beradaptasi akan sulit bertahan, sementara perusahaan yang abai akan kehilangan daya saing dan tergantikan oleh pesaing yang lebih siap. Karena itu, komitmen terhadap transformasi harus bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar. Transformasi bukan lagi sekadar program tambahan, melainkan strategi bertahan hidup yang wajib dijalankan.
Perusahaan yang cerdas akan menggunakan teknologi untuk memperkuat pekerjanya, bukan sekadar menggantikan mereka. Di titik inilah, peran profesional SDM dan manajer dibutuhkan sebagai transformation coach yang membimbing karyawan menyesuaikan perubahan. Dengan pendekatan ini, upskilling dan reskilling benar-benar menjadi jembatan antara ketertinggalan dan relevansi, antara ancaman eliminasi dan peluang transformasi.
Organisasi yang mampu mengelola dilema ini dengan bijak akan muncul sebagai pemenang di era digital. Mereka bukan hanya memiliki tenaga kerja yang bertahan, tetapi juga berkembang menghadapi tantangan perubahan berikutnya. Karyawan pun merasa lebih percaya diri karena tahu mereka telah memilih jalan transformasi. Sebaliknya, perusahaan yang gagal mengikuti perubahan akan tersingkir bersama karyawannya yang tidak siap beradaptasi.
Dalam jangka panjang, strategi transformasi bukan hanya soal mempertahankan bisnis, melainkan juga membangun ketangguhan menghadapi gelombang perubahan yang tak terhindarkan. Di sinilah letak kunci menjaga employee engagement, menjadikannya pendorong utama transformasi berkelanjutan di tengah ancaman eliminasi. Era digital tidak akan menunggu siapa pun. Mereka yang berani berubah akan menemukan peluang, sementara yang menolak beradaptasi perlahan akan tertinggal. Dengan upskilling dan reskilling, karyawan dan perusahaan dapat melangkah bersama membangun masa depan yang lebih kuat.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
 
 


























































 
 




