A. Berfikir Kritis Dalam Pengembangan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan
Perubahan kurikulum 2013 menjadi kurikulum Merdeka dan diberlakukan secara Nasional berdasarkan pada Permendikbudristek nomor 12 tahun 2024 pada hakikatnya memberikan keleluasaan pada guru untuk menentukan pada arah mana pembelajaran akan dilakukan. Guru dapat menentukan kompetensi yang dibutuhkan berdasarkan pada kemampuan awal peserta didik yang diajarnya. Sebagai contoh, Capaian Pembelajaran Sejarah tidak membatasi kompetensi pada tingkatan-tingkatan kompetensi seperti yang disampaikan oleh Bloom yang disempurnakan oleh Anderson. Alih-alih menggunakan taksonomi Anderson, Capaian Pembelajaran Sejarah lebih menekankan pada kompetensi tingkat tinggi yang didasarkan pada Wiggins dan McTighe dimana proses perencanaan kurikulum yang mereka sebut “desain mundur,” yang melibatkan tiga langkah:
a) Identifikasi hasil yang diharapkan. Pada akhir kursus, pengetahuan/keterampilan/kemampuan apa yang harus dimiliki siswa Anda?
b) Tentukan bukti yang dapat diterima. Bentuk bukti apa yang dapat Anda gunakan untuk mendokumentasikan dan menilai pembelajaran siswa Anda?
c) Rencanakan pengalaman belajar dan instruksi. Kegiatan dan instruksi apa yang akan Anda berikan untuk membantu siswa menunjukkan pembelajaran mereka dengan baik?
Bentuk pemahaman yang ada pada CP sejarah didasari pada enam aspek pemahaman (Wiggins and Tighe, 2005) merupakan bentuk-bentuk pemahaman yang digunakan dalam CP. Tapi tidak harus hirarkis.
1. Penjelasan (explanation). Mendeskripsikan suatu ide dengan kata-kata sendiri, membangun hubungan antartopik, mendemonstrasikan hasil kerja, menjelaskan alasan/cara/prosedur, menjelaskan sebuah teori menggunakan data, berargumen dan mempertahankan pendapatnya.
2. Interpretasi (interpretation). Menerjemahkan cerita, karya seni, atau situasi. Interpretasi juga berarti memaknai sebuah ide, perasaan atau sebuah hasil karya dari satu media ke media lain, dapat membuat analogi, anekdot, dan model. Melihat makna dari apa yang telah dipelajari dan relevansi dengan dirinya.
3. Aplikasi (application). Menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman mengenai suatu dalam situasi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari atau sebuah simulasi (menyerupai kenyataan).
4. Perspektif (perspective). Melihat suatu hal dari sudut pandang yang berbeda, siswa dapat menjelaskan sisi lain dari sebuah situasi, melihat gambaran besar, melihat asumsi yang mendasari suatu hal dan memberikan kritik.
5. Empati (empathy). Menaruh diri di posisi orang lain. Merasakan emosi yang dialami oleh pihak lain dan/atau memahami pikiran yang berbeda dengan dirinya. Menemukan nilai (value) dari sesuatu.
6. Pengenalan diri (self-knowledge). Memahami diri sendiri; yang menjadi kekuatan, area yang perlu dikembangkan serta proses berpikir dan emosi yang terjadi secara internal.
Penggunaan teori Wiggins dan McTighe menjadikan pemahaman sebagai kompetensi paling tinggi sejalan dengan teori konstruktivisme dimana kemampuan memahami ada di level paling tinggi. Berbeda jika mengacu pada Taksonomi Bloom yang menempatkan kemampuan memahami di level C2. Dengan begitu, maka setiap peserta didik yang mempelajari sejarah wajib dapat menguasai kemampuan memahami sebagai memahami tingkat tinggi. Agar dapat menjadikan peserta didik memiliki kemampuan memahami seperti yang disampaikan pada teori konstruktivis maka perlu setiap peserta didik dapat berfikir kritis. Karena Berpikir kritis merupakan kemampuan mengelola informasi yang terdiri dari identifikasi masalah sehingga dapat menemukan sebab suatu kejadian, berpikir logis, menilai dampak suatu kejadian, membuat sebuah solusi dan menarik kesimpulan (Fatahullah, 2016). Dengan kemampuan ini, maka peserta didik dapat mencapai tahap pemahaman terhadap berbagai fakta yang diramu sesuai dengan tujuan pembelajaran berdasarkan pada Capaian Pembelajaran yang ada. Kemampuan berpikir kritis memiliki 5 indikator (Ennis, 2011), yaitu:
a) Klarifikasi Dasar (Basic Clarification), meliputi : (1) merumuskan suatu pertanyaan, (2) menganalisis argument dan (3) bertanya dan menjawab pertanyaan klarifikasi
b) Memberikan alasan untuk suatu keputusan (The Bases for a decision), meliputi (1) mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, (2) mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi.
c) Menyimpulkan (Inference), meliputi (1) membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, (2) membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi, dan (3) membuat serta mempertimbangkan nilai keputusan.
d) Klarifikasi lebih lanjut (Advanced Clarification), meliputi (1) Mengidentifikasi istilah dan mempertimbangkan definisi, dan (2) mengacu pada asumsi yang tidak dinyatakan.
Kemampuan berfikir kritis yang dikembangkan sesuai dengan indicator kemampuan berfikir kritis akan mengarahkan pada kemampuan dalam menentukan jalan dalam pemahaman ilmu pengetahuan dan juga pengembangan Pendidikan.
Berpikir kritis merupakan kemampuan menganalisis, menghubungkan, serta mengkreasikan semua aspek dalam suatu situasi atau permasalahan yang diberikan (Anugraheni, 2015). Dalam pembelajaran kemampuan ini sangat penting dalam rangka merangkai berbagai fakta untuk dapat menyimpulkan terkait kebenaran dari ilmu pengetahuan yang bersifat relative. Peserta didik dapat menyampaikan berbagai fakta-fakta sejarah dan menyimpulkannya sebagai bagian dari pemahaman dalam melakukan analisis sumber berdasarkan pada proses trianggulasi serta analisis data yang ada.
Melalui kemampuan berfikir kritis ini lah kemudian dapat dikembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan pendekatan filsafat. Karena seseorang tidak akan dapat mengembangkan pendekatan filsafat sebelum memiliki kemampuan berfikir kritis, begitupun sebaliknya, bahwa filsafat sendiri merupakan bagian dari pemikiran kritis terhadap segala sesuatu yang didasari dari sudut pandang yang bersifat universal.
B. Penggunaan Pendekatan Filsafat Dalam Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Pendekatan adalah pandangan atau filosofi yang menjadi dasar proses pembelajaran. Pendekatan merupakan titik tolak yang mencakup seluruh proses pembelajaran dan dapat berbasis pada teori tertentu. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach).
Pendekatan pembelajaran adalah cara pendekatan yang digunakan dalam proses belajar-mengajar untuk membantu siswa memahami materi dengan lebih baik. Dalam pendidikan, pendekatan ini berfungsi sebagai panduan atau strategi bagi guru untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa secara efektif. Pendekatan pembelajaran mencakup berbagai metode, teknik, dan pendekatan yang dirancang untuk memfasilitasi pemahaman dan retensi informasi yang lebih baik (Laila,2024).
Pendekatan Filsafat dalam pembelajaran mengisyaratkan bagaimana menggunakan pandangan atau filosofi yang mengedepankan pada proses berfikir secara radikal. Sistematik dan universal dalam proses pembelajaran dengan tujuan mendapatkan pemikiran yang tepat dalam rangka mencapai tujuan pembelajan. Karena menurut Plato (428 – 348 SM) mengartikan filsafat adalah pencarian yang bersifat spekulatif tentang seluruh kebenaran. Berfikir spekulatif adalah berfikir dengan cara merenung tentang suatu persoalan (Maksum.Ali,2023:5). Dari berbagai definisi yang ada, Filsafat adalah proses berfikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada. Berfikir radikal berarti berfikir teratur, runtutm logis, dan tidak serampangan; dan berfikir universal, yakni berfikir umum, terintegral, dan tidak khusus serta tidak parsial (Maksum, 2023:7).
Berdasarkan pada pandangan ini, maka untuk dapat memastikan tujuan Pendidikan dan perkembangan ilmu pengetahuan diperlukan proses berfikir yang lebih kritis. Ilmu pengetahuan tidak dapat berkembang hanya dengan proses berfikir sederhana, melainkan memerlukan pemikiran yang komplek dalam melihat hal-hal yang sederhana. Disinilah diperlukan pendekatan filsafat di dalamnya. Dapat diambil contoh semisal apabila seorang Isaac Newton hanya memandang jatuhnya apel seperti orang-orang lain memandang apel maka hingga kini kita tidak akan dapat mengerti terkait teori gravitasi. Isac Newton menggunakan pendekatan filsafat dengan berfikir secara radikal dibandingkan dengan orang lain dalam memandang jatuhnya buah apel dari pohonnya ke tanah, Ia mempertanyakan mengapa semua apel selalu jatuh kebumi bukankah tidak semua apel memiliki berat yang sama, mengapa apel yang lebih ringan tidak terbang saja ke angkasa. Pertanyaan-pertanyaan radikal ini menjadi dasar dalam menjadi salah satu Langkah penggunaan filsafat dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Selain pertanyaan-pertanyaan radikal yang dibuatnya, Sir Isaac pun memusatkan pikirannya secara sistematik dengan memastikan bahwa untuk setiap apel yang jatuh ke tanah memiliki waktu yang berbeda-beda, sehingga selain gaya Tarik yang ada pada bumi maka ada waktu dan juga massa dalam menentukan gravitasi ini. Ia pun berfikir secara universal, dimana ia memikirkan bahwa semua benda yang jatuh ke bumi dipengaruhi oleh gaya Tarik bumi yang dikenal dengan gravitasi.
Dari sebuah contoh diatas maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada hakikatnya perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari pendekatan filsafat di dalamnya. Pendekatan filsafat inilah yang kemudian menghasilkan pemikiran kritis untuk kemudian menjadikan seseorang dapat mengembangkan berbagai pertanyaan atau perbuatan radikan yang dilakukan secara sistematik dalam lingkup universal sehingga menghasilkan pengetahuan baru yang diterima oleh banyak orang. Pendekatan filsafat
Dalam mengkaji sebuah pengetahuan apakah itu untuk mencari kebenaran maupun mencari kesalahannya maka diperlukan pendekatan filsafat yang nantinya dapat menghasilkan Justifikasi dan kepercayaan dimana keduanya adalah elemen krusial dalam teori pengetahuan. Kepercayaan adalah aspek subyektif yang melibatkan keyakinan terhadap proposisi, sementara justifikasi adalah aspek obyektif yang melibatkan alasan atau bukti yang mendukung kepercayaan tersebut. Untuk suatu kepercayaan dianggap sebagai pengetahuan, harus ada keseimbangan antara kepercayaan yang benar, justifikasi yang memadai, dan kebenaran objektif. Tantangan dalam teori pengetahuan sering melibatkan pertanyaan tentang validitas dan cakupan justifikasi serta bagaimana kita memahami kebenaran dan kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anugraheni, I. (2015). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Dalam Menyelesaikan Permasalahan Bilangan Bulat Berbasis Media Realistik. Jurnal Pendidikan Dan Kembudayaan, 276–283.
Ennis, R. H. (2011). The Nature of Critical Thinking. Informal Logic, 6(2), 1–8. https://doi.org/10.22329/il.v6i2.2729
Fatahullah, M. M. (2016). Pengaruh Media Pembelajaran Dan Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap Hasil Belajar Ips. Jurnal Pendidikan Dasar, 7.
Laila,https://www.gramedia.com/literasi/pendekatanpembelajaran/#Apa_itu_Pendekatan_Pembelajaran
Nuryanti, L., Zubaidah, S., & Diantoro, M. (2018). Analisis Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Jurnal Pendidikan : Teori Penelitian Dan Pengembangan, 2006, 155– 158.
Simbolon, M., Manullang, M., Suya, E., & … (2017). The Efforts to Improving the Critical Thinking Student’s Ability Through Problem Solving Learning Strategy by Using Macromedia Flash at SMP Negeri 5 Padang. International Journal of Novel Research in Education and Learning, July.
MENGGUGAH KEMBALI MAKNA PENDIDIKAN: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT TENTANG PENDIDIKAN DI ERA DIGITAL