Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Permenkomdig) No. 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial yang membatasi potongan harga, termasuk promo gratis ongkir, maksimal tiga hari dalam sebulan. Kebijakan ini, meskipun belum diterapkan secara penuh, telah memicu keresahan luas di kalangan pelaku usaha kecil hingga konsumen di daerah. Banyak yang khawatir pembatasan ini akan menjadi awal dari memburuknya akses masyarakat terhadap belanja daring yang selama ini diandalkan untuk menekan pengeluaran harian, terutama di tengah inflasi yang belum kunjung mereda.
Dalam beleid tersebut, promo yang menurunkan tarif pengiriman di bawah biaya pokok hanya boleh berlangsung selama tiga hari per bulan, dan harus disertai pelaporan data kepada pemerintah. Di balik alasan melindungi kurir dan menciptakan industri yang berkelanjutan, muncul kekhawatiran bahwa langkah ini akan menjadi pukulan telak bagi ekosistem e-commerce yang baru mulai pulih. Banyak pelaku UMKM menyatakan ketidakpastian akan masa depan usaha mereka jika promo gratis ongkir dibatasi. Apalagi, sebagian besar dari mereka tidak memiliki kapasitas logistik sendiri dan hanya bisa bersaing lewat potongan ongkir yang ditanggung platform.
Anastasia, pedagang pakaian rumahan dari Sumatera Selatan, mengaku bergantung pada momen promo ongkir untuk menghabiskan stok. “Kadang saya jual rugi sedikit asalkan ongkir ditanggung platform. Kalau tiga hari saja dalam sebulan, siapa yang mau nunggu? Barang saya bukan kebutuhan pokok, kalau mahal dikit pasti enggak laku,” katanya. Sebaliknya, toko-toko besar dengan volume pesanan tinggi masih bisa menegosiasikan tarif logistik langsung dengan pihak kurir, meninggalkan pelaku kecil di belakang tanpa daya tawar.
Di sisi lain, kurir yang disebut-sebut sebagai pihak yang ingin dilindungi justru menyuarakan kecemasan baru. Seorang pengantar paket dari layanan ekspedisi swasta di Bandung, yang enggan disebut namanya, menyebut bahwa masalah utama bukan pada banyaknya promo, melainkan ketidakpastian pendapatan dari skema kemitraan. “Kalau order turun karena ongkir makin mahal, ya kita juga yang pertama kena. Bukan soal promonya, tapi soal siapa yang nanggung risikonya,” ujarnya. Ia khawatir jika masyarakat mulai mengurangi belanja daring, maka pendapatan harian para kurir bisa terpangkas drastis.
Ketentuan ini memang belum dijalankan secara teknis, namun secara resmi sudah menjadi bagian dari regulasi yang akan mengikat industri dalam waktu dekat. Pasal 45 beleid itu bahkan memberikan kewenangan penuh kepada Direktur Jenderal Komdigi untuk mengevaluasi dan menindak promo yang dianggap tidak sehat secara ekonomi. Kekhawatiran terbesar muncul bukan hanya dari pelaku UMKM, tapi juga dari para konsumen kelas menengah bawah yang selama ini menjadikan gratis ongkir sebagai satu-satunya jembatan untuk mengakses barang di luar kota besar. Kini, mereka harus bersiap menghadapi kenyataan baru yaitu ongkir bukan lagi hak konsumen, tapi fasilitas yang diperebutkan secara terbatas, dengan risiko yang tak lagi bisa ditanggung bersama.