Indonesia adalah negara yang berlandaskan pada keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke, masyarakat hidup dalam pluralitas agama, budaya, suku, dan bahasa. Untuk mempersatukan keberagaman itu, para pendiri bangsa merumuskan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan panduan hidup bersama. Namun, seperti semua ideologi, Pancasila tidak hidup dalam ruang hampa. Ia diinterpretasikan, disosialisasikan, bahkan kadang dipraktikkan secara sempit dan eksklusif, tergantung pada konteks sosial-politik dan dominasi nilai yang berkembang dalam masyarakat. Salah satu contoh paling mencolok tentang bagaimana Pancasila dapat dijalankan dengan cara yang justru bertentangan dengan semangatnya adalah kasus pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang pada tahun 2021. Seorang siswi non-Muslim diminta mengikuti aturan sekolah yang mewajibkan semua siswi perempuan memakai hijab. Tindakan ini kemudian viral dan mendapat kecaman publik karena dinilai melanggar kebebasan beragama dan hak asasi siswa di sekolah negeri. Membaca kembali hubungan antara Pancasila, tafsir ideologi mayoritas, dan ruang publik pendidikan dengan menjadikan kasus SMKN 2 Padang sebagai titik refleksi. Tiga aspek utama akan dibahas: dominasi tafsir mayoritas dalam kebijakan sekolah, posisi Pancasila sebagai penjamin kebebasan beragama, dan respons kebijakan pasca-kasus yang menggambarkan tantangan serta harapan atas pendidikan yang lebih inklusif.
Dominasi tafsir mayoritas dalam ruang sekolah
Kasus SMKN 2 Padang adalah ilustrasi nyata bagaimana ideologi mayoritas dalam hal ini Islam bisa mendominasi ruang publik yang seharusnya netral secara ideologis dan agama. Sekolah negeri, sebagai institusi milik negara, seharusnya menjadi tempat yang menjamin perlakuan adil bagi seluruh siswa tanpa memandang latar belakang agama. Namun, justru muncul kebijakan seragam sekolah yang memaksakan simbol keagamaan tertentu kepada semua siswa perempuan, termasuk mereka yang tidak memeluk Islam. Pemaksaan ini bukanlah insiden tunggal atau kebijakan lokal yang tidak disengaja. Dalam banyak kasus serupa, pemaksaan seragam religius di sekolah-sekolah negeri telah berlangsung lama, sering kali dibungkus dengan alasan tata tertib atau “kebiasaan masyarakat”. Namun bila ditelaah lebih dalam, hal ini merefleksikan bagaimana ideologi dominan menanamkan nilai-nilai mayoritas ke dalam institusi formal negara, seolah-olah nilai tersebut mewakili kepentingan bersama. Yang patut dikhawatirkan adalah ketika kebijakan pendidikan mulai bergeser dari pengembangan potensi siswa secara bebas dan setara menjadi alat penyeragaman identitas. Dalam kasus ini, simbol keagamaan dijadikan alat kontrol sosial. Hal ini tidak hanya melanggar hak individu, tetapi juga membentuk atmosfer eksklusif dan tidak ramah bagi kelompok minoritas. Sekolah bukan lagi menjadi tempat belajar yang aman dan terbuka, melainkan menjadi ruang ideologisasi yang membatasi keragaman dan kebebasan berpikir.
Pancasila sebagai dasar kebebasan beragama
Sebagai ideologi dan dasar negara, Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang seharusnya menjamin kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, sering disalahpahami sebagai pembenaran untuk penerapan nilai-nilai agama tertentu ke dalam institusi negara. Padahal, sila ini menekankan pengakuan terhadap keberadaan Tuhan dalam berbagai bentuk kepercayaan dan menjamin kebebasan warga negara untuk beragama dan berkeyakinan. Sementara itu, sila kedua dan ketiga menekankan kemanusiaan dan persatuan. Artinya, tidak boleh ada warga negara termasuk siswa di sekolah yang dipaksa mengikuti praktik keagamaan di luar keyakinannya sendiri, apalagi atas nama kebijakan negara. Pemaksaan simbol religius di sekolah negeri jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ini. Kasus SMKN 2 Padang menunjukkan bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa ditafsirkan secara parsial. Ketika ideologi mayoritas membungkus dirinya dengan simbol nasional, seperti Pancasila, maka Pancasila kehilangan substansi universalnya dan menjadi alat justifikasi atas praktik yang diskriminatif. Dalam hal ini, Pancasila dipraktikkan bukan sebagai ideologi kebangsaan yang menjamin keragaman, melainkan sebagai alat penyeragaman yang menyingkirkan perbedaan. Hal ini menjadi ironi tersendiri karena Pancasila yang seharusnya menjadi payung semua warga negara malah digunakan sebagai pembenaran untuk menekan minoritas. Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, pemaksaan ini merusak nilai luhur Pancasila sebagai dasar toleransi, hak asasi, dan persatuan.
Tantangan kebijakan dan jalan menuju sekolah yang inklusif
Kasus SMKN 2 Padang memunculkan respons cepat dari pemerintah pusat. Kementerian Pendidikan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang melarang sekolah negeri mewajibkan atau melarang penggunaan atribut keagamaan. Langkah ini merupakan bentuk afirmasi negara terhadap prinsip netralitas institusi pendidikan serta upaya untuk menjaga kebebasan beragama di lingkungan sekolah. Namun, tantangan di lapangan tidaklah kecil. Di sejumlah daerah, SKB ini ditolak atau tidak dijalankan dengan serius. Beberapa pemerintah daerah bahkan menganggap SKB sebagai bentuk intervensi terhadap “kearifan lokal”. Di sisi lain, sebagian masyarakat dan guru belum memiliki pemahaman yang utuh tentang pentingnya netralitas ideologis sekolah dalam konteks negara Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan utamanya bukan hanya regulasi, tetapi juga budaya politik dan kesadaran ideologis yang belum sejalan dengan semangat kebangsaan yang inklusif. Untuk itu, reformasi kebijakan pendidikan perlu dilanjutkan ke tingkat praksis. Sekolah-sekolah harus diberikan pelatihan tentang nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Kurikulum pendidikan Pancasila pun perlu diperbaharui agar tidak hanya berisi hafalan sila, tetapi juga pemahaman kritis atas makna ideologisnya dalam kehidupan bernegara. Guru, sebagai agen utama pendidikan, harus dilatih untuk memahami batas-batas antara keyakinan pribadi dan kewajibannya sebagai pelayan publik yang netral.
Kasus SMKN 2 Padang memberikan pelajaran penting bahwa negara tidak boleh abai terhadap diskriminasi yang terjadi dalam institusinya sendiri. Ketika sekolah negeri memaksakan satu bentuk identitas keagamaan, maka negara telah gagal dalam menjaga rumah bersama yang seharusnya aman bagi semua keyakinan. Hanya dengan keberanian untuk membenahi sistem, Pancasila dapat kembali berfungsi sebagai jembatan perbedaan, bukan pagar eksklusivitas.