Sejak awal Februari 2025, banyak remaja Indonesia menggunakan tagar #KaburAjaDulu di media sosial, terutama di platform X. Tagar ini menunjukkan keinginan anak muda untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja di luar negeri sebagai cara keluar dari kondisi ekonomi yang sulit dan ketidakpercayaan terhadap kebijakan pemerintah yang menangani pengangguran dan kenaikan biaya hidup.
Di TikTok dan X (Twitter), ungkapan “kabur dulu dari negeri sendiri” sering diunggah, biasanya disertai dengan cerita tentang gaji kecil, biaya hidup tinggi, dan kurangnya ruang berkembang di dalam negeri. “Kerja keras, tapi gaji kayak magang. #KaburAjaDulu aja deh,” tulis pengguna X.
Tingkat pengangguran terbuka pada kuartal pertama 2025 mencapai 5,65%, dengan kontribusi terbesar dari kelompok usia 20–29 tahun, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Sebaliknya, biaya pendidikan dan kebutuhan dasar seperti sewa rumah dan makanan meningkat 12% setiap tahunnya, mendorong sebagian anak muda untuk mempertimbangkan migrasi.
Kritik juga mengarah pada Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran, yang memangkas alokasi untuk program pelatihan kerja dan subsidi pendidikan tinggi. “Inpres ini tidak sensitif terhadap kebutuhan generasi produktif,” ujar Zikri Abdullah, peneliti kebijakan publik dari INDEF. “Alih-alih memperkuat sumber daya manusia, negara seperti menyuruh anak mudanya bertahan sendiri.”
Pengamat politik memperdebatkan fenomena ini. Sebagian orang melihat ini sebagai bukti apatisme politik anak muda, sedangkan yang lain menganggapnya sebagai bentuk demonstrasi tanpa kata-kata terhadap ketimpangan. Jika sebelumnya protesnya dilakukan melalui demonstrasi, sekarang mereka melakukannya dengan kabur. Menurut Dita Ayu, seorang dosen Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada, ini adalah jenis ekspresi politik yang berbeda.
Dalam perspektif teori politik, fenomena #KaburAjaDulu mencerminkan relasi kuasa antara negara dan warga negara khususnya generasi muda yang merasa terkekang dalam struktur sosial-politik yang tidak memberikan ruang berkembang. Menurut teori strukturasi dari Anthony Giddens, individu tidak hanya dibentuk oleh struktur sosial, tetapi juga memiliki agensi untuk melawan dan membentuk ulang struktur tersebut. Pilihan ‘kabur’ ke luar negeri dapat dibaca sebagai bentuk resistensi terhadap kebijakan negara yang dianggap gagal memenuhi hak-hak dasar pemuda seperti pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan. Michel Foucault juga menyoroti bagaimana kekuasaan bekerja tidak hanya secara represif, tapi juga melalui normalisasi di mana pemuda didorong diam-diam untuk menerima kenyataan tanpa protes terbuka. Fenomena ini sekaligus memperlihatkan betapa lemahnya representasi politik terhadap kelompok muda serta minimnya ruang publik yang benar-benar mendengar dan menindaklanjuti suara mereka.
Meskipun “KaburAjaDulu” sekarang menjadi tren, ada sejumlah informasi yang mengingatkan pada kemungkinan terjadinya brain drain. Jika tren ini tidak segera diimbangi dengan pembenahan sistem dalam negeri, Indonesia berisiko kehilangan sumber daya manusia potensial. Data World Bank menunjukkan bahwa jumlah pemuda Indonesia yang mengajukan visa kerja atau studi ke luar negeri akan meningkat sebesar 17 persen hingga 2024.
Ini bukan fenomena pertama. Intelektual muda juga mengalami kecenderungan serupa selama era reformasi awal tahun 2000-an. Sekarang orang yang “kabur” bukan hanya mereka yang terdidik, tetapi juga pekerja digital dan pekerja yang terampil. Ini adalah contoh kekecewaan yang lebih luas terhadap jalan yang diambil oleh Indonesia dalam politik dan ekonomi.
Hingga 9 Juni 2025, belum ada kebijakan konkret yang diumumkan khusus untuk merespons gerakan tagar #KaburAjaDulu; pemerintah hanya kembali menekankan program pelatihan dan kerja sama negara lain, tanpa menyesuaikan anggaran atau strategi dalam negeri secara menyeluruh.