Artificial Intelligence (AI) semakin merasuk dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Dari chatbot pembelajaran, aplikasi penjawab soal otomatis, hingga platform bimbingan belajar berbasis AI—semuanya hadir dengan janji kemudahan dan efisiensi. Tapi di balik pesona teknologi ini, muncul pertanyaan yang mulai menggema: apakah AI benar-benar membantu siswa belajar, atau justru mematikan daya pikir mereka?
Pertanyaan ini penting, apalagi di era pasca-pandemi di mana pembelajaran daring telah menjadi kebiasaan baru. Teknologi seakan menjadi “guru kedua” bagi siswa. Tapi jika tidak bijak digunakan, bisa saja teknologi malah menjadi “jalan pintas” yang membuat siswa malas berpikir.
Kemudahan yang Menipu
AI hadir membawa segudang kemudahan. Butuh rangkuman buku? Gunakan AI. Tidak tahu jawabannya? Tanyakan ke chatbot. Butuh presentasi PowerPoint? AI bisa buatkan dalam hitungan detik. Tapi kemudahan ini menjadi pedang bermata dua. Ketika siswa terlalu sering menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas-tugas akademik, mereka berisiko kehilangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Proses belajar seharusnya tidak hanya soal hasil, tetapi juga tentang bagaimana memahami, menganalisis, dan menyelesaikan masalah. Ketika proses ini dilompati karena bantuan AI, maka yang berkembang bukanlah kemampuan berpikir, tetapi ketergantungan.
Potensi Positif yang Tak Bisa Diabaikan
Meski begitu, menuding AI sebagai “penyebab kemalasan berpikir” secara mutlak juga tidak adil. AI bisa menjadi alat bantu luar biasa—jika digunakan secara bijak. Contohnya, AI bisa membantu guru menyesuaikan materi pembelajaran dengan gaya belajar siswa, mempercepat proses penilaian, atau membantu siswa memahami konsep yang rumit dengan visualisasi interaktif.
Dengan kata lain, AI bisa menjadi akselerator pembelajaran yang luar biasa, selama ia ditempatkan sebagai asisten, bukan pengganti proses berpikir.
Tantangan Terbesar: Etika dan Literasi Digital
Tantangan utama saat ini bukan pada teknologinya, tetapi pada etika penggunaannya. Banyak siswa menggunakan AI untuk mengerjakan tugas tanpa memahami isi materi. Bahkan lebih parah, ada yang mengandalkan AI untuk skripsi dan tugas akhir, tanpa kontribusi pikiran pribadi. Ini bukan hanya soal kemalasan, tapi soal hilangnya integritas akademik.
Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dalam membangun literasi digital: kemampuan untuk tidak hanya menggunakan teknologi, tetapi memahami batas dan tanggung jawab penggunaannya.
Peran Guru dan Sistem Pendidikan
Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi pembentukan karakter. Guru harus berperan aktif dalam membimbing siswa agar menggunakan AI sebagai alat belajar, bukan alat pelarian. Sistem pendidikan juga perlu beradaptasi: jangan hanya menilai dari hasil, tapi dari proses berpikir yang ditunjukkan siswa.
Misalnya, dorong penggunaan AI dalam diskusi atau eksplorasi ide, tapi tetap minta siswa menjelaskan logika di balik jawaban mereka. Dengan begitu, AI bisa menjadi mitra berpikir, bukan mesin pengganti otak.
AI di dunia pendidikan adalah peluang besar, tapi juga tantangan serius. Ia bisa menjadi cahaya yang menerangi jalan pembelajaran, atau kabut yang menutupi kemampuan berpikir. Pilihannya ada pada cara kita—sebagai siswa, guru, dan masyarakat—menghadapinya. AI bukan musuh, tapi bukan juga dewa penolong. Yang terpenting, jangan biarkan teknologi mengambil alih fungsi otak kita. Karena pendidikan sejati bukan soal siapa yang paling cepat selesai, tapi siapa yang paling dalam memahami.
By: Nadira Syfha Febriyani