Urgensi Etika Konstitusi dalam Rekrutmen Hakim Mahkamah Konstitusi
Oleh: Dewi Rhoma Rizky Purba
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan benteng terakhir penjaga konstitusi dan demokrasi di Indonesia. Wewenangnya yang sangat strategis diatur dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seperti menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antar-lembaga negara, hingga menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.
Kewenangan sebesar itu menuntut agar Mahkamah Konstitusi dijalankan oleh hakim-hakim yang tidak hanya mumpuni secara hukum, tetapi juga memiliki integritas, imparsialitas dan moralitas tinggi. Namun, dalam praktik, proses rekrutmen hakim MK kerap dikritik karena terlalu politis, minim transparansi, dan longgar dalam aspek etika. Di sinilah urgensi etika konstitusi menjadi sangat relevan.
Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan
MK dibentuk melalui amandemen ketiga UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam:
- Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
- Jo. Undang-Undang No. 7 Tahun 2020
Sesuai Pasal 24C ayat (3) UUD 1945:
“Mahkamah Konstitusi terdiri atas sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden.”
Namun, tidak ada ketentuan eksplisit terkait mekanisme uji kelayakan yang terbuka, penilaian etika yang ketat, atau partisipasi publik dalam seleksi. Akibatnya, proses ini rentan terhadap konflik kepentingan dan intervensi politik.
Etika Konstitusi sebagai Landasan Moral Negara Hukum
Etika konstitusi adalah prinsip-prinsip moral yang menjadi landasan pelaksanaan kekuasaan berdasarkan nilai-nilai konstitusi. Nilai ini mencakup:
- Kejujuran dalam pengambilan keputusan publik
- Independensi dalam pelaksanaan kekuasaan yudisial
- Kepatutan dan keadilan dalam penggunaan wewenang publik
Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Etika Konstitusi (2020):
“Etika konstitusi merupakan
landasan normatif agar lembaga
tinggi negara tidak sekadar sah
secara hukum, tetapi juga legitim
dan bermoral secara publik.”
Etika ini berpijak pada semangat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, seperti kedaulatan rakyat, keadilan sosial, serta prinsip checks and balances antara lembaga negara.
Oleh karena itu, rekrutmen hakim MK harus dilakukan secara:
- Transparan dan dapat diakses publik
- Berbasis meritokrasi dan rekam jejak
- Bebas dari intervensi politik
Krisis Etika dalam Rekrutmen Hakim MK
Beberapa peristiwa menjadi cermin nyata lemahnya standar etika dalam proses rekrutmen hakim MK:
1. Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023
Putusan ini mengubah syarat usia minimum capres-cawapres dengan membuka celah bagi kepala daerah di bawah 40 tahun untuk maju. Keputusan ini menjadi kontroversial karena salah satu hakim, Anwar Usman, merupakan paman dari calon cawapres Gibran Rakabuming Raka. Meskipun sah secara formal, publik menilai adanya konflik kepentingan dan pelanggaran etik.
2. Minimnya Partisipasi dan Transparansi
Proses seleksi calon hakim MK oleh Presiden dan DPR tidak melibatkan uji publik atau pelibatan masyarakat sipil. Hal ini membuat publik kehilangan akses untuk mengawasi dan memberikan masukan terhadap calon yang akan mengawal konstitusi.
Dampak dari lemahnya etika ini sangat serius, yaitu turunnya kepercayaan publik terhadap independensi MK dan melemahnya legitimasi institusi yang seharusnya menjadi wasit demokrasi.
Rekomendasi Perbaikan Rekrutmen Hakim MK
Agar proses rekrutmen mencerminkan nilai-nilai etika konstitusi, maka perlu dilakukan langkah-langkah konkret:
1. Revisi Undang-Undang MK
Perlu ada perubahan yang mengatur mekanisme seleksi terbuka, uji kelayakan yang transparan, dan uji publik terhadap semua calon hakim.
2. Pembentukan Komite Etik Independen
Komite ini terdiri dari unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan perwakilan yudisial yang bertugas menilai integritas dan independensi calon hakim.
3. Keterlibatan Masyarakat Sipil dan Akademisi
Seperti dalam seleksi Komisioner KPK, pelibatan masyarakat akan memperkuat legitimasi dan akuntabilitas proses seleksi.
4. Publikasi Rekam Jejak dan Penilaian
Setiap calon harus membuka rekam jejak dan hasil penilaian objektif agar publik dapat menilai secara kritis.
Penutup
Rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi bukan sekadar proses administratif, tetapi merupakan penentuan siapa yang layak menjaga roh konstitusi dan fondasi demokrasi bangsa. Tanpa standar etik yang tinggi, MK akan kehilangan fungsinya sebagai lembaga yudisial yang merdeka dan adil.
Kepercayaan publik terhadap
Mahkamah Konstitusi tidak
cukup dibangun melalui putusan,
tetapi dimulai dari proses
rekrutmennya.
Penguatan etika konstitusi dalam
seleksi hakim adalah
keniscayaan, bukan sekadar
wacana. Hanya dengan begitu,
masa depan demokrasi
Indonesia dapat dijaga dengan
lebih kokoh.
Referensi
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24C
- Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 7 Tahun 2020
- Jimly Asshiddiqie, Etika Konstitusi: Perspektif Moral dalam Penyelenggaraan Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2020
- Wahyudi Djafar, “Etika Konstitusi dan Perluasan Ruang Partisipasi Publik”, Jurnal Konstitusi, Vol. 19 No. 2, 2022
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023