Di tengah derasnya era digital, layar telah menjadi guru baru bagi generasi muda. Anak-anak dan remaja Indonesia lebih banyak menghabiskan waktu di depan gawai daripada di ruang kelas. Namun pertanyaannya: apakah layar tersebut mendidik atau hanya menghibur?
Sebagian besar isi media saat ini hanya menampilkan sensasi, kekerasan, atau romansa dangkal. Maka dari itu, kehadiran film-film yang sarat nilai — seperti Tjoet Nja’ Dhien (1988) — menjadi penting untuk diangkat kembali ke ruang publik. Film ini bukan sekadar dokumentasi sejarah atau kisah heroik, tetapi juga sumber nilai pendidikan Islam yang dapat membentuk karakter generasi muda.
Film Tjoet Nja’ Dhien mengisahkan perjuangan tokoh perempuan Aceh dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Namun di balik narasi sejarah tersebut, film ini juga menggambarkan sosok Cut Nyak Dhien sebagai representasi perempuan muslimah sejati: pemimpin yang religius, berani, ikhlas, dan penuh kasih.
Nilai-nilai pendidikan Islam — seperti keimanan, keikhlasan, kesabaran, keberanian, dan kepemimpinan spiritual — tidak hanya menjadi hiasan cerita, tapi menjadi napas utama dalam setiap adegan. Cut Nyak Dhien digambarkan bukan hanya sebagai pejuang fisik, tetapi sebagai teladan moral dan spiritual bagi bangsanya.
Misalnya, dalam adegan di mana ia tetap tenang saat kehilangan suami dan anak, kita melihat simbol dari sabr dan tawakal. Dalam kepemimpinannya, ia tidak hanya mengandalkan kekuatan senjata, tapi juga kekuatan iman. Inilah wujud pendidikan Islam yang sejati: membentuk manusia seutuhnya — jasmani, akal, dan ruhani.
Selama ini pendidikan Islam sering kali terjebak pada pendekatan kognitif: hafalan ayat, definisi fiqh, dan penilaian akhlak di atas kertas. Padahal pendidikan Islam, menurut Syed Naquib Al-Attas, haruslah menyentuh sisi adab, spiritualitas, dan pengalaman hidup.
Film seperti Tjoet Nja’ Dhien mampu mengisi ruang kosong itu. Lewat visualisasi yang kuat, ia mengajarkan adab dan nilai Islam secara emosional dan kontekstual. Generasi muda tidak hanya “mengerti”, tapi bisa “merasakan” dan “menghayati” nilai-nilai seperti keberanian dalam membela yang benar, kesabaran dalam musibah, dan keikhlasan dalam perjuangan.
Representasi nilai dalam film juga bisa menjadi jembatan antara generasi. Generasi tua yang hidup dalam sejarah bisa menyampaikan pesan moral kepada generasi digital melalui medium yang mereka pahami: layar.
Salah satu kontribusi besar film ini adalah bagaimana ia menampilkan perempuan muslim dalam posisi kepemimpinan — hal yang sering kali masih menjadi perdebatan dalam wacana keislaman. Tokoh Cut Nyak Dhien tidak hanya memimpin secara taktis, tetapi juga membimbing secara spiritual. Ia mengorganisasi perlawanan, menyemangati pasukan, dan tetap menjaga syariat dalam kondisi sulit.
Film ini membantah stereotip bahwa perempuan muslim adalah sosok pasif atau tertindas. Ia justru menjadi tokoh sentral dalam sejarah dan agama sekaligus. Ini memberikan contoh positif kepada generasi muda perempuan bahwa menjadi religius tidak berarti menyingkir dari dunia, tapi justru menjadi penerang di tengah gelapnya zaman.
Dalam teori representasi Stuart Hall, media tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga memproduksi makna. Artinya, film bisa menjadi arena ideologis: memperkuat nilai atau justru mendistorsinya. Di sinilah pentingnya pendekatan kritis dalam menonton film.
Sebagaimana media bisa menanamkan budaya konsumtif dan hedonisme, ia juga bisa menjadi kanal pembentukan karakter — jika dikelola dengan tepat. Maka perlu adanya sinergi antara dunia pendidikan, media, dan pemerintah dalam mendorong produksi dan pemanfaatan film-film yang mengandung nilai positif, terutama nilai Islam.
Sayangnya, ruang ini masih jarang digarap secara serius. Banyak guru agama atau pendidik yang belum melihat film sebagai alat bantu pembelajaran yang sah. Padahal, ketika dilakukan dengan pendekatan yang tepat, film bisa menjadi madrasah visual yang sangat efektif.
Penelitian saya terhadap film Tjoet Nja’ Dhien menggunakan pendekatan hermeneutika dan kritik ideologi. Hermeneutika filosofis dari Hans-Georg Gadamer membantu menafsirkan makna simbolis dan spiritual dalam film secara kontekstual. Sementara mazhab Frankfurt mengajak kita berpikir kritis terhadap muatan ideologis media.
Pendekatan ini menekankan pentingnya keterpaduan antara ilmu agama, filsafat, dan kajian budaya. Kita tidak bisa memahami film hanya dari segi teknis sinematografi, tetapi harus juga membongkar nilai-nilai dan makna tersembunyi di dalamnya.
Inilah yang disebut pendekatan interdisipliner — dan ini sangat diperlukan dalam pengembangan pendidikan Islam masa kini.
Kita sedang hidup di zaman di mana pendidikan tidak bisa hanya mengandalkan buku dan ceramah. Anak-anak muda belajar dari apa yang mereka lihat, dengar, dan alami. Maka tugas kita sebagai pendidik, akademisi, dan masyarakat muslim adalah memanfaatkan media sebagai ruang baru untuk menanamkan nilai.
Tjoet Nja’ Dhien memberi kita contoh bahwa film bisa lebih dari sekadar hiburan. Ia bisa menjadi ruang tafsir nilai, refleksi sejarah, dan wahana spiritual yang membentuk karakter bangsa. Maka sudah saatnya kita mendukung dan mengembangkan lebih banyak film yang bermuatan nilai Islam — bukan dengan cara menggurui, tapi dengan menggugah.
Karena sejatinya, pendidikan Islam bukan hanya tentang pengetahuan, tapi tentang pembentukan jiwa. Dan dalam hal itu, sinema bisa menjadi madrasah yang sangat menjanjikan.
Oleh: Ditta Kharima Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe