Jakarta — Sengketa tanah adat yang sering berakhir tidak adil meskipun memiliki bukti segel turun-temurun menjadi sorotan dalam kegiatan Ujian Akhir Semester (UAS) mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam (SPI) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada Jumat (1/08/25).
Kegiatan UAS yang awalnya dirancang sebagai evaluasi mata kuliah Kearsipan ini berkembang menjadi forum diskusi kritis. Sebanyak 30 mahasiswa yang hadir bersama dua dosen pengampu, Bapak Fuadul Umam, M.Hum. dan Bapak Alanuari, M.A. tidak hanya mendengarkan pemaparan narasumber ANRI, Anwar dan Azwar, tetapi juga aktif bertanya seputar peran arsip dalam kasus hukum.
Diskusi memanas ketika salah satu mahasiswa mengangkat pertanyaan terkait realitas di lapangan, “Mengapa dalam sengketa tanah yang secara adat merupakan tanah petuanan dan telah didukung bukti segel turun-temurun, keputusan akhir justru tidak berpihak meskipun lawan tidak memiliki segel tetapi memiliki massa yang lebih banyak, serta faktor-faktor apa saja yang sebenarnya mempengaruhi putusan peradilan dalam kasus tanah seperti ini?”
Pertanyaan tersebut langsung menyoroti masalah klasik hukum agraria Indonesia, di mana hak adat sering kali lemah ketika berhadapan dengan sistem hukum formal. Narasumber ANRI, Anwar, memberikan penjelasan bahwa meskipun segel adat memiliki nilai historis, kekuatannya di mata hukum tidak sama dengan sertifikat resmi yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Segel adat bisa diakui sebagai bukti tambahan, tetapi dalam pengadilan, sertifikat hak milik tetap menjadi bukti yang paling kuat. Tanpa dokumen resmi, posisi pemilik tanah adat menjadi rentan,” ujarnya.
Selain faktor dokumen, Anwar juga mengungkapkan adanya aspek lain yang mempengaruhi putusan pengadilan. Menurutnya, hakim mempertimbangkan riwayat penguasaan tanah, bukti pembayaran pajak, kesaksian saksi, hingga kondisi sosial di lokasi sengketa. “Secara teori massa tidak mempengaruhi keputusan hukum, tetapi dalam praktik, tekanan sosial bisa memengaruhi dinamika proses peradilan,” tambahnya.
Dosen pengampu, Bapak Alanuari, menilai pertanyaan mahasiswa tersebut sangat tepat karena menghubungkan teori kearsipan dengan kenyataan hukum di masyarakat. “Mahasiswa perlu memahami bahwa arsip bukan hanya catatan mati, tetapi dokumen hidup yang bisa menentukan kemenangan atau kekalahan dalam sengketa,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa tanpa pengelolaan arsip yang baik, hak adat sering terabaikan.
Sementara itu, Bapak Fuad menambahkan bahwa kegiatan UAS di ANRI dirancang bukan sekadar penilaian, tetapi juga upaya membangun kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya arsip sebagai instrumen hukum. “Mereka belajar bahwa sejarawan tidak hanya menulis sejarah, tetapi juga menjaga dokumen agar bisa digunakan untuk memperjuangkan hak masyarakat,” katanya.
Kegiatan ini semakin memperkaya wawasan mahasiswa SPI UNUSIA tentang hubungan antara arsip, sejarah, dan keadilan. Mereka menyadari bahwa sengketa tanah bukan hanya persoalan dokumen, tetapi juga persoalan bagaimana negara mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Seusai kegiatan, beberapa mahasiswa menyampaikan refleksinya bahwa kasus tanah adat yang sering dimenangkan oleh pihak tanpa dokumen kuat adalah cerminan lemahnya sistem hukum yang tidak sepenuhnya melindungi hak tradisional. Mereka pun menegaskan pentingnya advokasi hukum, sertifikasi tanah, dan pelestarian arsip sebagai langkah konkret memperkuat posisi masyarakat adat di pengadilan.
Diskusi dalam UAS ini akhirnya tidak hanya menambah pengetahuan akademik, tetapi juga memantik kesadaran kritis mahasiswa tentang peran arsip dalam memperjuangkan keadilan. Di tengah era digital dan modernisasi hukum, mahasiswa SPI UNUSIA pulang dengan pesan penting: arsip adalah senjata, bukan hanya catatan. Dengan pemahaman ini, mereka siap menjadi generasi sejarawan yang bukan hanya mencatat masa lalu, tetapi juga membela hak-hak masyarakat di masa depan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”