Apa yang terjadi jika teknologi yang dulu dianggap dingin dan tidak berperasaan, kini menjadi tempat untuk berbagi rasa? Ini adalah fenomena yang terjadi pada Gen Z sejak munculnya Artificial Intellegence (AI). Gen Z tumbuh dalam dunia yang bergerak cepat, namun ruang untuk merasa didengarkan masih terbatas. Tanpa disadari, AI tidak hanya hadir untuk menjawab, tapi juga untuk mendengar.
Survei Snapcart (April 2025) mencatat bahwa 50% pengguna AI adalah Gen Z. AI yang memberi jawaban instan mengubah cara mereka mencari informasi dan menyelesaikan tugas. Contohnya, membuat esai yang dulu butuh waktu berjam-jam kini bisa selesai dalam hitungan detik hanya dengan mengetik prompt sederhana. Ini bukan sekadar soal efisiensi—tapi mencerminkan betapa teknologi telah menyatu dalam cara mereka berpikir dan bekerja.
Tekanan Mental dibalik Kemudahan Era Digital
Namun, kemudahan ini datang bersamaan dengan tekanan mental yang besar. Data Kemenkes RI (2023) menunjukkan hampir 1 dari 3 remaja menghadapi masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan PTSD. Secara global, laporan UNICEF (2021) menyebut bahwa 1 dari 5 anak muda mengalami gangguan kecemasan atau depresi ringan hingga sedang. Dalam dunia kompetitif dan penuh ekspektasi, banyak dari mereka merasa kesepian, takut dihakimi, atau tidak punya tempat aman untuk bercerita.
Kepraktisan AI dan AI Sebagai Tempat Curhat
Penelitian yang diterbitkan dalam Calathu: Jurnal Ilmu Komunikasi (2025) menjelaskan bahwa kemampuan AI untuk merespons seperti manusia didukung oleh teknologi Natural Language Processing (NLP). Dengan NLP, AI dapat memahami konteks percakapan, mengenali emosi, dan memberikan respons yang relevan serta personal. Karena itu, interaksi dengan AI terasa alami dan nyaman, bahkan dalam percakapan yang bersifat emosional.
Didukung oleh kelebihan tersebut, AI mulai dimanfaatkan sebagai teman curhat oleh Gen Z—bukan hanya untuk menyelesaikan tugas. Berdasarkan survei Snapcart, sekitar 6% Gen Z Indonesia menyebut mereka menggunakan AI sebagai tempat berbicara dan berbagi perasaan. Meski terlihat kecil, angka ini menandakan perubahan signifikan dalam cara mereka menjalin relasi—bahkan dengan teknologi. AI menjadi alternatif yang aman untuk mengungkapkan pikiran dan emosi, terutama dalam konflik personal atau tekanan lingkungan keluarga
Kata Profesional: AI sebagai Alat Bantu, Bukan Pengganti
AI bisa menjadi wadah pelaporan emosional yang membantu terutama bagi mereka yang kesulitan mengakses layanan profesional (Anbar, 2022). Namun, studi di Journal of Computer‑Mediated Communication (2021) menegaskan bahwa AI paling efektif bila digunakan sebagai alat bantu dalam interaksi manusia, bukan menggantikan dukungan manusia sepenuhnya. Dilansir dari Psychiatry Online pada 30 Juni 2024, para ahli dari American Psychological Association (APA) juga menekankan bahwa AI perlu diintegrasikan dengan hati-hati ke dalam praktek terapi. Para terapis seperti psikolog, psikiater, dan konselor perlu mempertimbangkan hal-hal seperti privasi, bias algoritma, dan akurasi data.
Para ahli APA memperingatkan bahwa penggunaan AI sebagai satu-satunya tempat mencurahkan perasaan berisiko memperkuat delusi pada penyintas skizofrenia, dapat mengukuhkan pemikiran dan perilaku berbahaya, bahkan memicu isolasi dari lingkungan sosial. AI didesain agar menyenangkan dan patuh, bukan menantang perspektif alternatif yang justru dibutuhkan saat seseorang berada dalam kondisi mental yang rapuh.
AI menawarkan kemudahan dan akses emosional yang relevan bagi Gen Z, terutama ketika menghadapi tekanan mental dan sulit menjangkau bantuan profesional. Namun, AI sebaiknya digunakan sebagai pelengkap, bukan pengganti peran manusia dalam mendampingi proses psikologis. Untuk itu, penting memastikan pengguna memahami batas kemampuan AI, menggunakannya hanya untuk refleksi awal atau edukasi ringan, serta tetap diarahkan untuk mencari bantuan profesional ketika dibutuhkan. Di sisi lain, pengembangan AI juga harus mengikuti standar etika dan klinis yang jelas agar interaksi tetap aman dan bermanfaat secara psikologis.
Penulis: Shannon Chrestella Valencia
Sumber gambar: canva.com