Di tengah laju pembangunan transportasi Indonesia yang kian progresif, kereta api telah menjadi simbol efisiensi dan konektivitas. Dari Jakarta ke Bandung, hingga dari Bogor ke Bekasi, rel-rel besi menghubungkan aktivitas, harapan, dan roda ekonomi.
Namun di luar Pulau Jawa khususnya di Sumatera cerita yang sama belum sepenuhnya terjadi. Selama satu dekade terakhir, pembangunan infrastruktur perkeretaapian Indonesia lebih banyak difokuskan di Pulau Jawa. Proyek-proyek ambisius seperti Kereta Cepat Jakarta–Bandung, LRT Jabodebek, dan perluasan jaringan KRL menggambarkan bagaimana pemerintah membenahi wajah transportasi di pulau terpadat itu.
Sementara itu, Sumatera yang merupakan salah satu pulau besar yang menyimpan kekayaan sumber daya alam dan potensi ekonomi luar biasa, masih bergelut dengan konektivitas yang minim. Jalur-jalur kereta yang ada tersebar secara terpisah, dan sebagian besar hanya difungsikan untuk angkutan barang seperti batubara. Jika kita melihat lebih dekat, jaringan kereta api di Sumatera berjalan sendiri-sendiri tanpa sistem yang menyatu:
1. Di Sumatera Utara, jalur Medan–Rantau Prapat hingga ke Belawan melayani penumpang dan logistik.
2. Di Aceh, hanya ada satu jalur pendek sepanjang 11 km.
3. Sumatera Barat mengandalkan jalur Padang–Naras dan rute industri seperti Bukit Putus–Indarung.
4. Sumatera Selatan hingga Lampung menjadi kawasan teraktif dengan jalur Palembang–Tanjungkarang serta rute batubara Tanjung Enim–Tarahan (KA Babaranjang).
5. Riau, Jambi, dan Bengkulu masih berada dalam tahap rencana, bahkan sebagian jalur mati sejak zaman kolonial.
Menurut data BPS, sebelum pandemi lebih dari 186 juta orang menggunakan kereta api per tahun yang mayoritas berada di Jawa. Sumatera, meski luas dan berpenduduk besar, belum memiliki sistem transportasi publik berbasis rel yang cukup andal untuk menghubungkan wilayahnya. Padahal, ketersediaan kereta api tak hanya mempercepat perjalanan, tapi juga menggerakkan ekonomi lokal, menurunkan biaya logistik, dan membuka akses pendidikan serta layanan kesehatan di berbagai daerah.
Kementerian Perhubungan bersama PT KAI mulai melakukan sejumlah langkah lewat implementasi Gapeka 2025. Ada peningkatan kecepatan, penambahan frekuensi, pembangunan jalur dan stasiun baru, serta pengiriman armada kereta ke Sumatera. Namun, upaya ini masih bersifat titik demi titik belum menyentuh esensi utama: konektivitas regional yang menyeluruh dan terintegrasi. Modernisasi tidak hanya soal kereta baru, tapi juga menyatukan seluruh jalur yang terfragmentasi agar bisa melayani rakyat lebih luas. Penyesuaian layanan penumpang pun perlu didisain sesuai kebutuhan lokal, bukan hanya meniru standar Jawa.
Jika Indonesia ingin benar-benar terhubung dari barat ke timur, dari Sabang sampai Merauke, maka Sumatera tak bisa lagi dikesampingkan dari peta besar pembangunan rel nasional. Transportasi berbasis rel yang andal bukan sekadar pilihan modern, melainkan kebutuhan mendesak bagi masyarakat di luar Jawa. Dengan konektivitas yang merata, bukan hanya logistik yang bergerak lebih efisien, tapi juga harapan, peluang, dan kemajuan.
Cantika Dara Izatti & Reva Oktavia, mahasiswi Politeknik Keselamatan Transportasi Jalan Tegal, Program Studi Rekayasa Sistem Transportasi Jalan