“Mood hari ini hancur banget.”
“Lagi berantem sama pacar, capek banget.”
“Aku merasa tidak dihargai di kantor.”
Unggahan seperti ini sudah menjadi pemandangan biasa di media sosial. Di era digital, banyak orang dengan mudah membagikan sisi pribadi secara terbuka. Namun pertanyaannya: apakah semua hal memang perlu dibagikan ke publik?
Fenomena ini dikenal sebagai oversharing, yaitu perilaku membagikan informasi pribadi secara berlebihan, terutama di platform daring. Pada titik tertentu, oversharing bukan lagi tentang keterbukaan, tetapi bisa menjadi bentuk pencarian validasi, pelampiasan emosi, atau bahkan kebiasaan yang tidak disadari.
Ketika Curhat Menjadi Konsumsi Publik
Menurut Gemilang Sehat (2024), oversharing sering dilakukan karena seseorang merasa mendapat dukungan, perhatian, atau sekadar pelampiasan dari audiens digital. Namun, tanpa sadar, curhat publik bisa membuka celah terhadap kerentanan pribadi, memperbesar kecemasan sosial, atau bahkan memperburuk kondisi psikologis ketika tidak mendapat respons yang diharapkan.
Fenomena ini banyak terjadi di kalangan Gen Z yang lahir dalam era serba terbuka. Radar Tulungagung (2024) menyoroti bahwa generasi ini cenderung menjadikan media sosial sebagai ‘diary digital’, tempat mencurahkan semua isi hati tanpa filter. Namun, ketika semua hal dijadikan konten, batas antara ruang privat dan publik menjadi kabur.
Bahaya Oversharing: Bukan Sekadar Malu, Tapi Juga Risiko Nyata
Mengutip CSIRT Teknokrat (2024), bahaya oversharing tidak hanya soal reputasi, tapi juga ancaman keamanan digital. Informasi seperti lokasi, hubungan, konflik keluarga, hingga data pribadi bisa disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Apa yang awalnya hanya curhatan bisa berubah menjadi alat manipulasi atau ancaman di kemudian hari.
Selain itu, oversharing dapat menciptakan lingkaran emosional yang tidak sehat. Ketika seseorang terbiasa menggantungkan ketenangan pada respons orang lain—likes, komentar, validasi digital—maka rasa aman menjadi rapuh dan mudah goyah.
Seberapa Jauh Batasan yang Sehat?
Bukan berarti semua bentuk berbagi itu salah. Media sosial bisa menjadi ruang berbagi pengalaman, edukasi, atau dukungan emosional. Namun penting untuk memiliki kesadaran dan kontrol atas apa yang kita bagikan. Tidak semua masalah harus dibuka ke publik. Ada hal-hal yang lebih baik diselesaikan secara pribadi, dalam lingkaran yang aman dan penuh empati langsung.
Membagikan sesuatu bukan hanya soal apa yang ingin dikatakan, tapi juga soal konsekuensi dari setiap kalimat yang tertulis. Karena ketika semuanya jadi konten, kita bisa kehilangan koneksi yang sejati—dan menggantinya dengan perhatian semu yang cepat hilang.
Kesimpulan
Di era digital, berbagi menjadi sangat mudah, namun justru di sanalah tantangannya. Apakah kita benar-benar ingin didengar, atau hanya ingin diperhatikan? Apakah kita ingin membangun koneksi, atau sekadar mengisi kekosongan?
Oversharing mungkin terasa melegakan sesaat, tapi penting untuk mengingat bahwa tidak semua hal perlu diketahui dunia. Ada kekuatan dalam menyimpan, dan ada ketenangan dalam menjaga privasi. Karena pada akhirnya, tidak semua curhat harus jadi konten, dan tidak semua emosi harus diunggah.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com