Akhir pekan ini, media sosial penuh dengan unggahan orang-orang yang berlibur ke pantai, mendaki gunung, atau sekadar menghabiskan waktu di café estetik dengan caption: “lagi healing.” Fenomena healing dan self-care kini menjadi tren populer, terutama di kalangan anak muda. Namun, muncul pertanyaan: apakah tren ini benar-benar efektif sebagai upaya menjaga kesehatan mental, atau sekadar gaya hidup konsumtif?
Healing: Dari Terapi ke Tren Populer
Awalnya, healing merujuk pada proses pemulihan psikologis, entah melalui terapi profesional atau aktivitas reflektif seperti meditasi dan journaling. Konsep ini didasarkan pada kesadaran diri untuk merawat kesehatan mental, sejalan dengan meningkatnya perhatian terhadap isu kesehatan jiwa.
Namun, dalam perkembangannya, istilah healing meluas dan sering kali direduksi menjadi aktivitas rekreatif yang identik dengan konsumsi: traveling, belanja, atau nongkrong di tempat hits. Media sosial ikut memperkuat tren ini, menjadikan healing sebagai simbol status atau gaya hidup.
Antara Efektif dan Semu
Penelitian menunjukkan bahwa self-care yang benar dapat membantu mengurangi stres, meningkatkan fokus, dan memperkuat keseimbangan emosional. Aktivitas sederhana seperti tidur cukup, olahraga ringan, atau meluangkan waktu untuk hobi sudah termasuk bentuk healing yang sehat.
Sayangnya, tren healing saat ini sering terjebak pada pola konsumtif. Alih-alih fokus pada pemulihan diri, banyak orang justru merasa tertekan untuk mengikuti standar “healing ideal” yang ditampilkan di media sosial. Akibatnya, healing kehilangan makna aslinya dan berubah menjadi sekadar label untuk aktivitas leisure.
Self-care Sejati vs Konsumtif
Self-care sejati adalah tentang mengenali kebutuhan tubuh dan pikiran, bukan mengikuti tren. Ia bisa berarti menolak ajakan ketika lelah, menulis jurnal harian, atau sekadar memberi waktu untuk beristirahat.
Sebaliknya, self-care yang bersifat konsumtif justru bisa memperburuk kondisi, karena menciptakan ekspektasi baru yang sulit dicapai. Misalnya, merasa belum “healing” kalau tidak bepergian jauh atau menghabiskan banyak uang.
Kesimpulan
Healing dan self-care seharusnya dipahami sebagai kebutuhan, bukan sekadar tren. Keduanya bisa menjadi strategi efektif menjaga kesehatan mental bila dilakukan dengan kesadaran dan keseimbangan.
Namun, jika hanya dijalani untuk konten atau gengsi, healing bisa kehilangan esensi dan justru menambah beban baru. Pada akhirnya, self-care terbaik bukan soal seberapa mahal atau estetik aktivitasnya, tetapi seberapa tulus ia membantu kita merasa pulih, tenang, dan lebih sehat secara emosional.
Penulis: Enjelin Amanda Dewi
Sumber gambar: canva.com
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”