Hampir semua orang pernah mengalaminya, mau masak mi instan sebentar tapi lupa gara-gara sibuk main HP atau ngobrol, alhasil mi jadi terlalu lembek. Padahal awalnya kita hanya ingin mi kenyal dan pas di lidah. Fenomena ini ternyata bukan hanya sekedar “Kesalahan Dapur” melainkan ada penjelasan ilmiahnya loh.
Mi umumnya terbuat dari tepung terigu yang mengandung dua komponen penting antara lain yaitu pati (starch) dan gluten. Saat mi dimasak dalam air panas, pati akan menyerap air lalu mengembang melalui proses yang disebut gelatinisasi. Proses ini membuat mi yang awalnya kering dapat berubah menjadi lunak, sedangkan gluten sebagai jaringan protein yang berperan memberi struktur dan kekenyalan agar mi tidak langsung hancur saat direbus sebentar.
Namun, masalah muncul ketika perebusan berlangsung terlalu lama. Butiran pati yang sudah menyerap air optimal akan mulai kelebihan cairan hingga strukturnya menjadi pecah. Pada saat yang sama, gluten yang tadinya menjaga elastisitas mi melemah akibat paparan panas berlebih. Kombinasi keduanya membuat tekstur mi kehilangan kekenyalannya dan berubah menjadi lembek bahkan mudah putus.
Inilah alasan mengapa pada kemasan mi instan selalu mencantumkan petunjuk waktu memasak, seperti 3 atau 4 menit. Angka tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan hasil pengujian untuk menemukan waktu yang paling tepat agar proses gelatinisasi pati dapat berlangsung secara optimal tanpa merusak gluten. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra et al (2019) dalam jurnal “Sifat Fisik, Kimia, dan Sensori Mi Instan Yang Terbuat Dari Tepung Komposit Terigu dan Pati Modifikasi” di mana waktu pemasakan menjadi salah satu variabel yang dipengaruhi oleh komposisi tepung komposit.
hal yang menarik ialah fenomena ini juga bisa dijelaskan melalui konsep overcooking dalam ilmu pangan. Sama seperti sayuran yang kehilangan kerenyahannya ketika dimasak terlalu lama, mi juga mengalami kerusakan struktur jika terus berada di dalam air mendidih lebih lama dari yang diperlukan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian “Mi Instan Gluten Free Kaya Serat Pangan Berbasis Tepung Komposit Mocaf Dan Tepung Talas” yang mencatat bahwa waktu optimum dalam pemasakan mi instan gluten berada dalam sekitar 236-240 detik atau kurang lebih selama 4 menit dan sejalan dengan standar SNI, dan jika direbus lebih lama teksturnya menjadi kurang kenyal dan sangat lunak.
Selain itu, penelitian-penelitian lain di Indonesia ditemukan bahwa komposisi bahan juga sangat berpengaruh. Misalnya dalam “Formulasi dan Karakteristik Mi Bebas Gluten Tinggi Protein Berbahan Pati Sagu Yang Disubstitusi Tepung Kacang-Kacangan” oleh Agustia et al (2016), yaitu substitusi dalam bahan juga memengaruhi tekstur akhir serta lama perebusan agar mi memperoleh kekuatan struktur yang cukup untuk menahan gelatinisasi berlebihan.
Jadi bisa dikatakan bahwa mi menjadi lembek saat direbus terlalu lama itu bukan hanya soal “terlalu lama” secara umum, melainkan itu adalah hasil interaksi kompleks antara gelatinisasi pati serta komposisi pada bahan baku. Jadi jika ingin menikmati mi yang kenyal dan nikmat, kuncinya jangan biarkan perebusan berlangsung lebih dari yang dianjurkan. Karena kelezatan sepiring mi bukan hanya soal bumbu yang digunakan, tetapi juga hasil dari interaksi ilmu pangan yang bekerja.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”