JAKARTA – Di atas kertas Peraturan Gubernur, harga gas elpiji 3 kg di Jakarta adalah Rp16.000. Namun di gang-gang sempit dan dapur-dapur warga miskin, harga itu hanyalah fiksi. Realitanya, mereka dipaksa membayar hingga Rp30.000 per tabung, harga “pasar gelap” yang mencekik leher.
Inilah potret nyata dari kelumpuhan kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Selama satu dekade, HET warisan tahun 2015 tak tersentuh, membeku menjadi aturan usang yang justru menciptakan monster. Atas nama melindungi rakyat dari inflasi, kebijakan ini secara ironis telah menyerahkan nasib mereka ke tangan para spekulan, penyelundup, dan sindikat kriminal.
Menambal Ember Bocor dengan Uang Negara
Logika pasar tidak bisa dibohongi. Saat Jakarta mematok harga Rp16.000, wilayah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sudah lama menetapkan harga Rp19.000. Perbedaan Rp3.000 ini menciptakan “sungai cuan” yang mengalir deras ke luar Ibu Kota, menyedot kuota gas bersubsidi milik warga Jakarta.
Alih-alih menyembuhkan penyakit utamanya—disparitas harga—solusi yang kerap diambil saat terjadi kelangkaan adalah menambah pasokan. Pertamina digelontorkan tugas untuk membanjiri pasar dengan kuota tambahan. Namun, ini tak lebih dari upaya menambal ember bocor dengan uang negara. Masalahnya bukan kurangnya pasokan, tetapi pasokan yang bocor. Setiap tabung tambahan yang disuntikkan tetap berisiko diselundupkan selama disparitas harga dibiarkan menganga. Hasilnya? Anggaran subsidi negara terus jebol untuk solusi sementara yang tidak pernah menyelesaikan akar masalah.
Subsidi untuk Mafia, Bukan untuk Warga
Kekosongan yang ditinggalkan oleh pasokan resmi dengan cepat diisi oleh kejahatan terorganisir. Kesenjangan harga yang ekstrem antara gas subsidi dan non-subsidi adalah lahan subur bagi sindikat “gas oplosan”.
Buktinya sudah gamblang. Penggerebekan oleh Bareskrim Polri pada Mei 2025 di Jakarta Timur dan Jakarta Utara membongkar praktik oplosan skala raksasa yang merugikan negara hingga belasan miliar rupiah. Ini adalah kejahatan yang lahir dari rahim kebijakan yang salah arah. Saat agen dan pangkalan resmi tercekik karena biaya operasional yang melonjak (UMP saja naik lebih dari 87% sejak 2015), para mafia justru berpesta pora atas subsidi negara.
Alasan Inflasi yang Terbantahkan
Pemprov DKI kerap berlindung di balik alasan klasik: menaikkan HET akan memicu inflasi dan menyakiti rakyat miskin. Namun, argumen ini rapuh. Kepala Dinas Energi sendiri, mengutip kajian Ditjen Migas, menyatakan dampak kenaikan HET terhadap inflasi akan “sangat kecil”. Mengapa? Karena warga sudah terbiasa membayar harga yang jauh lebih tinggi di warung-warung.
Menyesuaikan HET resmi ke level Rp19.000 hanya akan melegalkan harga yang sudah ada, memotong keuntungan pasar gelap, dan yang terpenting, menghentikan pendarahan kuota ke luar Jakarta. DPRD DKI Jakarta melalui Komisi B telah berulang kali meneriakkan urgensi ini, mendesak Pemprov untuk segera merevisi Pergub usang tersebut.
Pertanyaannya kini bukan lagi “kapan harga akan naik?”, tetapi “untuk siapa kebijakan harga fiktif dan solusi tambal sulam ini sebenarnya dipertahankan?”.
Saat warga miskin dipaksa membayar “harga preman” untuk kebutuhan pokok dan anggaran negara terus terkuras, kelambanan Pemprov DKI untuk bertindak bukan lagi bentuk kehati-hatian, melainkan sebuah pembiaran yang merugikan semua pihak kecuali para penjahat. Jakarta butuh pemimpin yang berani mengobati penyakitnya, bukan yang hanya sibuk mengelap lantai yang basah karena keran yang dibiarkan bocor.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”