Bumi hari ini sedang berada di titik rawan. Sampah plastik menumpuk di daratan maupun lautan, polusi udara kian sulit dikendalikan, dan perubahan iklim memperlihatkan dampak yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Our World in Data, Indonesia menempati urutan kedua di dunia sebagai penyumbang sampah plastik yang tidak terkelola atau mismanaged plastic waste terbesar setelah Tiongkok. Setiap tahunnya, Indonesia menghasilkan jutaan ton sampah plastik, di mana sebagian besar tidak dikelola dengan baik dan akhirnya bermuara ke lautan. Laporan OECD tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya sekitar sembilan persen dari limbah plastik global yang berhasil didaur ulang pada tahun 2019. Sebagian besar, yaitu sekitar 49 persen, berakhir di tempat pembuangan akhir, 19 persen dibakar, dan 22 persen lainnya dikelola dengan buruk atau bahkan dibuang sembarangan. Data ini menegaskan bahwa masalah lingkungan bukan sekadar wacana masa depan, melainkan krisis nyata yang kita hadapi sekarang.
Di tengah ancaman tersebut, pendidikan memegang peranan penting. Sekolah tidak cukup hanya mengajarkan matematika, sains, atau bahasa. Pendidikan juga harus menjadi salah satu jalan utama untuk membekali siswa dengan kemampuan yang relevan menghadapi tantangan zaman, salah satunya yaitu ecoliteracy atau literasi ekologis. Istilah ini merujuk pada kemampuan memahami keterhubungan manusia dan alam, sekaligus bertindak bijak untuk menjaga keseimbangannya. Para ahli menjelaskan bahwa ecoliteracy adalah kecakapan multidimensi, di mana siswa tidak hanya memahami prinsip dasar ekologi, tetapi juga memiliki kepekaan sosial, sikap peduli, serta kemampuan mengambil keputusan dan tindakan nyata yang ramah lingkungan.
Pemahaman ini menjadi sangat penting karena perilaku kecil dalam kehidupan sehari-hari ternyata membawa dampak besar terhadap lingkungan. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, penggunaan plastik sekali pakai, boros listrik, atau tidak peduli terhadap keberadaan pohon di sekitar rumah adalah contoh sederhana dari tindakan yang tanpa disadari memperburuk kondisi alam. Bekal ecoliteracy membuat siswa mampu melihat kaitan sebab-akibat, bahwa apa yang mereka lakukan hari ini akan menentukan kondisi lingkungan di masa depan. Di saat yang sama, ecoliteracy juga menumbuhkan sikap hemat energi, bijak dalam mengelola sampah, peduli pada keanekaragaman hayati, hingga kemampuan untuk berpikir kritis menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim.
Lebih jauh, pembekalan ecoliteracy sangat sejalan dengan agenda pembangunan berkelanjutan dunia. Sustainable Development Goals atau SDGs yang dicanangkan PBB memiliki target jelas terkait lingkungan, mulai dari konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, energi bersih, hingga penanganan perubahan iklim. Pendidikan berbasis ecoliteracy memberi siswa kesempatan untuk menjadi bagian dari solusi pencapaian SDGs tersebut. Di Indonesia sendiri, konsep ini juga selaras dengan Profil Pelajar Pancasila yang menekankan karakter gotong royong, peduli lingkungan, dan tanggung jawab sosial. Dengan kata lain, literasi ekologis adalah jembatan antara pendidikan, karakter, dan komitmen global.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana sekolah dapat menumbuhkan ecoliteracy tersebut? Jawabannya tentu melalui pembelajaran yang kontekstual, kreatif, dan menyenangkan. Guru berperan penting menghadirkan isu-isu lingkungan ke dalam kelas melalui pembelajaran tematik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, proyek berbasis lingkungan yang menuntut aksi nyata, serta pengalaman belajar langsung di luar ruang seperti kunjungan ke sungai, taman kota, atau tempat pengelolaan sampah. Siswa dapat melihat, merasakan, dan memahami dampak perilaku manusia terhadap alam secara nyata.
Pemanfaatan media digital juga menjadi strategi efektif. E-book interaktif, komik digital, maupun video pembelajaran bertema lingkungan menyajikan informasi kompleks secara sederhana, visual, dan menyenangkan. Cara ini membuat siswa lebih mudah memahami sekaligus membangkitkan empati serta kepedulian terhadap lingkungan. Strategi pembelajaran dapat diperkaya melalui metode diskusi kelompok, problem based learning, atau project based learning yang mengajak siswa aktif mencari solusi atas permasalahan lingkungan.
Pendekatan ini semakin kuat ketika diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran. Misalnya, pada pembelajaran IPAS siswa dapat mempelajari ekosistem dan dampak pencemaran, di Matematika mereka dapat mengolah data hasil survei sampah, dalam Bahasa Indonesia mereka berlatih menulis teks nonfiksi tentang lingkungan, sedangkan pada Seni Budaya siswa dapat membuat poster atau karya kreatif dari bahan daur ulang. Integrasi lintas mata pelajaran menjadikan ecoliteracy lebih kontekstual, menyeluruh, dan bermakna dalam kehidupan nyata.
Aktivitas kokurikuler pun dapat menjadi wadah penguatan ecoliteracy. Program bank sampah, gerakan menanam pohon, lomba daur ulang, hingga kegiatan Jumat bersih melatih siswa terlibat langsung dalam aksi nyata menjaga bumi. Melalui kegiatan tersebut, siswa belajar bahwa kepedulian lingkungan bukan hanya teori di kelas, tetapi juga praktik sehari-hari yang memberi manfaat bagi sekolah dan masyarakat sekitar.
Pendekatan variatif tersebut menjadikan siswa bukan hanya penonton, tetapi aktor utama dalam menjaga lingkungan. Mereka berlatih berpikir kritis, berkolaborasi mencari solusi, dan mengambil peran nyata dalam aksi penyelamatan bumi. Sekolah berfungsi bukan sekadar tempat transfer ilmu, melainkan wahana pembentukan generasi cerdas, berkarakter, dan peduli terhadap keberlanjutan bumi.
Dapat dikatakan bahwa ecoliteracy bukan sekadar tren, melainkan bekal wajib bagi siswa zaman now dalam menghadapi tantangan global. Generasi muda yang memahami pentingnya keseimbangan ekosistem akan lebih mampu menjaga bumi melalui kebiasaan sehari-hari yang sederhana namun bermakna. Pendidikan berperan penting dalam menanamkan kesadaran ini dengan cara mengintegrasikan pengetahuan, sikap peduli, serta tindakan nyata yang berorientasi pada keberlanjutan. Anak-anak diharapkan tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepekaan, kreativitas, dan kebijaksanaan dalam merawat lingkungan. Mereka bukan hanya pewaris masa depan, melainkan juga penjaga rumah besar yang kita sebut planet bumi, tempat seluruh makhluk hidup bergantung.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”