Indonesia kini berada di kondisi yang tidak dapat lagi dipandang sebelah mata. Masyarakat menjerit dalam menghadapi tekanan berat karena kenaikan harga kebutuhan pokok, melemahnya daya beli, serta kebijakan pemerintah yang seringkali dianggap kurang berpihak. Namun, para elit politik lebih memperdebatkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan masalah utama yang sedang dikeluhkan rakyatnya, bahkan cenderung menunjukkan sikap yang kurang peka terhadap kesulitan yang dialami masyarakat.
Kabijakan peningkatan tunjangan anggota DPR-RI yang dianggap berlebihan ditengah beban ekonomi masyarakat menjadi pemicu utama ketidakpuasan publik. Berdasarkan laporan, tunjangan yang diperoleh anggota DPR dapat mencapai Rp 50 juta per bulan, ditambah dengan tunjangan komunikasi, jabatan, listrik, pajak penghasilan, dan lain-lain, sehingga total penghasilan bulanan dapat mencapai sekitar Rp 230 juta. Angka tersebut tidak sesuai dengan situasi yang dialami masyarakat, menghadapi inflansi yang terus naik, kenaikan harga bahan pangan, serta kesulitan dalam memenuhi kebutuhan yang layak.
Ketidakpekaan elite politik itu pun diulas dalam tulisan Analisis Krisis Politik Indonesia 2025: Akar Masalah dan Rekomendasi Strategis untuk Elite Politik di Kowantaranews, yang menyebut bahwa salah satu akar krisis adalah gaya hidup mewah dan pernyataan merendahkan yang dikeluarkan pejabat, mengundang kecaman publik. Kebijakan yang dirumuskan secara “top-down” tetapi tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan, disertai dengan komunikasi yang cenderung tanjam, dan bersifat defensif, menyebabkan terjadinya kesenjangan pengalaman antara masyarakat dan pemerintah. Meninggalnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan, yang tewas tertabrak kendaraan aparat keamanan selama pembekuan adalah tragedi tragis yang menjadi titik balik dalam gelombang protes tersebut. Terlepas dari fakta bahwa ada berbagai versi tentang peristiwa tersebut, mulai dari dugaan terpeleset hingga tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), peristiwa ini menimbulkan kemarahan umum dan memperkuat keyakinan bahwa negara lebih cenderung merugikan daripada melindungi warganya.
Meskipun Presiden Prabowo berupaya untuk meredakan ketegangan dengan menarik kembali izin anggota dewan dan membatasi perjalanan luar negeri mereka, tindakan ini hanya bersifat simbolis dan bersifat sementara. Krisis kepercayaan masyarakat akan terus berlanjut jika tidak ada reformasi kebijakan anggaran, sistem subsidi, dan komunikasi politik yang lebih fokus pada empati.
Di sisi lain, beban rakyat semakin berat karena adanya tingkat kenaikan inflansi tahunan 2025. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan tentang perkiraan perekonomian Indonesia akan tumbuh sebesar 4,7% hingga 5,5% pada 2025, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar 4,8% hingga 5,6%. Sementara itu, berita dari beritasatu menyebutkan bahwa pada juli 2025 proporsi tabungan masyarakat Indonesia menyusut hingga rekor terendah, yang di dorong oleh lonjakan konsumsi dan beban kebutuhan pokok.
Masyarakat tentunya memerlukan respons yang sensitif, bukan sekedar retorika yang indah namun tidak mencerminkan kondisi nyata kehidupan mereka. Elit politik harus berani mengubah prioritas kebijakan di tengah krisis biaya hidup yang semakin parah. Contoh nyata dari kepedulian sosial adalah upaya untuk mengurangi biaya hidup melalui kebijakan pangan yang pro-rakyat, menjamin subsidi yang tepat sasaran, dan mencontohkan gaya hidup yang sederhana. Pada akhirnya, semua kebijakan pemerintah harus diuji dengan pertanyaan dasar berikut: Apakah masyarakat akan merasa lebih baik atau akan lebih kesulitan karena kebijakan ini?
Arus protes yang terjadi pada tahun 2025 menghasilkan pelajaran dan peringatan penting. Ruang publik akan menjadi satu-satunya cara untuk menyampaikan tuntutan yang terpinggirkan jika aspirasi masyarkat diabaikan. Tidak mungkin bagi elit politik untuk terus bersembunyi di balik jargon pembangunan sementara mereka mengabaikan suara rakyat. Kekuasaan pada dasarnya adalah amanah, serta empati terhadap kesusahan masyarakat adalah ujian utama yang menguji legitimasi kekuasaan. Tanpa kepekaan, makna kekuasaan akan hilang dan mayarakat akan mencari alternatif lain untuk memperjuangkan keadilan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”