Palembang, Siaran-berita.com โ Dunia kini sedang berpacu dalam arus digital yang luar biasa cepat. Di tengah kecepatan itu, banyak anak tumbuh bersama gawai. Mereka lebih fasih mengoperasikan ponsel pintar ketimbang membuka lembar buku. Video singkat, animasi berwarna, dan gim daring menjadi menu sehari-hari.
Namun di balik derasnya inovasi, ada kekhawatiran yang tak bisa diabaikan: apakah anak-anak kita masih mencintai membaca? Apakah mereka masih mengenal keindahan kata, makna, dan cerita yang tak tersaji dalam bentuk instan?
๐ Antara Gadget dan Buku: Mencari Titik Temu
Membaca bukan lagi satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Mesin pencari, video edukasi, dan konten interaktif hadir sebagai alternatif baru. Tapi apakah membaca masih penting? Jawabannya: ya, bahkan lebih penting dari sebelumnya.
Membaca melatih fokus, melatih logika berpikir, memperluas imajinasi, dan memperkaya kosakata. Dalam membaca, anak belajar memahami tidak hanya isi, tapi juga konteks dan nilai. Teknologi tak perlu menjadi lawan buku. Sebaliknya, ia bisa jadi kawan. Kini banyak aplikasi membaca digital yang mampu memikat anak-anak: buku cerita dengan suara, ilustrasi interaktif, hingga kuis seru setelah membaca.
Di beberapa sekolah, guru bahkan membuat program membaca digital harian. Siswa diminta membaca cerita ringan di gawai, lalu menuliskannya ulang dengan kata-kata sendiri. Hasilnya? Membaca menjadi kegiatan yang menyenangkan, bukan lagi kewajiban.
๐ Keluarga: Ladang Awal Literasi
Banyak yang lupa bahwa cinta membaca lahir bukan dari sekolah, tapi dari rumah. Ketika anak melihat ayah atau ibunya membaca buku, surat kabar, atau bahkan resep masakan dengan serius, mereka belajar bahwa membaca adalah bagian dari hidup.
Membaca sebelum tidur, membacakan cerita saat hujan turun, atau sekadar berdiskusi ringan tentang isi buku cerita โ semua itu akan membekas lebih dalam dibanding seribu perintah โayo membacaโ. Yang dibutuhkan anak bukan paksaan, tapi suasana. Suasana membaca yang hangat, menyenangkan, dan penuh kebersamaan.
๐งโ๐ซ Guru dan Sekolah: Penjaga Cahaya dalam Gelap
Di sekolah, guru adalah pelita. Ia bukan sekadar pengajar, tapi penyala semangat. Sekolah yang aktif menumbuhkan budaya baca akan terlihat dari hal-hal kecil: adanya sudut baca di tiap kelas, buku cerita anak di perpustakaan, dan penghargaan kecil untuk siswa yang rajin membaca.
Beberapa sekolah bahkan melibatkan siswa dalam kegiatan โcerita kelilingโ โ siswa membaca cerita dan membagikannya ke teman di kelas lain. Ini bukan hanya melatih percaya diri, tapi juga memperkuat kebiasaan membaca yang hidup.
๐ Literasi Digital: Membaca, Memilah, Memahami
Anak-anak kita hidup dalam dunia digital. Artinya, mereka harus bisa membaca dengan kritis. Tidak semua informasi yang mereka temukan di internet bisa diterima mentah-mentah.
Literasi hari ini bukan hanya soal bisa membaca, tapi juga bisa memilah informasi yang benar dan bermanfaat. Anak perlu dibekali kemampuan mengenali sumber terpercaya, membedakan fakta dan opini, serta bertanya โmengapaโ dan โbagaimanaโ terhadap apa yang dibaca. Maka, pelajaran membaca bukan lagi sekadar pelajaran Bahasa Indonesia, tapi keterampilan hidup yang harus dibentuk sedini mungkin.
๐ Menyalakan Kembali Pelita yang Redup
Memang, membaca hari ini bersaing dengan banyak hal: TikTok, YouTube, game online, dan trend hiburan lainnya. Tapi jangan lupa, membaca memberi sesuatu yang tak bisa diberikan oleh konten instan: kedalaman.
Kedalaman makna, pemahaman, dan pengalaman emosional yang lebih kaya. Anak yang terbiasa membaca akan tumbuh dengan imajinasi yang luas, empati yang tinggi, dan logika yang kuat. Tiga bekal utama untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Jadi, mari kita nyalakan kembali pelita itu. Mulai dari rumah. Dari kelas. Dari komunitas. Dan tentu saja โ dari kita sendiri.
Membaca bukan hanya sekadar keterampilan, melainkan sebuah budaya yang harus terus dijaga di tengah derasnya arus digital. Anak-anak memang tumbuh bersama teknologi, namun justru di situlah tantangannya: bagaimana menghadirkan keseimbangan antara kecanggihan gawai dengan kehangatan buku. Literasi tidak boleh redup, sebab ia adalah cahaya yang menuntun generasi muda untuk berpikir kritis, berempati, serta berimajinasi luas.
Peran keluarga, sekolah, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam menyalakan kembali semangat membaca. Dari teladan orang tua di rumah, program literasi kreatif di sekolah, hingga gerakan membaca di komunitas โ semuanya merupakan mata rantai yang saling menguatkan.
Pada akhirnya, mencintai membaca berarti mencintai masa depan. Karena melalui membaca, anak-anak belajar memahami dunia, menyelami makna, dan menyiapkan diri menghadapi tantangan zaman. Mari kita jaga pelita literasi agar tetap menyala, sehingga generasi penerus bangsa tidak hanya cerdas secara pengetahuan, tetapi juga bijak dalam memaknai kehidupan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.โ