Sekarang ini, media sosial sudah jadi tempat utama masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan kritik. Kita bisa lihat hampir setiap hari ada berita tentang jalan rusak, pelayanan rumah sakit, atau kasus birokrasi yang baru direspons serius setelah viral. Pola ini sering disebut Viral-Based Policy. Sepintas, hal ini tampak positif karena menunjukkan pemerintah cepat tanggap. Tapi kalau kita perhatikan lebih dalam, kebijakan semacam ini menyimpan risiko yang besar.
Menurut Antara News (2024), dilema dari kebijakan berbasis viral ada pada kualitasnya. Respons yang cepat memang memberi kesan positif, tapi karena dibuat terburu-buru, kebijakan sering tidak melalui analisis mendalam. Akibatnya, hasilnya kurang matang. Hal ini diperkuat oleh artikel di Alinea.id (2024) yang menyebut bahwa kebijakan viral bahkan bisa mengganggu stabilitas ekonomi. Banyak kebijakan jadi seperti testing the waters, sekadar coba-coba, sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat maupun dunia usaha.
Dari sisi kelembagaan, Ombudsman RI (2023) mengingatkan tentang fenomena “no viral, no justice”. Artinya, masalah yang viral langsung diatasi, sementara kasus serupa yang tidak terekspos publik sering terabaikan. Ini jelas menciptakan ketidakadilan. Selain itu, pola kebijakan berbasis viral cenderung tidak melalui kajian data yang kuat, koordinasi antarinstansi, maupun evaluasi yang sistematis. Akibatnya, solusi yang muncul hanya menambal masalah jangka pendek, tanpa menyentuh akar persoalan.
Kajian akademis juga memberi gambaran serupa. Saputra dkk (2024) dalam Dinamika Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara menjelaskan bahwa isu viral bisa mempercepat agenda kebijakan publik, tapi ada kelemahan berupa policy gap. Istilah ini menggambarkan jarak antara kebijakan yang diumumkan dengan kemampuan pelaksanaannya di lapangan. Jadi, meskipun pemerintah terlihat responsif, implementasinya sering tidak konsisten dan sulit berjalan maksimal tanpa pengawasan yang kuat.
Kalau ditarik kesimpulannya, Viral-Based Policy lebih mirip solusi instan ketimbang pondasi yang kokoh untuk tata kelola pemerintahan. Pemerintah memang harus peka terhadap aspirasi masyarakat, tapi bukan berarti seluruh arah kebijakan ditentukan oleh tren media sosial. Media sosial sebaiknya diposisikan sebagai alarm dini atau masukan awal, sementara dasar kebijakan tetap harus dibangun dari data yang valid, kajian akademis, dan perencanaan jangka panjang.
Tantangan pemerintah ke depannya adalah menjaga keseimbangan: tetap cepat tanggap, tapi juga menjaga kualitas dan konsistensi kebijakan. Dengan cara itu, pelayanan publik bisa lebih adil, merata, dan berkelanjutan, tanpa terjebak dalam siklus isu viral yang sifatnya sementara.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”