“Cerita dikit boleh, nggak?”
Kalimat sederhana itu terdengar begitu akrab di telinga kita. Entah dari teman yang tiba-tiba mengirim pesan tengah malam, atau dari seseorang yang kelihatannya kuat tapi diam-diam butuh tempat bersandar. Fenomena ini semakin sering muncul di kalangan generasi Z, mereka yang lahir di era teknologi, tumbuh dengan media sosial, dan hidup dalam arus informasi yang nyaris tak pernah berhenti. Meski generasi Z dikenal sebagai generasi yang terbuka, adaptif, dan percaya diri, nyatanya banyak di antara mereka yang justru merasa kesepian dan kelelahan secara emosional. Di balik unggahan “happy vibes only” atau tawa di tongkrongan, tersimpan perasaan cemas, stres, bahkan kehilangan arah. Di sinilah peran someone to talk menjadi sangat penting.
Bagi banyak orang, terutama anak muda, memiliki seseorang yang bisa diajak bicara bukan sekadar kebutuhan emosional, tetapi juga bentuk perawatan diri (self-care). Karena di balik setiap “aku baik-baik aja, kok,” sering kali tersimpan seribu hal yang tidak sempat diucapkan.
1. Tekanan Emosional di Era Digital
Generasi Z hidup di masa yang penuh peluang, tetapi juga sarat tekanan. Segalanya berjalan cepat, dan dunia digital menuntut mereka untuk selalu tampil sempurna. Media sosial menciptakan ruang perbandingan tanpa henti, siapa yang lebih sukses, siapa yang lebih cantik, siapa yang hidupnya “lebih bahagia”. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada tahun 2023, generasi Z tercatat sebagai kelompok yang paling rentan mengalami stres dan gangguan kecemasan dibanding generasi sebelumnya. Penyebabnya bukan hanya karena beban akademik atau pekerjaan, tetapi juga karena tekanan sosial dan ekspektasi diri yang tinggi.
Banyak remaja dan mahasiswa merasa harus selalu produktif, harus selalu punya pencapaian, dan harus selalu terlihat baik di depan publik. Akibatnya, ketika mereka gagal atau merasa tidak mampu, muncul perasaan tidak berharga, cemas, dan mudah menyerah. Di titik inilah kebutuhan untuk memiliki someone to talk terasa begitu penting. Seseorang yang bisa menerima tanpa menuntut, mendengarkan tanpa menghakimi.
2. Mengapa Gen Z Butuh Someone to Talk
Berbeda dari generasi sebelumnya, generasi Z cenderung lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka tidak malu membicarakan perasaan, bahkan menjadikan “healing” dan “mental health check” sebagai bagian dari gaya hidup. Namun kesadaran ini sering kali tidak diimbangi dengan lingkungan yang benar-benar suportif. Banyak anak muda merasa takut dianggap “lebay”, “baper”, atau “kurang bersyukur” ketika mencoba menceritakan perasaannya. Akibatnya, mereka memilih diam, menumpuk emosi, dan mencari pelarian melalui hal lain, scrolling tanpa henti, bermain game berjam-jam, atau bahkan menjauh dari orang-orang di sekitar.
Padahal, berbicara dengan seseorang yang dipercaya bisa menjadi bentuk self-healing yang sederhana namun efektif. Dalam dunia psikologi, berbagi cerita termasuk dalam mekanisme catharsis — yaitu proses melepaskan tekanan batin dengan cara mengekspresikan emosi. Dengan bercerita, seseorang memberi ruang bagi dirinya untuk bernapas kembali.
3. Manfaat dari Memiliki Someone to Talk
Memiliki tempat untuk bercerita bukan hanya tentang mencari solusi, tapi juga tentang menemukan rasa aman. Secara ilmiah, curhat atau berbicara dengan seseorang dapat menurunkan kadar hormon kortisol (hormon stres) dalam tubuh. Saat seseorang merasa didengar, otaknya melepaskan hormon oksitosin yang menimbulkan rasa tenang dan kehangatan emosional.
Beberapa manfaat yang bisa dirasakan antara lain:
- Mengurangi stres dan kecemasan. Saat bercerita, beban pikiran terasa lebih ringan. Bahkan tanpa solusi pun, didengarkan saja sudah membantu.
- Menumbuhkan rasa diterima dan dimengerti. Setiap orang ingin merasa bahwa apa yang dia rasakan valid.
- Mendapatkan empati membuat kita tidak merasa sendirian.
- Meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan sosial. Berbagi cerita melatih seseorang untuk terbuka, berani mengakui emosi, dan memahami orang lain lebih dalam.
- Mendapatkan perspektif baru. Kadang, sudut pandang orang lain bisa membantu kita menemukan solusi yang tak terpikirkan sebelumnya.
4. Siapa yang Bisa Jadi Someone to Talk?
Sering kali, orang salah kaprah dengan berpikir bahwa someone to talk haruslah sahabat dekat atau pasangan. Padahal, seseorang yang bisa menjadi pendengar baik tidak selalu yang paling dekat tapi yang paling bisa membuat kita merasa aman. Beberapa orang yang bisa menjadi someone to talk antara lain:
Teman baik, yang bisa dipercaya menjaga rahasia dan mendengarkan tanpa memotong pembicaraan.
Keluarga, jika memiliki hubungan yang terbuka dan hangat. Banyak anak muda justru merasa lega ketika akhirnya berani jujur ke orang tua.
Konselor, guru BK, atau psikolog, yang dapat memberikan dukungan profesional jika masalah terasa berat.
Komunitas online yang positif, tempat orang saling berbagi cerita tanpa saling menghakimi.
Yang terpenting bukan seberapa sering kita bersama mereka, tetapi seberapa tulus mereka hadir saat kita benar-benar butuh.
5. Bagaimana Menjadi Someone to Talk yang Baik?
Selain mencari pendengar, penting juga bagi kita untuk belajar menjadi pendengar yang baik bagi orang lain. Kadang, teman kita tidak butuh nasihat panjang, cukup telinga yang mau mendengar.
Beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan antara lain:
- Dengarkan tanpa menginterupsi.
- Jangan langsung menilai atau memberi solusi.
- Tunjukkan empati dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah.
- Jaga kerahasiaan cerita orang lain.
- Katakan hal-hal yang menenangkan, seperti “nggak apa-apa, kamu udah berusaha kok.”
Menjadi someone to talk bukan berarti harus selalu punya jawaban. Kadang, keberadaan kita saja sudah cukup membuat orang lain merasa lebih baik. Generasi Z hidup di masa yang serba cepat dan penuh tekanan tapi di balik kesibukan, mereka tetap manusia yang membutuhkan kehangatan dan tempat untuk bersandar. Someone to talk bukan sekadar seseorang yang diajak mengobrol, tapi sosok yang mampu membuat kita merasa bahwa hidup ini masih layak dijalani, bahwa perasaan kita valid, dan bahwa kita tidak sendirian.
Jadi, jangan pernah merasa malu untuk bercerita. Tidak apa-apa kalau kamu butuh didengarkan. Tidak apa-apa kalau kamu belum kuat hari ini. Karena setiap orang berhak punya tempat aman untuk berbagi. Dan siapa tahu, saat kamu berani membuka diri, kamu juga sedang menjadi someone to talk bagi orang lain yang diam-diam sedang berjuang.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”