Dalam lembaran kitab kecil berjudul Akhlakul Banin dan Akhlakul Banat, kita menemukan panduan sederhana namun dalam maknanya: bagaimana seorang pelajar seharusnya bersikap, bukan hanya kepada guru, tetapi juga kepada ilmu, teman, dan dirinya sendiri. Kitab ini, yang banyak dipelajari di madrasah dan pesantren, sesungguhnya adalah fondasi moral bagi santri bahwa belajar bukan hanya tentang menguasai pelajaran, tapi juga menata hati.
Di momentum Hari Santri Nasional ini, kita perlu menengok kembali ajaran akhlak itu di tengah arus modernitas yang sering kali menilai pesantren secara sempit. Di luar sana, masih ada pandangan yang menganggap pesantren sebagai lembaga tradisional yang tertinggal, anti perubahan, dan tidak siap menghadapi dunia digital. Padahal, pesantren justru sedang membuktikan hal sebaliknya, ia menjadi benteng moral di tengah derasnya arus globalisasi yang kerap kehilangan arah.
Dalam Akhlakul Banin, KH. Umar bin Ahmad Baradja’ mengajarkan bahwa seorang pelajar harus menghiasi dirinya dengan keikhlasan, kerendahan hati, dan rasa hormat kepada guru. Sementara dalam Akhlakul Banat, pesan moral yang sama ditujukan kepada santriwati agar menjaga kehormatan, kesederhanaan, dan tanggung jawab sosial. Kedua kitab ini menekankan bahwa akhlak adalah inti dari ilmu. Ilmu tanpa akhlak akan melahirkan kesombongan, tetapi akhlak tanpa ilmu akan kehilangan arah.
Santri sejati, dalam pandangan kitab ini, bukan hanya mereka yang rajin mengaji, tetapi juga yang mampu menundukkan egonya di hadapan kebenaran. Ia tidak mudah tergoda oleh pujian, tidak lekas marah oleh perbedaan, dan tidak menjadikan ilmu sebagai alat merendahkan orang lain. Dalam bahasa pesantren, ilmu iku kelakuan, ilmu adalah laku hidup.
Namun, tantangan bagi santri hari ini tidak lagi sama dengan zaman para masyayikh dulu. Santri kini hidup dalam dunia yang serba cepat dan terbuka. Informasi mengalir tanpa batas, dan media sosial menjadi ruang baru untuk menampilkan diri. Di tengah kondisi itu, nilai-nilai Akhlakul Banin–Banat menghadirkan penuntun moral agar santri tetap berakar sekaligus mekar.
Menjadi santri di era modern bukan berarti menolak teknologi, tetapi memastikan bahwa teknologi tidak menggerus akhlak. Gawai dan internet bisa menjadi ladang dakwah, tempat berbagi ilmu, dan ruang untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Namun, tanpa akhlak, ruang digital bisa berubah menjadi tempat pamer, saling sindir, dan menebar kebencian. Karena itu, santri masa kini perlu meneladani pesan kitab: “Jadilah orang yang bermanfaat, bukan hanya pandai.”
Dalam konteks pendidikan nasional, pesantren sering kali dinilai hanya dari sisi formalitas, apakah kurikulumnya modern, apakah santrinya siap kerja, atau apakah lulusannya bisa bersaing di dunia profesional. Padahal, nilai terbesar pesantren justru ada pada akhlak, pada kemampuan membentuk manusia yang berilmu sekaligus beradab. Ketika banyak lembaga pendidikan modern sibuk mengejar ranking, pesantren masih menjaga keseimbangan antara otak dan hati.
Refleksi Hari Santri tahun ini seharusnya menjadi pengingat bahwa tugas utama santri bukan hanya belajar kitab, tapi juga membumikan nilai-nilai akhlak di kehidupan nyata. Santri yang berilmu tapi tidak berakhlak akan kehilangan ruhnya; sebaliknya, santri yang berakhlak tapi takut berpikir juga akan kehilangan peran zaman. Maka keseimbangan menjadi kuncinya: iqra’ dan akhlaq, ilmu dan amal, nalar dan nurani.
Pesantren hari ini tidak bisa menutup mata dari perubahan. Tapi modernitas juga tidak boleh menjauhkan pesantren dari jati dirinya. Dunia boleh berubah, tapi akhlak harus tetap menjadi arah. Sebab dari akhlak itulah muncul peradaban.
Dalam kehidupan sehari-hari, akhlak santri bisa dimulai dari hal sederhana: menyapa dengan hormat, menjaga amanah, menahan diri dari ujaran kasar di media sosial, dan tidak sombong dengan ilmu yang baru dipelajari. Semua itu tampak kecil, tapi justru dari kebiasaan kecil itulah watak terbentuk. Sebagaimana pepatah pesantren: “Barang siapa memperbaiki adabnya, maka Allah akan memperbaiki ilmunya.”
Santri hari ini adalah wajah Islam masa depan. Di tangan mereka, pesantren akan terus menjadi taman ilmu dan akhlak. Maka, jika modernitas datang dengan segala tantangannya, santrilah yang mestinya menjawabnya dengan keteduhan, bukan kepanikan. Karena sejatinya, pesantren tidak pernah ketinggalan zaman, ia hanya menolak kehilangan nilai.
Oleh:
Ike Nurul Fitrotus Shoimah – Santri Alumni Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan Jawa Timur
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”