Antara Asli dan Imitasi: Eksplorasi AI, Deepfake, dan Ectype Modern
Di era digital yang kian canggih, batas antara kenyataan dan tiruan menjadi semakin kabur. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan teknologi manipulasi visual seperti deepfake telah membuka kemungkinan baru dalam menciptakan representasi digital yang begitu realistis hingga sulit dibedakan dari yang asli. Dalam konteks ini, konsep “ectypes” salinan atau tiruan yang menyerupai bentuk aslinya mendapatkan relevansi baru. Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar “apakah ini nyata?”, melainkan “apa makna keaslian dalam dunia yang dibentuk oleh algoritma?”
AI dan Revolusi Representasi
Kecerdasan buatan tidak lagi terbatas pada tugas-tugas komputasional. Teknologi seperti generative adversarial networks (GANs) telah mampu menghasilkan wajah manusia yang tidak pernah ada, menciptakan suara yang meniru tokoh publik secara akurat, hingga memproduksi karya seni dan tulisan yang sukar dibedakan dari buatan manusia.
Kemampuan AI ini telah memunculkan fenomena baru: representasi digital yang sepenuhnya sintetik namun tampak otentik. Deepfake, sebagai salah satu manifestasi paling mencolok, memungkinkan siapapun dengan pengetahuan teknis yang cukup untuk menciptakan video yang menampilkan seseorang mengatakan atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.
Deepfake: Ancaman atau Inovasi?
Deepfake kerap dikaitkan dengan ancaman terhadap keamanan informasi, privasi, dan bahkan demokrasi. Penyebaran video palsu tokoh politik sperti wajah mantan Presiden Obama yang diganti untuk menyebarkan hoaks menjelang pemilu, atau penggunaan wajah artis dalam konten tanpa persetujuan (menggunakan wajah aktris terkenal seperti Gal Gadot atau Scarlett Johansson ), adalah contoh nyata dampak negatif teknologi ini. Namun, tak dapat disangkal bahwa deepfake juga membuka potensi besar dalam bidang hiburan, edukasi, dan pelestarian budaya.
Film dan game bisa menghidupkan kembali aktor yang telah tiada, atau menciptakan tokoh-tokoh virtual yang interaktif. Museum dan lembaga pendidikan dapat menggunakan deepfake untuk “menghidupkan” tokoh sejarah dan menyajikan narasi yang lebih imersif. Sekarang ini sudah banyak sekali kita jumpai tokoh-tokoh bersejarah serasa seperti hidup kembali.
Ectypes: Realitas dalam Bentuk Salinan
Konsep ectypes berasal dari filsafat dan seni, merujuk pada representasi atau tiruan dari bentuk asli. Di masa kini, ectype tidak lagi sekadar patung atau lukisan, melainkan bisa berupa persona digital yang diciptakan AI dari influencer virtual hingga avatar metaverse. Namun berbeda dari masa lalu, ectypes modern sering kali tidak memiliki “asli”-nya; mereka hadir sebagai entitas otonom yang eksis sepenuhnya dalam dunia digital.
Ini menimbulkan pertanyaan filosofis: apakah kita masih membutuhkan yang “asli”? Ketika pengalaman dengan tiruan digital terasa sama atau bahkan lebih memuaskan dari pengalaman dengan manusia nyata, nilai autentisitas menjadi subyektif.
Masa Depan yang Kabur: Etika dan Identitas
Perkembangan AI dan deepfake membawa kita pada wilayah abu-abu dalam etika. Siapa yang memiliki hak atas wajah dan suara seseorang di dunia digital? Apakah kita memiliki identitas yang tetap di era di mana wajah kita bisa dimanipulasi dan disebarluaskan tanpa izin?
Kita juga perlu membahas dampak psikologis dan sosial dari hidup berdampingan dengan ectype. Jika identitas dapat direplikasi, apakah masih ada makna dalam menjadi “diri sendiri”? Dan ketika batas antara manusia dan mesin semakin menipis, apa arti menjadi manusia?
Beberapa Contoh Kasus: di Indonesia
Terdapat video deepfake yang menampilkan Prabowo memberikan pidato dalam bahasa Arab, bahasa yang sebenarnya tidak fasih diucapkannya, tujuannya untuk meningkatkan kredibilitasnya di mata pemilih Muslim. Video ini viral dan banyak diyakini sebagian orang sebelum akhirnya dibantah sebagai rekayasa AI.
Kasus aksi penipuan yang melibatkan video AI Prabowo seakan‑akan menawarkan bantuan pemerintah, yang digunakan pelaku untuk menipu korban dengan iming‑iming pencairan dana, dan pelaku telah ditangkap oleh Polri pada tahun 2025.
Anies Baswedan menjadi korban deepfake audio yang dibuat seolah‑olah Surya Paloh (ketua partai pendukungnya) sedang menegurnya, berisi dialog palsu, tujuannya untuk mendiskreditkan. Audio tersebut menyebar pada Januari 2024 lalu.
Penutup: Menghadapi Realitas yang Baru
“Antara asli dan imitasi” bukan lagi dikotomi sederhana. Kita tengah memasuki fase baru dalam sejarah budaya, di mana realitas dibentuk bukan hanya oleh pengalaman langsung, tetapi juga oleh konstruksi digital yang nyaris sempurna.
Tantangannya adalah bukan menolak teknologi ini, tetapi mengembangkan kerangka etika, hukum, dan sosial yang mampu mengatur dan menavigasi perubahan ini. Kita perlu memikirkan kembali makna keaslian, hak individu, dan bahkan konsep kebenaran dalam dunia yang semakin dikuasai oleh ectype modern.
Oleh: Deri Herjan, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Jakarta