Bangsa Yang Tak Saling Menjaga : Luka Dari Negeri Seberang
Pertama kali, waktu aku baca berita soal penyiksaan dan kekerasan yang dialami WNI berinisial DAK di Malaysia. Nggak tahu kenapa, rasanya kecewa pas lihat berita baru ini. Soalnya, pelakunya ternyata bukan orang asing, tapi justru sesama orang Indonesia itu sendiri. Aku sampai bengong waktu baca, kok bisa ya, orang satu bangsa tega berbuat segitu kejamnya? Padahal sama-sama berjuang di negeri orang, harusnya saling bantu, bukan malah menyakiti satu sama lain.
Kalau diingat kembali, hidup di luar negeri itu memang nggak mudah. Banyak perantau yang kerja keras dari pagi sampai malam, jauh dari keluarga, dan sering kali cuma bisa cerita ke teman sesama WNI. Harusnya di situ muncul rasa kebersamaan dan saling dukung. Tapi kenyataannya, kadang rasa itu justru mulai pudar. Kasus ini nunjukin kalau solidaritas antar sesama bangsa Indonesia di luar negeri ternyata masih rapuh banget. Kita sering bangga bilang Indonesia itu punya semangat gotong royong, tapi pas dihadapkan dengan situasi nyata, nggak semuanya bisa menerapkannya.
Dari berita yang aku baca juga, masalah awalnya sepele banget. Cuma persoalan pribadi kecil. Tapi reaksi pelaku kelewatan, sampai bikin orang lain menderita parah. Aku jadi mikir, kenapa sih orang bisa sampai segitunya kehilangan kendali? Apa karena tekanan hidup di luar negeri? Atau karena emosi yang udah menumpuk lama? Kadang kalau dipikir dalam-dalam, orang bisa jadi kejam bukan karena dia jahat, tapi karena dia udah lelah dan nggak punya tempat buat meluapkan perasaannya dengan cara yang sehat. Tapi tetap aja, kekerasan nggak bisa dibenarkan, dalam alasan apa pun. Aku juga jadi kepikiran soal beratnya hidup para pekerja migran. Banyak banget yang rela jauh dari anak, suami, atau orang tua cuma buat cari rezeki. Tapi di tengah perjuangan itu, masih aja ada yang harus ngalamin perlakuan nggak manusiawi. Rasanya miris banget. Hidup di negeri orang itu udah berat, tapi kalau sesama bangsa sendiri malah saling menjatuhkan, jadi dua kali lipat lebih berat. Harusnya kan kita saling jaga dan menguatkan.
Masalah kayak gini bukan cuma soal individu yang gabisa kontrol emosional nya, tapi juga soal kurangnya empati. Sekarang tuh banyak orang gampang banget tersinggung, gampang marah, tapi susah memahami orang lain. Padahal kalau kita bisa sedikit aja menahan diri dan coba ngerti perasaan orang lain, mungkin banyak konflik yang nggak perlu bisa dihindari. Empati itu kelihatannya hal kecil, tapi efeknya besar banget buat hubungan antarmanusia. Menurutku, pemerintah juga punya tanggung jawab besar. Mungkin perlu ada pembekalan mental buat para calon pekerja migran, bukan cuma soal kerja atau bahasa, tapi juga soal pengendalian emosi, komunikasi, dan cara menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Kadang orang bukan nggak tahu apa yang benar, tapi mereka nggak siap secara mental menghadapi tekanan hidup di luar negeri.
Selain itu, aku juga mikir, kedutaan Indonesia di negara lain seharusnya bisa lebih dekat sama warganya. Nggak cuma muncul pas ada kasus besar, tapi juga aktif bikin kegiatan kebersamaan atau ruang curhat buat para WNI. Kadang hal sesederhana ngobrol dan ngerasa didengar itu bisa ngurangin stres dan bikin orang nggak merasa sendirian. Di tempat asing, rasa “punya teman” itu penting banget. Kasus DAK ini juga nyadarin aku kalau kemanusiaan itu harus dijaga terus, sekecil apa pun bentuknya. Kita bisa beda sifat, beda pandangan, tapi kita masih satu akar sama-sama orang Indonesia. Kalau rasa saling jaga itu bisa tumbuh lagi, aku yakin hidup di negeri orang pun bakal terasa lebih ringan. Kadang, hal sekecil bantu teman yang kesulitan atau sekadar nyapa dengan tulus bisa bikin hari seseorang terasa lebih baik.
Buat aku pribadi, kejadian ini bisa jadi pembelajaran bagi bangsa indonesia. Aku belajar kalau marah, benci, dan dendam cuma bikin keadaan makin buruk. Hidup bakal jauh lebih damai kalau kita belajar buat ngatur emosi dan lebih banyak berempati. Aku tahu nggak gampang, tapi bukan berarti nggak bisa. Aku juga jadi lebih peka sama orang-orang di sekitarku. Kadang orang kelihatan baik-baik aja, padahal lagi berjuang keras. Jadi, penting banget buat nggak gampang nge judge dan lebih sering nanya kabar atau bantu sekadar dengerin cerita mereka. Aku juga sadar, nilai kemanusiaan nggak bisa diajarin cuma lewat teori. Harus lewat pengalaman, lewat pertemuan dengan orang-orang, dan lewat momen di mana kita diuji buat tetap sabar. Dari kasus ini, aku belajar bahwa kebaikan sekecil apa pun bisa punya dampak besar. Kebalikannya, kebencian kecil yang dibiarkan bisa tumbuh jadi hal yang menghancurkan.
Pada akhirnya, aku berharap semoga kejadian kayak gini nggak terulang lagi. Buat pemerintah, semoga bisa lebih peduli sama perlindungan dan kesejahteraan para WNI di luar negeri. Buat masyarakat, semoga kita bisa lebih sadar pentingnya menjaga rasa kemanusiaan di mana pun berada. Dan buat aku sendiri, semoga aku bisa terus belajar jadi orang yang nggak cuek, yang berani peduli, dan yang tetap punya hati meskipun dunia kadang terasa keras. Karena pada akhirnya, ukuran kemajuan bangsa bukan cuma dari ekonomi atau teknologi, tapi dari seberapa besar rasa kemanusiaan yang hidup di hati warganya. Kalau kita bisa saling jaga dan saling menghormati, aku yakin Indonesia, di mana pun warganya berada, akan selalu dikenal sebagai bangsa yang hangat, peduli, dan penuh
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”