Batas Laut Indonesia Menurut Hukum Laut Indonesia Maupun Internasional
Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (archipelagic state), di mana tiga perempat wilayahnya adalah perairan, menghadapi tantangan kedaulatan yang kompleks karena posisinya sebagai jalur maritim vital dan penyimpan kekayaan alam yang melimpah. Sejak Deklarasi Djuanda 1957 hingga pengakuan fundamental oleh UNCLOS 1982, Indonesia telah menegaskan kedaulatannya atas seluruh laut yang menghubungkan pulau-pulau sebagai Perairan Kepulauan (Silalahi, 2023). Landasan hukum ini memungkinkan zonasi maritim yang jelas, mulai dari Laut Teritorial (12 mil laut) hingga hak berdaulat di ZEE (200 mil laut) dan Landas Kontinen. Meskipun demikian, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah dalam penataan batas maritim dengan negara tetangga seperti Singapura dan Timor Leste (Sollitan, 2019).
Setelah merdeka, Indonesia awalnya menggunakan aturan warisan Belanda, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Staatsblad 1939), yang secara hukum memecah-belah wilayah daratan Indonesia dengan memisahkan teritorial laut masing-masing bagian (Dewi, 2022). Selain itu, kedaulatan ekonomi terancam oleh kejahatan transnasional, terutama pencurian ikan ilegal (illegal fishing), yang menyebabkan kerugian fantastis, diperkirakan mencapai Rp 30 triliun per tahun (Harliza & Michael, 2020). Masalah ini diperparah oleh adanya tumpang tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum di laut (Harahap, 2025), yang coba diatasi melalui penguatan peran BAKAMLA dengan prinsip Single Agency Multy Tasks (Gerungan, 2016). Oleh karena itu, untuk menjaga integritas wilayah dan kepentingan nasional, Indonesia harus menyeimbangkan diplomasi dalam penyelesaian perbatasan sesuai Hukum
Laut Internasional dengan penegakan hukum yang tegas di perairan nasional, termasuk melalui penerapan regulasi seperti UU Perikanan yang membolehkan tindakan keras seperti penenggelaman kapal (Yunitasari, 2020).
PEMBAHASAN
Perkembangan batas laut Indonesia diatur oleh dua pilar utama: Hukum LautNasional dan Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Keduanya salingmelengkapi dalam mendefinisikan dan melindungi wilayah kedaulatan serta hakberdaulat Indonesia di laut.
1. Landasan Hukum dan Zonasi Laut
Wilayah laut Indonesia dengan hak kedaulutan penuh Zona di mana negara memiliki kedaulatan mutlak atas air, ruang udara, dasar laut, dan tanah di bawahnya (Erlina, 2013). Wilayah ini terbagi menjadi tiga komponen. Pertama, Perairan Pedalaman, yang merupakan bagian dari wilayah nusantara di mana kedaulatan Indonesia mutlak dan kapal asing tidak memiliki hak untuk melintas (Risdiarto, 2019), meskipun Indonesia secara spesifik belum menetapkan batas zona ini. Kedua, Perairan Nusantara (Kepulauan), yang merupakan laut-laut di antara pulau-pulau yang dibatasi oleh garis pangkal. Di wilayah ini, kedaulatan penuh Indonesia mengakui adanya hak Lintas Damai (Innocent Passage) bagi kapal asing, serta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang ditetapkan melalui PP No. 37 Tahun 2002 untuk kepentingan pelayaran internasional. Perbedaan hak lintas ini menjadi pemisah utama dengan Perairan Pedalaman (Syam & Ekawati, 2022). Ketiga, Laut Teritorial, yaitu wilayah perairan di luar Perairan Nusantara dengan lebar maksimal 12 mil laut. Di Laut Teritorial, Indonesia juga memegang kedaulatan penuh, namun kapal asing tetap memiliki hak untuk melintas berdasarkan prinsip Lintas Damai, termasuk melalui jalur ALKI yang berkelanjutan.
Wilayah Hak Berdaulat (Yurisdiksi Khusus):
Wilayah laut Indonesia dengan Hak Berdaulat dan Kewenangan Tertentu terbagi menjadi dua zona utama, berbeda dengan wilayah kedaulatan penuh. Zonapertama adalah Zona Tambahan, yang mencakup hingga 24 mil laut dari garis pangkal. Di zona ini, Indonesia memiliki kewenangan untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan bea cukai, keuangan, karantina, dan imigrasi, meskipun penetapannya belum resmi. Zona kedua dan terpenting adalah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang lebarnya mencapai 200 mil laut dari garis pangkal. Di ZEE, Indonesia memiliki hak berdaulat penuh untuk eksplorasi, eksploitasi, dan konservasi semua sumber daya alam (perikanan, mineral, energi terbarukan). Untuk pengelolaan perikanan, Indonesia menetapkan kuota Batas Panen Lestari (MSY) dan Total Tangkapan yang Diizinkan (TAC). Jika ada kelebihan tangkapan (surplus), Indonesia dapat menawarkannya kepada negara berkembang lain dengan izin dan biaya tertentu. Tidak ada negara lain yang berhak menangkap ikan di ZEE tanpa izin resmi Indonesia.
2. Tantangan Penataan Batas Maritim
Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dan memiliki landasan hukum yang kuat, negara ini masih dihadapkan pada “pekerjaan rumah” yang signifikan dalam penyelesaian batas maritim dengan sejumlah negara tetangga. Beberapa contoh utama mencakup: perbatasan laut dengan Singapura yang belum sepenuhnya disepakati, terutama pada segmen barat dan timur Selat Singapura (Sollitan et al., 2019); kebutuhan mendesak untuk menyepakati batas laut teritorial dan ZEE dengan Timor Leste demi mencapai kepastian hukum; serta perundingan yang masih berlangsung untuk batas Landas Kontinen dengan Vietnam (di mana kesepakatan 2003 belum diratifikasi) dan batas ZEE dengan Filipina. Penyelesaian seluruh perjanjian batas maritim ini sangat krusial, tidak hanya untuk menjaga keutuhan wilayah negara, tetapi juga untuk menghindari potensi konflik di masa depan. Meskipun demikian, posisi Indonesia dalam penentuan batas ZEE memiliki landasan hukum yang kokoh. Klaim sepihak yang didasarkan pada hak historis, seperti klaim nine-dash line Cina terhadap Laut Natuna Utara, telah disimpulkan bertentangan dan tidak relevan menurut UNCLOS 1982 , yang mana Indonesia menganggap tidak memiliki sengketa wilayah apa pun terkait hal tersebut (Putra, 2014). Kepastian ini menjadi modal penting saat Indonesia berupaya menyelesaikan batas maritimnya dengan negara tetangga.
3. Problematika Penegakan Hukum (Law Enforcement)
Wilayah laut yang luas dan rawan pelanggaran memerlukan penegakan hukum yang efektif. Bentuk pelanggaran yang paling sering terjadi adalah pencurian ikan (illegal fishing), disamping penyelundupan, dan perompakan. Kejahatan di wilayah laut yang luas ini kerap bersifat lintas batas teritorial dan dikategorikan sebagai transnational crimes. Sifat lintas batas ini menuntut model penegakan hukum yang sinkron dan terkoordinasi , yang menjadi tantangan besar di tengah tumpang tindih kewenangan antarlembaga (Ardila & Putra, 2020). Kerugian negara akibat illegal fishing diperkirakan mencapai Rp 30 triliun per tahun.
Multi-Institusi dan Tumpang Tindih Kewenangan: Ada banyak lembaga yang terlibat dalam penegakan hukum di laut, seperti TNI AL, Polri(Polairud), Bakamla, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Bea Cukai (Fadillah, 2022). Keterlibatan multi-institusi ini seringkali menciptakan tumpang tindih kewenangan (overlapping) , yang dapat menyebabkan inefektivitas dan konflik antar lembaga (Asror & Puspoayu, 2023)..
Pembentukan Bakamla: Untuk mengatasi tumpang tindih ini, dibentuklah
Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Bakamla berkedudukan sebagai lembaga pemerintah non-kementerian yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bertugas melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan yurisdiksi Indonesia (Ilham, 2022).
Tindakan Tegas (Shock Therapy): Penenggelaman Kapal: Kebijakan penenggelaman kapal asing pelaku illegal fishing oleh Pemerintah Indonesia bertujuan memberikan efek jera (shock therapy) dan memutus mata rantai pemanfaatan kembali kapal ilegal. Tindakan ini didasarkan pada UU Perikanan (UU No. 45 Tahun 2009 Pasal 69 ayat 4) yang mengizinkan pemusnahan barang bukti berupa kapal perikanan asing. Dalam perspektif hukum internasional, tindakan penenggelaman kapal asing tidak bertentangan dengan UNCLOS, karena subjek yang dilindungi UNCLOS (Pasal 73 ayat 3) adalah manusia (tidak boleh dihukum badan), bukan kapalnya. Awak kapal/nelayan asing akan diadili (denda atau deportasi), sementara kapalnya dapat disita atau dimusnahkan. Klaim pelaku illegal fishing yang didasarkan pada traditional fishing ground juga tidak relevan dalam Hukum Laut Internasional. UNCLOS 1982 hanya mengatur mengenai Traditional Fishing Rights , yang mensyaratkan adanya perjanjian bilateral antarnegara pantai. Dengan tidak adanya perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara-negara yang melakukan pelanggaran tersebut, tindakan penegakan hukum Indonesia memiliki justifikasi yang kuat.
KESIMPULAN
Kedaulatan laut Indonesia berakar kuat pada Deklarasi Djuanda dan UNCLOS 1982, yang memberikan negara hak berdaulat dan kedaulatan penuhatas zonasi maritimnya. Namun, terdapat dua tantangan mendesak:
1. Penyelesaian Batas: Indonesia harus proaktif menyelesaikan seluruh perjanjian batas maritim yang tersisa dengan negara tetangga (seperti Singapura, Timor Leste, Vietnam, dan Filipina) demi mencapai kepastian hukum.
2. Penegakan Terintegrasi: Tantangan internal adalah mengatasi tumpang tindih kewenangan yang menghambat penanggulangan kejahatan maritim, terutama illegal fishing. Penguatan BAKAMLA dengan prinsip Single Agency Multy Tasks diharapkan dapat mensinergikan aparat untuk pengawasan yang optimal. Kebijakan penenggelaman kapal merupakan tindakan tegas yang legal di bawah hukum nasional dan berfungsi sebagai shock therapy penting untuk menegaskan kedaulatan dan melindungi kekayaan sumber daya laut dari ancaman transnasional.
Oleh : Junita Putri (B1A124029)
DAFTAR PUSTAKA
Ardila, R., & Putra, ak. (2020). Sengketa Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (Studi Kasus Klaim Cina Atas Laut Natuna Utara). Uti
Possidetis: Journal of International Law, 1(3), 358–377. https://online-
journal.unja.ac.id/Utipossidetis/article/view/10895
Asror, M. K., & Puspoayu, E. S. 2023. Harmonisasi Peraturan Perundang-
Undangan Terkait Kewenangan Penyidikan Oleh Lembaga Penegak
Hukum Di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.Novum: Jurnal
Hukum. 69–89.
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/novum/article/view/50616
Dewi, G. A. K. R. S. 2022. Perekonomian Indonesia. Rizmedia Pustaka Indonesia.
Erlina, E. 2013. Kedaulatan Negara Pantai (Indonesia) Terhadap Konservasi
Kelautan Dalam Wilayah Teritorial Laut (Territorial Sea) Indonesia. Al
Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 2(2), 215–222.
https://doi.org/https://doi.org/10.24252/ad.v2i2.1477Fadillah, A. M. 2022. Analisis Politik dan Hukum Pelintasan Wilayah Laut
Indonesia oleh Negara yang Tidak Meratifikasi UNCLOS 1982. Jurnal
Pendidikan, Sosial dan Humaniora. 2(4): 430-441.
http://pijarpemikiran.com/index.php/Aufklarung/article/view/316
Gerungan, L. K. F. R. 2016. Penegakan Hukum Di Wilayah Perairan Indonesia.
Lex et Societatis, IV(5), 1-13.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/11947
Harahap, M. R., Yunara, E., & Suhaidi. 2025. Analisis Yuridis Kewenangan
Penyidikan TNI Angkatan Laut Terhadap Tindak Pidana Pembajakan
Kapal Di Wilayah Laut Teritorial. Journal of Science and Social Research,
VIII(3), 4866-4872.
https://jurnal.goretanpena.com/index.php/JSSR/article/view/4230
Harliza, E. R., & Michael, T. 2020. Penegakan Hukum Illegal Fishing. Mimbar
Keadilan, 13(1), 120-130. https://core.ac.uk/download/pdf/287221115.pdf
Ilham, M., dan Hipan, N. M. N. N. 2022. Kedudukan Badan KEamanan Laut
(BAKAMLA) Dalam Penegakkan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia.
Jurnal Yustisiabel. 6(1) : 55-69.
Putra, A. K. (2014). Harmonisasi konvensi cyber crime dalam hukum
nasional. Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Jambi.
https://www.academia.edu/download/93009444/1301.pdf
Risdiarto, D. 2019. Kedaulatan Wilayah Udara Di Atas Alur Laut Kepulauan
Indonesia (Alki). Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum
Nasional, 8(2), 277.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.33331/rechtsvinding.v8i2.318
Silalahi, D. G. R. 2023. Analisis Perkembangan Batas Laut Indonesia di Wilayah
Perairan Indonesia, Menurut Hukum Laut Indonesia maupun Hukum Laut
Internasional. Jurnal Hukum Indonesia, 2(2), 61-74.
https://jhi.rivierapublishing.id/index.php/rp/article/view/23
Sollitan, R. W., Posumah, D., & Rengkung, F. 2019. Potensi Perubahan Garis
Batas Indonesia-Singapura (Studi Kasus Reklamasi di Pulau Nipah).
POLITICO: Jurnal Ilmu Politik, 8(4).
https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/politico/article/view/30464
Syam, F. M., & Ekawati, D. 2022. Pandangan UNCLOS 1982 Terhadap
Kepentingan Militer Di ALKI. Neoclassical Legal Review: Journal of Law
and Contemporary Issues, 1(1), 34–55.
https://doi.org/10.32734/nlr.v1i1.9599Yunitasari, D. 2020. Penegakan Hukum Di Wilayah Laut Indonesia Terhadap
Kapal Asing Yang Melakukan Illegal Fishing Mengacu Pada Konvensi
United Nations Convention on Law of the Sea 1982. Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha, 8(1), 61-78.
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPP/article/view/23551
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”