Dalam hiruk-pikuk dunia pendidikan modern yang semakin terjebak pada angka, sertifikat, dan gelar akademik, kita seolah lupa bahwa pendidikan dalam Islam bukan semata transfer ilmu. Lebih dari itu, pendidikan adalah pembentukan akhlak, penanaman adab, dan penyadaran spiritual. Salah satu cermin terbaik dari model pendidikan yang sarat nilai-nilai tersebut adalah kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam Surah Al-Kahfi ayat 60–82.
Dalam kisah itu, Nabi Musa Seorang nabi ulul azmi dan manusia pilihan Allah mengakui bahwa masih ada ilmu yang belum ia miliki. Ia rela menempuh perjalanan jauh demi berguru pada seorang hamba Allah yang dikaruniai ilmu khusus: Khidir. Di sinilah pelajaran pertama: semangat mencari ilmu tak mengenal batas status sosial maupun gelar. Jika seorang nabi saja bersedia belajar dari orang lain, mengapa hari ini banyak pelajar merasa cukup hanya karena pernah “googling”?
Selama proses belajar bersama Khidir, Musa berkali-kali gagal memahami tindakan gurunya: melubangi perahu, membunuh anak kecil, memperbaiki tembok di kota pelit. Ia bertanya, protes, bahkan kecewa. Tapi kemudian Khidir menjelaskan hikmah di balik semua itu yang tidak tampak di permukaan. Inilah hakikat pendidikan sejati: tidak semua pelajaran bisa langsung dimengerti; dibutuhkan kesabaran dan hati yang lapang.
Sayangnya, pendidikan hari ini justru terjebak pada kecepatan. Murid ingin cepat lulus, cepat kerja, cepat sukses. Guru dituntut mengejar kurikulum tanpa sempat menanamkan karakter. Dalam iklim seperti ini, hilanglah ruh pendidikan yang sesungguhnya: keikhlasan, kesabaran, dan penghargaan terhadap proses.
Nilai adab terhadap guru, seperti yang ditunjukkan Nabi Musa kepada Khidir, kini mulai terkikis. Banyak siswa dengan mudah menyanggah guru tanpa etika, bahkan mempermalukan mereka di media sosial. Padahal dalam Islam, adab bahkan lebih utama daripada ilmu. Pendidikan tanpa adab hanyalah penumpukan informasi tanpa arah.
Kisah ini juga mengajarkan tentang tawadhu’, rendah hati dalam mencari ilmu. Musa tidak malu berguru kepada seseorang yang tak seterkenal dirinya. Hari ini, banyak orang enggan belajar dari guru “biasa” karena merasa lebih modern. Padahal keberkahan ilmu hadir ketika disampaikan dan diterima dengan hati yang rendah.
Sebagai mahasiswa pendidikan Islam, saya merasa bahwa kisah ini sangat relevan menjawab krisis nilai dalam dunia pendidikan saat ini. Kita butuh sistem yang bukan sekadar mencetak orang pandai, tetapi membentuk manusia yang utuh cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan dalam secara spiritual.
Oleh karena itu, mari kembali menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama dalam merancang pendidikan kita. Kisah seperti Musa dan Khidir bukan sekadar sejarah, tetapi panduan hidup. Mari mulai dari yang sederhana: menanamkan adab sejak dini, melatih kesabaran dalam belajar, dan menghargai proses.
Sebab pada akhirnya, pendidikan bukan soal apa yang kita ketahui, tapi tentang siapa kita menjadi setelah belajar.