Gerakan mahasiswa pernah menjadi nadi perubahan sosial-politik Indonesia. Setiap lembar sejarah bangsa menyisakan jejak mahasiswa yang menolak tunduk terhadap kezaliman. Mereka tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga hadir sebagai kekuatan moral yang menantang kekuasaan, menembus kebekuan sistem, dan menyuarakan kepentingan rakyat. Namun, hari ini kita dihadapkan pada pertanyaan yang mengusik nurani: ke mana gerangan arah gerakan mahasiswa sekarang, dan di mana posisi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai penggeraknya?
Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar BEM hari ini terlihat kehilangan jati diri. Ia nyaris tak terdengar saat kebijakan publik mencederai keadilan. Ia diam ketika rakyat kecil menjerit oleh ketimpangan. Bahkan, dalam momen-momen penting bangsa, BEM kerap absen dari ruang perdebatan dan pengambilan posisi. Yang tersisa seringkali hanya seremoni, lomba, dan panggung-panggung pencitraan yang jauh dari semangat transformatif.
Fenomena ini bukan sekadar akibat degradasi semangat perlawanan, tapi juga cermin dari tumpulnya kesadaran kolektif mahasiswa. Kita terlalu nyaman dalam zona aman: sibuk mengejar portofolio, memburu akreditasi, dan menikmati fasilitas kampus. Padahal di luar tembok kampus, rakyat berhadapan dengan harga pangan yang melonjak, ruang hidup yang dirampas, konflik agraria yang tak kunjung selesai, dan demokrasi yang terjerumus ke dalam sekadar prosedur elektoral tanpa partisipasi substansial.
Dalam situasi seperti ini, BEM seharusnya tidak diam. Ia harus berani membangun barisan kritis, bukan hanya reaktif terhadap isu-isu viral, tapi memiliki arah ideologis yang jelas. BEM bukanlah sekumpulan panitia acara, melainkan representasi intelektual muda yang semestinya mampu memotret realitas sosial secara tajam dan memberikan solusi. Jika BEM kehilangan fungsi tersebut, maka ia hanya menjadi struktur kosong yang tak lebih dari alat penggugur formalitas kelembagaan kampus.
Tentu bukan berarti seluruh BEM seragam dalam ketidakpedulian. Masih ada sebagian kecil yang konsisten bersuara, mengorganisir mahasiswa, dan turun ke lapangan bersama masyarakat. Namun pergerakan ini terfragmentasi—tidak terkonsolidasi secara nasional. Tidak ada solidaritas ideologis yang menyatukan gerak, tidak ada orientasi perjuangan yang menyeluruh. Inilah yang membuat gerakan mahasiswa kehilangan dampaknya di level kebijakan dan publik.
Sudah saatnya BEM melakukan refleksi diri secara kolektif. Gerakan mahasiswa harus dihidupkan kembali dengan membangun konsolidasi antar kampus, membentuk poros aliansi nasional yang berbasis nilai, bukan hanya respons instan terhadap isu. Mahasiswa harus kembali pada rakyat, mendengar denyut penderitaannya, dan menjadikan itu sebagai dasar perjuangan.
Lebih dari itu, mahasiswa tidak boleh lagi terpaku pada bentuk aksi konvensional. Dunia telah berubah: arus digital, kecerdasan buatan, disinformasi, dan manipulasi opini publik menuntut strategi baru dalam perlawanan. Kita harus hadir di ruang digital, menguasai wacana, menembus algoritma, dan membangun narasi tanding yang berakar pada fakta dan keadilan sosial.
Gerakan mahasiswa abad ini haruslah cerdas, sistematis, dan transformatif. Kita tidak cukup hanya turun ke jalan tanpa data, atau berdebat tanpa basis riset. Kita harus hadir di parlemen kampus, di ruang diskusi publik, di dapur kebijakan, bahkan di media alternatif. Kita harus belajar membangun strategi gerakan yang berkelanjutan, bukan hanya berkobar sesaat lalu padam dalam kelelahan.
Jika kita membiarkan kekosongan ini terus berlangsung, maka sejarah akan mencatat generasi ini sebagai generasi yang gagal menjaga nyala perubahan. Kita tidak sedang menghadapi krisis kepemimpinan saja, tapi krisis keberanian untuk berpihak, krisis kesadaran untuk bergerak, dan krisis orientasi dalam melihat masa depan bangsa.
Gerakan mahasiswa bukan hanya warisan, tetapi tanggung jawab. BEM bukan hanya struktur, tetapi medan perjuangan. Maka, jika kita ingin menyelamatkan masa depan demokrasi, keadilan, dan bangsa ini secara menyeluruh, tidak ada pilihan lain selain bersatu, bangkit, bergerak dan berdampak.