Ada anggapan lama yang masih dipelihara sebagian orang: kerja keras berarti harus lembur, patuh tanpa banyak tanya, dan bersedia “makan ati” demi karier.
Tapi ketika Gen Z masuk dunia kerja, nilai-nilai ini mulai dipertanyakan. Tak sedikit yang menuduh mereka “gampang resign”, “nggak setia sama perusahaan”, atau bahkan “generasi fragile”. Namun benarkah begitu?
Gen Z bukan malas. Mereka hanya nggak mau hidupnya habis untuk hal yang nggak bermakna. Mereka tumbuh di era di mana informasi tentang kesehatan mental, hak pekerja, dan pentingnya work-life balance bisa diakses dengan satu klik.
Jadi wajar kalau mereka lebih berani berkata “cukup” ketika merasa tidak dihargai atau burnout.
Survei dari Deloitte tahun 2023 menunjukkan bahwa salah satu kekhawatiran terbesar Gen Z adalah soal kesehatan mental dan stabilitas hidup, bukan cuma gaji tinggi atau jabatan.
Mereka ingin pekerjaan yang selaras dengan nilai hidup, bukan sekadar tempat cari uang. Bagi mereka, kerja itu penting, tapi bukan satu-satunya tujuan hidup.
Fenomena “quiet quitting”—di mana pekerja hanya menjalankan tugas sesuai kontrak tanpa memberikan lebih—sering diasosiasikan dengan Gen Z.
Tapi jika dilihat lebih dalam, itu adalah bentuk perlawanan halus terhadap budaya kerja yang menuntut totalitas tanpa imbal balik setimpal. Mereka memilih untuk menetapkan batas, sesuatu yang dulu dianggap “tidak profesional”.
Yang menarik, meski sering dikritik sebagai generasi yang “baperan”, Gen Z juga dikenal adaptif, kreatif, dan berani mencoba hal baru. Banyak dari mereka yang memilih jalur freelance, bisnis digital, atau bahkan menciptakan lapangan kerja sendiri. Bukan karena takut komitmen, tapi karena mereka tahu betul nilai waktu dan kesehatan mental.
Daripada menyebut mereka tidak loyal, mungkin kita perlu bertanya ulang: apakah sistem kerja kita sudah cukup manusiawi? Apakah perusahaan hanya menuntut loyalitas tapi tidak memberi kejelasan karier, rasa aman, dan ruang untuk berkembang?
Gen Z tidak menolak kerja keras, tapi mereka ingin kerja yang bermakna.
Mereka bukan anti komitmen, mereka hanya lebih realistis: kalau nggak ada perkembangan, kenapa harus bertahan? Dan itu bukan sikap manja—itu bentuk keberanian untuk memperjuangkan hidup yang seimbang dan sehat.
Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan generasi, dan mulai mengevaluasi sistem. Karena kalau terus begini, bukan Gen Z yang salah, tapi dunia kerja yang gagal beradaptasi dengan zaman.