Indonesia kembali dihebohkan dengan tindakan aparat kepolisian yang lagi, lagi, dan lagi membuat masyarakat bertanya-tanya “apakah polisi sekarang benar-benar mengayomi masyarakat?”, “Apakah benar polisi adalah pelindung masyarakat?”, dan lain sebagainya. Bagaimana tidak, beberapa waktu lalu, aparat kepolisian telah menyita puluhan buku milik para demonstran di Surabaya, Sidoarjo, hingga Bandung.
Buku-buku yang disita antara lain karya Karl Marx, Emma Goldman, hingga Che Guevara. Dan lebih lucunya lagi, terdapat salah satu buku puisi patah hati atau poster demotivasi yang dianggap sebagai barang bukti. Polisi beralasan bahwa penahanan tersebut dilakukan karena buku-buku itu diduga berisi ideologi anarkisme yang dapat memicu tindakan perlawanan. Namun, bukankah buku itu seharusnya menjadi ruang aman untuk belajar, bukan alat bukti kejahatan? Lalu perpustakaan yang menyimpan banyak buku-buku tersebut apakah juga akan dianggap sarang kejahatan?
Dalam hukum pidana, yang bisa dihukum hanyalah perbuatan. Pasal 1 ayat (1) KUHP menegaskan asas legalitas: nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege. Artinya, tidak ada perbuatan yang bisa dipidana kecuali diatur dengan jelas dalam undang-undang. Membaca, menyimpan, atau menerbitkan buku yang beredar sah tidak pernah ditetapkan sebagai tindak pidana.
Menjadikan buku sebagai barang bukti adalah tindakan yang secara hukum kehilangan dasar. Lebih jauh lagi, konstitusi menjamin hak warga negara untuk mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi (Pasal 28F UUD 1945), serta kebebasan berpendapat dan berkumpul (Pasal 28E ayat (3)). Oleh karena itu, membaca atau menyimpan buku yang beredar secara hukum tidak dapat dianggap sebagai tindak pidana. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 juga telah mencabut izin Jaksa Agung melarang kitab dan menegaskan bahwa setiap pengambilan keputusan harus melalui peradilan yang ketat, bukan keputusan administratif atau prasangka visual.
Oleh karena itu, tindakan penahanan buku ini merupakan bentuk kecacatan hukum dan pengekangan dalam kebebasan berpikir. Polisi berasumsi bahwa buku-buku tersebut adalah salah satu barang bukti karena buku tersebut berada di lokasi terjadinya d3m0. Akan tetapi sejak kapan membaca buku dianggap sebagai tindakan pidana? Apa hukum yang mendasarinya? Bukankah buku itu merupakan gudangnya ilmu pengetahuan?
Harusnya penahanan buku ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM, karena kebebasan mencari ilmu dan kebebasan kita untuk berpikir telah dirampas oleh aparat. Namun, jika aparat kepolisian yang harusnya melindungi dan mengayomi masyarakat malah mengekang dan membatasi kebebasan, kepada siapa lagi kita harus melapor?
Negara kita adalah negara demokrasi yang menjamin hak hak warganya untuk mencari ilmu. Tetapi kebebasan itu telah dirampas oleh orang-orang yang mempunyai jabatan. Para petinggi negara kita ini sepertinya takut jika masyarakatnya membaca buku, karena dengan membaca buku akan membuat pikiran kita menjadi lebih kritis dan berintelektual. Akibatnya, jabatan mereka akan terancam oleh kaum intelektual, karena kebanyakan para petinggi di negara kita ini adalah orang-orang yang tidak berpendidikan (tidak semuanya). Oleh karena itu, untuk mempertahankan posisinya, mereka melakukan penahanan terhadap buku-buku tersebut, karena jika mereka melawan kita menggunakan argumen dan data, tentu saja mereka tidak akan bisa menang.
Padahal di luar sana, masih banyak terjadi kasus korupsi, kekerasan, dan pelanggaran hukum lainnya yang sudah jelas-jelas melanggar hukum, namun malah diabaikan oleh mereka. Bahkan ada beberapa kasus kejahatan yang barang buktinya sudah jelas-jelas ada, malah dihilangkan oleh mereka. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah semua ini terjadi hanya karena uang dan kekuasaan? Apakah hati mereka memang benar-benar sudah tertutupi oleh kenikmatan duniawi?
Coba bayangkan jika negara kita yang kaya akan sumber daya alam ini di pimpin oleh figur-figur yang menjadikan membaca sebagai hobi dan memiliki jejak pendidikan yang komprehensif, bukan hanya demi gelar, tetapi demi keluasan nalar. Pasti negara kita bisa menjadi negara yang kaya dan maju.
Puluhan tahun yang lalu, negara kita dianggap lebih maju dari Cina, tapi sekarang? Bahkan tertinggal sangat jauh. Itu semua bisa terjadi karena para pemimpin di Cina sangat menjunjung tinggi pendidikan, dan bahkan rakyatnya rela belajar mati-matian hanya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dengan tes yang sangat rumit. Sangat jauh berbeda bukan dengan Indonesia? Di Indonesia, buku yang merupakan gudangnya ilmu pengetahuan malah dianggap sebagai ancaman yang dapat memecah belah bangsa. Tidak hanya itu, para pemimpinnya pun tidak memiliki jejak pendidikan yang jelas dan bahkan menjabat tetapi tidak sesuai dengan bidangnya.
Namun pada akhirnya, beberapa buku yang disita tersebut dikembalikan lagi karena banyak desakan dan protes dari masyarakat, terutama para penerbit buku dan pembaca buku. Buku bukanlah senjata yang memecah belah bangsa, buku adalah jendela untuk melihat dunia yang lebih luas dan membentuk kepribadian yang lebih berintelektual. Oleh karena itu, semoga kejadian serupa tidak akan terulang kembali karena pejabat dan aparat yang takut dengan buku justru membuktikan betapa bahayanya jika k3b0d0h4n dibiarkan memegang kekuasaan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”