Siaran Berita, Jakarta (25/10/2025) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang Presiden Prabowo Subianto tampaknya menjadi wajah baru dari ambisi besar negara: memberi makan rakyatnya, bukan sekadar memberi janji. Di atas kertas, program ini terdengar megah — memberi asupan bergizi kepada puluhan juta anak sekolah di seluruh penjuru nusantara. Tapi di lapangan, pertanyaannya sederhana: apakah gizi itu benar-benar sampai ke perut anak-anak, atau berhenti di meja birokrasi?
Pakar kebijakan publik sekaligus dosen Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah, menyebut MBG sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap keluarga berpenghasilan rendah. Namun, di tengah gegap gempita peluncuran program ini, publik masih bertanya-tanya: mengapa banyak sekolah mengeluh soal kualitas makanan, keterlambatan distribusi, dan koordinasi yang tumpang tindih? Bukankah program sebesar ini seharusnya matang di dapur, bukan masih berantakan di meja rapat?
Konsep MBG sebenarnya tidak orisinal dan itu bukan hal buruk. Program serupa telah lama berjalan di Brasil, Jepang, Korea Selatan, dan Finlandia. Bedanya, di negara-negara itu, dapur sekolah bukan sekadar tempat masak, tapi institusi kecil yang disiplin dengan standar gizi, kebersihan, dan efisiensi yang hampir militeristik. Di Indonesia, justru dapur menjadi arena baru bagi proyek pengadaan, tender, dan laporan-laporan yang cantik di PowerPoint.
Menariknya, Presiden Brasil dikabarkan tertarik mengunjungi Indonesia untuk mempelajari pelaksanaan dapur MBG. Tapi publik di sini justru bertanya lirih: apakah yang ingin dipelajari adalah inovasi, atau kekacauan logistik yang jadi cermin klasik birokrasi negeri ini?
Badan Gizi Nasional (BGN), lembaga baru yang menjadi tulang punggung MBG, ibarat bayi yang langsung disuruh berlari maraton. Masyarakat belum sepenuhnya paham apa tugas, mekanisme kerja, dan koordinasi lembaga ini. Edukasi publik hampir tak terdengar. Padahal tanpa pemahaman yang utuh, publik sulit percaya dan program besar berisiko kehilangan legitimasi bahkan sebelum mencapai tujuan.
Peran Pemerintah Daerah (Pemda) seharusnya menjadi kunci. Mereka mengenal medan, tahu siapa yang benar-benar lapar, dan paham tantangan geografis masing-masing wilayah. Namun dalam praktiknya, banyak Pemda masih berfungsi sekadar “stempel laporan”. Pengawasan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pun sering kali bersifat administratif — sekadar menandatangani, bukan memastikan anak-anak benar-benar makan makanan yang layak.
Tantangan terbesar MBG bukanlah soal jumlah porsi, melainkan kualitas dan keamanan makanan. Beberapa dapur dilaporkan mengalami penurunan kualitas makanan akibat penyimpanan berhari-hari, nasi basi, atau lauk yang hambar dan berminyak. Ironis, sebab “bergizi” seharusnya berarti sehat, bukan sekadar kenyang.
Ahli gizi di banyak daerah hanya dijadikan formalitas, padahal seharusnya merekalah benteng terakhir menjaga standar nutrisi. Tanpa pelatihan berkelanjutan bagi juru masak dan pembatasan kapasitas produksi — misalnya maksimal 2.000 porsi per dapur — maka yang tersaji di piring anak-anak bukan lagi makanan bergizi, tapi simbol dari sistem yang lapar akan efisiensi.
Penegakan tata kelola pun belum kokoh. Dapur yang melanggar standar higienitas seharusnya ditutup atau disanksi. Namun, dalam praktik birokrasi kita, kata “sanksi” sering kali hanya berakhir pada kertas teguran yang tidak pernah dibaca.
Keberhasilan MBG tidak bisa diletakkan di tangan pemerintah saja. Kepala sekolah, guru, komite, dan bahkan orang tua harus dilibatkan dalam pengawasan harian. Transparansi bukan slogan, tapi keharusan.
Masyarakat perlu tahu dari mana bahan makanan datang, siapa yang memasak, dan bagaimana makanan itu sampai ke piring anak-anak. Karena dari keterbukaan itulah kepercayaan tumbuh bukan dari baliho besar bertuliskan “Program Prioritas Nasional”.
Sertifikasi Kelayakan Higienis, Legal, dan Standar (KHLS) serta sertifikasi halal pun masih jadi batu sandungan. Banyak dapur kecil di daerah terpukul oleh biaya sertifikasi yang tidak murah. Ironisnya, justru mereka yang paling semangat memasak untuk anak-anak di pelosok, harus berhadapan dengan tumpukan birokrasi sebelum bisa menyebut dapurnya “layak”.
Pemerintah berencana memperluas sasaran MBG, bukan hanya untuk anak sekolah, tetapi juga ibu hamil, ibu menyusui, dan lansia. Saat ini, program baru menjangkau 50 juta penerima dari target 82 juta. Tapi digitalisasi dan tata kelola data belum sepenuhnya siap. Padahal, dalam era teknologi, mustahil program sebesar ini masih mengandalkan laporan manual dan koordinasi WhatsApp grup.
Digitalisasi sistem distribusi dan pemantauan kualitas makanan secara real-time bukan sekadar wacana futuristik — melainkan kebutuhan mendesak agar MBG tidak berakhir menjadi “makan bergizi di atas kertas”.
Program MBG sejatinya adalah investasi jangka panjang untuk mencetak generasi sehat, cerdas, dan produktif menuju Indonesia Emas 2045. Namun, jika pelaksanaannya tidak disiplin, tidak transparan, dan tidak konsisten, maka “bergizi gratis” bisa saja berubah menjadi “gratis tanpa gizi”.
Indonesia tidak kekurangan ide — yang langka adalah pelaksanaan yang jujur dan berkelanjutan. Dan MBG, sebagaimana banyak program besar sebelumnya, kini tengah diuji: apakah ia akan menjadi tonggak sejarah baru, atau sekadar babak lain dari drama kebijakan yang lezat di wacana, tapi hambar di kenyataan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
































































