Fenomena apatisme politik generasi Z di Indonesia menjadi realitas yang tidak bisa diabaikan hingga saatnini. Di tengah krisis moral dan rendahnya kepercayaan terhadap elit-elit yang memang ada, banyak sekali anak muda merasa yang merasa politik hanya menjadi panggung retorika tanpa substansi. Situasi ini tampak jelas ketika sebuah wacana kenaikan tunjangan anggota DPR dan reshuffle kabinet 2024 justru menimbulkan sinisme publik, bukan antusiasme partisipatif. Hal ini memperkuat persepsi bahwa politik elitis telah kehilangan dimensi moral dan spiritualnya. Seperti diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat (2015), “politik yang kehilangan basis moral akan menjadi kekuasaan yang kehilangan arah dan makna sosialnya.
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang kritis secara digital, namun pasif secara sosial-politik. Aktivisme mereka sering terbatas pada media sosial belaka, tanpa ada aksi nyata. Padahal, mereka memliki potensi dalam membentuk opini publik sangat besar. Kondisi ini sangat jelas untuk menegaskan urgensi mengembalikan nilai moral dan spiritual dalam politik. Paulo Freire (1970) menegaskan bahwa “tidak ada pendidikan atau politik yang netral; keduanya selalu berpihak entah pada penindasan, atau pada pembebasan.
Dengan demikian, tulisan ini bertujuan untuk mengulas bagaimana Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dan Paradigma Arus Balik Pinggiran dapat menjadi jawaban ideologis dan praksis bagi generasi Z untuk keluar dari apatisme menuju kesadaran politik yang berkeadilan tidak ada lagi penindasan.
Krisis Kepercayaan dan Apatisme Politik Generasi Z
Apatisme generasi Z terhadap politik bukanlah sekadar tanda ketidak pedulian, melainkan refleksi dari krisis kepercayaan yang mendalam terhadap lembaga dan elit negara. Kompas (2024) mencatat bahwa hanya 38% anak muda percaya bahwa partai politik benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketidak percayaan ini semakin diperparah oleh maraknya kasus korupsi, nepotisme, dan politik transaksional yang menyingkirkan etika publik.
Menurut Robert D. Putnam (2000) dalam Bowling Alone, menurunnya kepercayaan sosial (social trust) merupakan akar dari melemahnya partisipasi publik dalam demokrasi. Ketika jaringan sosial melemah, masyarakat menjadi terpecah dan kehilangan rasa tanggung jawab bersama. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tampak jelas melalui menurunnya partisipasi pemilih muda serta meningkatnya “politik sinis” yang hanya hadir untuk mengkritik tanpa solusi.
Selain itu, Yasraf Amir Piliang (2020) menyebut kondisi ini sebagai krisis representasi yakni ketika politik kehilangan ruang simbolik yang jujur dan otentik. Politik berubah menjadi panggung pencitraan, sementara substansi keadilan sosial terlupakan. Akibatnya, generasi Z lebih memilih diam daripada ikut dalam sistem yang dianggap penuh kepalsuan, sistem yang membicarakan keadilan akan tetapi dalamnya penuh dengan kebobrokan.
Dari Apatis ke Aksi: Membangun Kesadaran Politik Kritis
Meskipun cenderung apatis, generasi Z memiliki potensi besar sebagai agen perubahan, terutama melalui ruang digital. Namun, potensi ini kerap terjebak dalam politik simbolik aktivisme yang hanya berhenti pada unggahan di media sosial. Padahal, seperti dikatakan Paulo Freire (1970), kesadaran sejati tidak berhenti pada reaksi emosional, tetapi harus naik pada tahap kesadaran kritis terhadap realitas ketidak adilan dan upaya untuk mengubahnya.
Dalam konteks ini, transformasi kesadaran generasi muda harus melewati tiga tahap: dari reaksi, menuju refleksi, lalu berujung pada aksi nyata. Yang dimana tahap refleksi menuntut kemampuan membaca realitas sosial secara kritis, sementara tahap aksi menuntut keberanian untuk bertindak sesuai nilai. Dengan kata lain, kesadaran politik tidak boleh berhenti di ruang virtual, ia harus menjelma menjadi praksis sosial.
“Kesadaran tanpa tindakan adalah utopia; tindakan tanpa kesadaran adalah aktivisme buta,” tulis Freire (1970).
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) sebagai Jawaban Ideologis
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) merupakan fondasi ideologis dan moral yang lahir dari gerakan mahasiswa Indonesia, terutama dari tradisi PMII. NDP menanamkan lima nilai utama yang relevan dengan tantangan zaman:
1. Tauhid, sebagai moralitas ketuhanan yang menegaskan bahwa politik harus berakar pada kejujuran dan tanggung jawab spiritual.
2. Keadilan, yang menolak segala bentuk ketimpangan ekonomi dan sosial.
3. Kemanusiaan, yang menghormati sesama manusia tanpa diskriminasi.
4. Kebersamaan, yang mendorong solidaritas lintas kelas dan identitas.
5. Kebebasan berpikir, yang memupuk daya kritis terhadap kekuasaan.
Menurut Ahmad Baso (2012), “politik nilai harus menjadi tandingan atas politik kekuasaan.” Politik nilai menekankan substansi moral dan kemanusiaan, bukan sekadar perebutan jabatan. Melalui NDP, mahasiswa diajak kembali pada hakikat pergerakan: bukan meniru elit, tetapi menjadi moral force yang mengawal nurani rakyat.
NDP bukan sekadar konsep ideologis, tetapi menjadi peta jalan moral bagi generasi muda dalam memahami politik sebagai perjuangan kemanusiaan. Dalam konteks krisis kepercayaan saat ini, NDP dapat memulihkan kembali makna politik sebagai ibadah sosial dan tanggung jawab moral.
Strategi Mewujudkan Gerakan Gen Z Berbasis Nilai
Gerakan generasi Z yang berlandaskan nilai tidak dapat lahir secara spontan ia memerlukan strategi yang sistematis dan berkelanjutan. Pertama, pendidikan politik progresif harus diperkuat di ruang kampus maupun digital agar anak muda memahami politik bukan hanya dari hasil, tetapi dari nilai dan proses.
“Pendidikan adalah tindakan politik; ia dapat menjadi alat pembebasan atau alat penindasan,” tulis Paulo Freire (1970).
Kedua, media sosial perlu dimanfaatkan sebagai ruang advokasi sosial, bukan sekadar ekspresi personal. Kampanye digital tentang keadilan, kemanusiaan, dan etika publik harus diperkuat dengan data, narasi empatik, dan aksi nyata.
Ketiga, revitalisasi organisasi mahasiswa seperti PMII, HMI, GMNI, dan IMM penting dilakukan agar organisasi tidak hanya berfungsi sebagai arena formalitas, tetapi laboratorium nilai. Keempat, penciptaan figur muda inspiratif yang berani bersuara dan berpihak kepada masyarakat bawah dapat menjadi katalis moral bagi generasi sezamannya.
Kelima, gerakan berbasis nilai dapat diwujudkan melalui kegiatan sosial seperti gerakan literasi publik, advokasi desa, dan pemberdayaan masyarakat. Dengan begitu, politik kembali memiliki wajah kemanusiaan.
Paradigma Arus Balik Pinggiran dan Reorientasi Kesadaran Generasi Z
Paradigma Arus Balik Pinggiran yang digagas KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan kritik terhadap sentralisasi kekuasaan dan politik elitis. Gus Dur menilai bahwa kekuatan moral dan politik sejati justru lahir dari rakyat kecil, bukan dari puncak kekuasaan.
“Arus balik dari pinggiran adalah kesadaran bahwa kekuatan moral rakyat lebih murni daripada kepentingan politik kekuasaan,” (Wahid, 1985).
Paradigma ini mengajarkan bahwa perubahan sejati tidak datang dari pusat, tetapi dari pinggiran—dari rakyat yang terpinggirkan namun memiliki nurani sosial. Dalam konteks generasi Z, paradigma ini relevan karena mereka hidup di era digital yang memungkinkan arus balik baru: gerakan sosial dari masyarakat bawah ke ruang publik nasional.
Nilai Dasar Pergerakan (NDP) memberi arah moral dan spiritual, sementara Paradigma Arus Balik memberikan arah praksis sosial. Ketika keduanya berpadu, terbentuklah politik nilai yang berpihak pada kemanusiaan. Darmaningtyas (2003) menegaskan bahwa “gerakan mahasiswa sejati adalah jembatan antara rakyat dan negara, bukan sekadar penerus elitnya.”
Generasi Z dapat menghidupkan paradigma ini dengan cara membangun empati sosial, memperjuangkan suara pinggiran, dan mengubah politik digital menjadi advokasi sosial yang nyata. Dengan begitu, mereka menjadi bagian dari arus balik baru arus kesadaran dari rakyat menuju pusat perubahan.
Kesimpulan
Apatisme politik generasi Z bukanlah tanda akhir dari kesadaran politik, tetapi gejala krisis nilai yang memerlukan pembaruan moral dan sosial. Nilai Dasar Pergerakan memulihkan moralitas politik melalui spiritualitas dan etika, sementara Paradigma Arus Balik Pinggiran mengembalikan orientasi perjuangan kepada rakyat. Kolaborasi keduanya membentuk gerakan baru dari apatis ke empati, dari simbol ke substansi, dari pinggiran menuju pusat perubahan.
Sebagaimana ditegaskan oleh Paulo Freire, pembebasan sejati tidak diberikan oleh elit, tetapi lahir dari kesadaran rakyat yang terdidik dan bergerak. Maka, tugas generasi Z bukan sekadar mengkritik sistem, tetapi menghidupkan nilai dalam setiap tindakan politiknya.
“Gerakan sejati bukan untuk merebut kekuasaan, tapi untuk mengembalikan kemanusiaan dalam kekuasaan. (Adaptasi dari pemikiran Gus Dur, 1998).
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”