WIKA menunjukan kemampuan adaptif melewati masa restrukturisasi, dibuktikan dengan penguatan struktur keuangan — antara lain pemangkasan utang sebesar Rp 4,4 triliun sepanjang 2024. Walaupun semester pertama 2025 mencatatkan rugi bersih Rp 1,66 triliun akibat tekanan bertubi pada industri, WIKA mampu meningkatkan gross profit margin menjadi 8,67% dari 7,81% tahun sebelumnya, memperlihatkan bahwa penajaman efisiensi benar-benar terjadi. Kontribusi industri penunjang konstruksi pada portofolio kontrak baru WIKA mencapai 49,7%, lebih tinggi proporsinya dibanding kompetitor.
PT PP masih lebih stabil dalam laba (Rp 65,25 miliar, namun turun 55,61% YoY). Bahkan, pendapatan usaha turun lebih dari 23,7% menjadi Rp 6,70 triliun – cermin tekanan harga dan ketatnya persaingan. Sisi berbeda pada neraca, posisi kas PT PP tergerus cukup drastis hingga 41,32% sehingga memperketat ruang likuiditas dan ekspansi pada paruh kedua tahun.
ADHI berhasil mencetak laba bersih (Rp 7,5 miliar), walau angka tersebut menurun 45,2% dari periode sama pada 2024. Penurunannya dilatarbelakangi kontraksi pendapatan yang sangat signifikan (turun 32,8% YoY).
WIKA berhasil membukukan kontrak baru sebesar Rp 4,78 triliun per Juli 2025, dengan portofolio proyek strategis nasional seperti penanganan longsor Cisumdawu, revitalisasi fasilitas air bersih, serta proyek pengendalian banjir Sistem Tenggang-Sringin di Jawa Tengah yang berdampak ke 2.500 ha wilayah rawan. Di segi inovasi, WIKA menampilkan leadership dengan penerapan teknologi Modular Construction dan Cakar Ayam Modifikasi (CAM) yang unggul dari sisi efisiensi energi dan waktu pengerjaan. Reputasi dan selektivitas proyek (“four eyes principle”) membedakan WIKA, karena mampu memilih kontrak yang berdampak nasional dan ramah lingkungan.
PT PP masih mengandalkan portofolio dengan mayoritas proyek pelabuhan (35%), gedung (33%), dan infrastruktur standar lainnya. Kontrak baru per semester I 2025 Rp 9,36 triliun, tetapi tanpa implementasi terobosan inovasi teknologi yang nyata di tahun berjalan. Proyek-proyek PP juga lebih terkonsentrasi pada sumber dana BUMN, relatif bergantung pada proyek pemerintah ketimbang swasta—faktor yang bisa membatasi dinamika bisnis jangka panjang.
ADHI mengandalkan segmen transportasi dan air; kontrak baru per April 2025 sekitar Rp 2,5 triliun. Proyek-proyeknya sering bersifat multiyears yang cenderung merata dan belum cukup menonjolkan segmentasi di pasar proyek-proyek landmark.
Dengan beragam strategi serta pencapaian yang dimiliki masing-masing perusahaan, dinamika industri konstruksi nasional tahun 2025 menunjukkan bahwa inovasi, efisiensi, dan ketahanan menjadi kunci utama untuk tetap relevan dan berdaya saing. Ke depan, diharapkan seluruh pelaku industri terus memperkuat kontribusi positif demi kemajuan pembangunan nasional secara berkelanjutan.