Tren Harga di Sentra dan Nasional
Harga kelapa bulat selama satu tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan yang tajam, baik secara nasional maupun di sentra-sentra produksi utama. Rata-rata harga kelapa bulat di tingkat petani nasional naik signifikan sepanjang 2024 dan tetap tinggi di 2025. Di Provinsi Riau, produsen kelapa terbesar, harga di tingkat petani pada 2023 berkisar Rp 2.911 per kg, Memasuki 2024, angkanya meroket, di Kabupaten Indragiri Hilir (Riau) misalnya, harga melompat dari Rp 3.250 per kg (Oktober 2024) menjadi Rp 4.900 per kg pada awal November 2024, dan terus naik sampai 8 ribu pada Maret 2025. Kenaikan ini membawa angin segar bagi petani setempat yang selama ini tertekan fluktuasi harga.
Kenaikan harga juga terjadi di sentra lain. Sulawesi Utara, salah satu penghasil kelapa terbesar, tadinya mencatat harga rata-rata petani hanya Rp 987 per kg pada 2023, jauh di bawah Riau. Namun tren permintaan kuat turut mendongkrak harga di kawasan timur Indonesia tersebut menjelang akhir 2024 menjadi Rp. 3.500 dan stabil diatas Rp. 4.00 sepanjang 2025. Jawa Timur dan Sumatera Utara, sentra utama di Jawa dan Sumatra, juga mengalami peningkatan harga meski tidak setinggi Riau. Sebagai contoh, harga kelapa butiran di sentra-sentra Riau sempat menyentuh Rp 4.360 per kg pada akhir Desember 2024, sementara di wilayah lain seperti Jawa harga di tingkat petani berada pada kisaran Rp 3.000 per kg. Perbedaan ini mencerminkan variasi kondisi pasar lokal, daerah dengan akses ekspor cenderung menikmati harga lebih tinggi dibanding daerah yang pasarnya lebih terbatas.
Di pasar konsumen, harga melonjak lebih drastis. Pasokan kelapa bulat yang ketat mendorong harga eceran di kota-kota besar mencapai level tertinggi dalam beberapa tahun. Di Jakarta, harga kelapa kupas/bulat di Pasar Induk Kramat Jati pertengahan April 2025 tercatat rata-rata Rp 13.769 per kg, dengan harga tertinggi menembus Rp 21.000 per kg. Bandingkan dengan harga di kebun petani Riau sekitar Rp 4.000-4.900 per kg pada periode yang sama, terjadi margin besar dari hulu ke hilir. Fenomena ini mengindikasikan rantai distribusi yang panjang sekaligus meningkatnya biaya dan margin di tiap mata rantai perdagangan kelapa.
Dinamika Harga dan Rantai Pasok
Lonjakan harga kelapa bulat tidak lepas dari dinamika pasar dan rantai pasok sepanjang tahun terakhir. Permintaan ekspor meningkat pesat, terutama dari Tiongkok, sehingga banyak kelapa dari sentra produksi langsung dikapalkan ke luar negeri. Sepanjang 2024, volume ekspor kelapa bulat Indonesia mencapai 431.915 ton, naik dari 380.883 ton pada 2023. Bahkan dalam dua bulan pertama 2025 saja, ekspor kelapa bulat (dalam kulit) sudah 71 ribu ton, dan 68 ribu ton di antaranya diserap oleh Tiongkok. Lonjakan permintaan global ini mengurangi pasokan yang tersedia untuk pasar domestik, utamanya menjelang periode Lebaran 2025.
Dari sisi pasokan domestik, sebenarnya Indonesia masih surplus kelapa secara neraca nasional. Produksi kelapa bulat 2023 sekitar 2,84 juta ton (14,18 miliar butir), sedikit turun ke 2,82 juta ton pada 2024. Kebutuhan dalam negeri terdiri dari konsumsi rumah tangga (~1,1 miliar butir/tahun) dan bahan baku industri olahan (sekitar 9,1 miliar butir). Dengan ekspor kelapa bulat sekitar 292 juta butir, masih ada surplus lebih dari 3 miliar butir per tahun. Artinya, secara agregat nasional, produksi kelapa mencukupi. Masalahnya terletak pada distribusi dan integrasi rantai pasok. Sentra produksi kelapa mayoritas berada di wilayah timur (Sulawesi Utara, Maluku Utara, Sulawesi Tengah), sementara pabrik pengolahan banyak di wilayah barat (Sumatra, Jawa). Biaya transportasi antarwilayah yang tinggi dan infrastruktur logistik yang terbatas menyebabkan kelapa tidak mudah mengalir dari surplus area ke daerah defisit. Akibatnya, terjadi kelangkaan pasokan di titik tertentu meski surplus di titik lain.
Contoh konkret terlihat di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Wilayah ini bukan produsen utama dan bergantung pasokan kelapa dari Riau daratan dan Jambi. Seiring ekspor yang meningkat, pengiriman kelapa ke Kepri menurun drastis, pasokan lokal hanya terpenuhi sekitar 60% dari kebutuhan normal 100-200 ribu butir per hari. Dampaknya, industri kecil pengolah santan di Kepri kekurangan bahan baku, dan harga santan di pasar melonjak dari Rp 20 ribu menjadi Rp 30 ribu per kg. Kondisi ini mendorong Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepri mengusulkan pembatasan ekspor kelapa atau pengenaan pajak ekspor, agar pasokan dalam negeri terjaga. Sinyal serupa datang dari Kementerian Perdagangan yang berencana mengevaluasi koordinasi antara petani, eksportir, dan industri untuk menstabilkan harga kelapa bulat.
Di tengah polemik ini, Kementerian Pertanian menyatakan bahwa kelangkaan bahan baku industri bukan sepenuhnya karena penurunan produksi, melainkan dipengaruhi kenaikan harga dan inefisiensi distribusi. Selama ini, integrasi antara sentra kebun dan sentra industri belum optimal. Dengan harga ekspor tinggi, wajar jika aliran komoditas mengikuti insentif pasar global. Kementerian Pertanian bahkan menyambut baik tingginya harga kelapa, karena meningkatkan pendapatan petani dan menegaskan keberpihakan pada petani, meski pemerintah tetap perlu menjaga agar boom harga ini tidak “memakan” industri hilir domestik.
Transmisi Harga: dari Kebun ke Pasar
Kondisi transmisi harga kelapa sepanjang rantai pasok menunjukkan adanya ketimpangan yang klasik namun kian mencolok di masa harga tinggi. Di level petani, terutama petani kecil, posisi tawar umumnya lemah. Banyak petani terikat tengkulak atau pengepul lokal, sehingga harga jual di kebun relatif rendah dibanding harga di hilir. Sebuah contoh di Sumatera Selatan (2019) menggambarkan petani hanya menerima Rp 900–1.000 per butir, sementara pengepul besar menjual ke pemasok pabrik/eksportir Rp 2.000–2.500 per butir. Situasi ini sedikit membaik di 2024 karena persaingan antar pembeli meningkat seiring kelangkaan, tetapi margin rantai pasok masih besar.
Saat harga kelapa meroket, ada harapan harga di tingkat petani turut terdongkrak. Data menunjukkan memang terjadi peningkatan signifikan, dimana petani Riau yang dulu mendapat sekitar Rp 3.000 per kg kini bisa memperoleh di atas Rp 4.000-4.500. Meski begitu, bandingkan dengan harga pasar akhir yang menembus Rp 15.000 per kg ke atas di kota besar. Selisih ini mencerminkan biaya transportasi antar pulau, penyusutan kualitas (karena kelapa segar berat airnya berkurang seiring waktu), dan keuntungan berjenjang mulai dari pedagang pengumpul di desa, agen besar di pelabuhan, sampai pedagang grosir kota. Transmisi harga yang timpang berarti tidak seluruh keuntungan kenaikan harga dinikmati petani; sebagian tergerus di sepanjang rantai perdagangan.
Selain itu, rantai pasok kelapa di Indonesia masih panjang dan fragmentaris. Petani perorangan menjual ke pengepul desa, lalu ke pedagang antar-daerah, baru ke pabrik atau pasar induk. Setiap mata rantai memiliki kekuatan tawar berbeda. Petani kecil sering menjual segera setelah panen karena butuh dana cepat, sehingga kurang mampu menahan barang menunggu harga terbaik. Ketergantungan modal pada tengkulak (melalui sistem ijon atau pinjaman) juga membuat petani “terikat” menjual dengan harga yang ditentukan pembeli. Akibatnya, elastisitas transmisi harga dari pasar akhir ke petani cenderung lemah: saat harga naik tinggi di konsumen, petani hanya merasakan sebagian kenaikannya; sebaliknya saat harga turun, petani langsung merasakan penurunan tersebut.
Namun, ada pula inisiatif yang mulai mengurangi disparitas ini. Beberapa koperasi dan kelompok tani di sentra kelapa mencoba menembus pasar akhir atau ekspor langsung. Misalnya, di Sulawesi Utara, sebagian petani beralih memproduksi kopra atau VCO sendiri agar memperoleh nilai tambah lebih tinggi dibanding menjual kelapa bulat mentah. Harga kopra kering yang sempat mencapai Rp 14.000–16.000 per kg di akhir 2024 dianggap “menguntungkan” petani, karena dari setiap butir kelapa dapat dihasilkan kopra dengan nilai lebih tinggi ketimbang menjual butirannya langsung. Meski demikian, hal ini memerlukan usaha dan keahlian tambahan di pihak petani. Ke depan, pemangkasan mata rantai dan kemitraan langsung petani dengan industri menjadi kunci agar margin harga lebih adil. Bila petani dapat menjual langsung ke pabrik minyak kelapa atau pengekspor VCO, mereka bisa mendapat porsi harga yang lebih besar, sekaligus industri pun memperoleh pasokan dengan kualitas dan kuantitas lebih terjamin.